SEORANG dokter berjubah putih dan dua orang perawat baru saja keluar dari ruang inap Eyang begitu Lea keluar dari lift. Lea mengenalnya sebagai dokter Armando Ali, dokter pribadi Eyang sekaligus dokter spesialis kanker di Primehealth Hospital.
"Dokter..."
Dokter Arman menengok ke sumber suara, lalu tersenyum begitu mendapati Lea berjalan dengan raut sumringah kearahnya.
"Dokter baru meriksa Eyang ya?"
"Selamat pagi Lea..."
Lea terkekeh kecil. "Selamat pagi dokter Arman. So, how's Eyang?"
Dokter Arman menghela napas pelan. "Just like i told you yesterday. Bad!"
Senyum di wajah Lea perlahan memudar. "Lea harus melakukan apa lagi dokter? Sudah berkali - kali Lea membujuk Eyang untuk kemo dan berobat ke Jerman, tapi Eyang selalu saja menolak. I don't know what to do anymore."
Dokter Arman mengangguk - angguk.
"Saya mengerti apa yang dipikirkan oleh Nyonya Garwita. Saya pribadi tidak menyarankan kemoterapi, karena dengan usia nyonya yang tidak bisa dibilang muda lagi. Sel - sel darah baik akan sulit beregenerasi sehingga dikhawatirkan penyakit lain yang akan muncul. Sedangkan transplantasi induk juga sudah dilakukan, dan ternyata tubuhnya bereaksi negatif akan sel baru itu."
"Kalau saja---"
"Kita tahu kamu tidak bisa jadi pendonor, Lea. Jadi jangan berandai - andai lagi..."
Lea mengangguk lesu. Dokter Arman menepuk bahu Lea pelan. "Jangan khawatir, Eyangmu akan sembuh, insya Allah. Pihak rumah sakit juga sedang berusaha mencari donor yang tepat buat Eyangmu."
"Terima kasih dokter..."
Dokter Arman dan dua suster yang mengikutinya berlalu dari hadapan Lea. Gadis itu menatap punggung dokter itu menjauh, kemudian meneruskan langkahnya menuju ruangan Eyang.
"Saya seperti melihat diri saya sewaktu muda begitu melihat Lea, Ty. Begitu energic dan bersemangat. Saya tidak ingin semangat itu sirna nantinya karena perlakuan keluarganya sendiri."
Suara Eyang mengurungkan niat Lea untuk masuk. Gadis cantik itu hanya berdiri dalam diam dengan tangan memegang handle pintu yang sedikit terbuka.
"Ibu jangan khawatir. Ibu akan baik - baik saja..." kata Mommy Tya menghibur Eyang. Dari celah pintu Lea bisa melihat wanita paruh baya itu sesekali mengelus lengan Eyang yang bebas dari selang infus. Sementara Mbok Sar duduk di sofa.
"Entahlah, Ty. Kamu lihat sendiri bagaimana keadaanku sekarang. Aku sekarat dan tampaknya tak lagi berumur panjang. Aku tak punya kekhawatiran lain meninggalkan dunia ini selain Lea. Cucuku yang satu itu benar - benar membuatku cemas..."
"Lea sudah dewasa, bu. Dan dia anak yang kuat. Dia pasti bisa hidup dengan kakinya sendiri."
Eyang menghela napas berat. "Ya, dia memang sudah dewasa dan mampu hidup dengan kedua kakinya sendiri. Tapi itu tak bermakna dia tak butuh tempat bersandar saat sedih dan terpuruk. Aku akan lebih tenang jika dia sudah berada bersama orang - orang yang tepat. Keluarga Adiwangsa yang kaku dan otoriter bukanlah tempat yang cocok untuk Lea. Hidupnya akan berantakan suatu hari nanti. Seperti hidupku dulu..."
Pegangan Lea pada handle pintu mengerat. Dia sangat tahu bagaimana kehidupan Eyangnya dulu.
Eyangnya sewaktu masih muda adalah seorang gadis yang ceria dan penuh semangat. Tapi setelah dijodohkan dengan Eyang Darma, kehidupan Eyang perlahan berubah. Eyangnya dikekang dalam aturan ketat. Tak ada lagi istilah menjalin pertemanan dan persahabatan, tak ada lagi waktu - waktu bebas bercanda dan tertawa. Malah Eyangnya dilarang untuk meneruskan pendidikan. Padahal cita - cita Eyangnya adalah menjadi guru.
Karena kata Eyang Darma, tak perlu belajar tinggi - tinggi. Tugas perempuan hanya melayani suami dan mengurus rumah tangga.
Untung saja seiring zaman berganti, pikiran kolot Eyang Darma juga semakin maju, sehingga Tante Rianti tak pernah merasakan yang namanya dikekang dan dihalangi untuk menuntut ilmu. Eyang malah mengirimkan anak perempuan satu - satunya itu ke sekolah asrama di London dan menuntutnya belajar dengan baik. Karena pria kaya zaman sekarang menyukai wanita yang pintar dan cerdas untuk bisa dibanggakan kemana - mana.
"Berjanjilah denganku Ty, kamu dan Anggara akan menjaga Lea dengan baik. Menyayanginya seperti kalian menyayangi anak kalian sendiri..."
"Tentu saja, bu. Tanpa ibu minta pun Lea memang sudah kami anggap seperti anak kami sendiri. Bukan hanya karena dia calon menantu kami, tapi aku dan Mas Anggara memang sudah menyayanginya sejak lama..."
Eyang langsung berbinar mendengar ucapan Mommy Tya. "Ahh... Anak itu beruntung sekali memiliki mertua yang sayang sekali padanya. Aku malah ragu rasa sayang Haydan dan Mitha pada Lea sebesar rasa sayang kalian padanya. Kalaupun ada, itu selalu tertutupi dengan gengsi dan keangkuhan. Kamu tahu, sejak beberapa tahun ini tak sekalipun aku mendengar kata - kata yang baik keluar dari bibir Haydan untuk Lea. Selalu saja tuntutan dan tuntutan. Padahal Lea adalah putrinya sendiri. Hmm... Aku jadi tak sabar melihat Lea menikah."
Lea tak bisa menahan kesedihan dari dalam hatinya mendengar ucapan Eyang. Air matanya perlahan keluar menuruni pipi mulusnya. Sebesar itukah kekhawatiran Eyang terhadap dirinya?
Eyang hanya harus cepat sembuh dan hidup lama dengannya. Dua puluh... Tidak, kalau bisa sampai seratus tahun kedepan. Ia akan membuktikan pada Eyang bahwa ia bisa hidup dengan baik, tanpa takut kehilangan keceriaan dan semangat hidup seperti Eyang dulu. Dan jika sudah tiba waktunya, ia akan menikah dengan seorang pria yang baik dan mencintainya. Tak perlu yang kaya raya dan terhormat, yang penting mereka saling melengkapi. Kalau perlu mereka akan tinggal di sebuah pulau kecil atau pinggir kota bersama anak - anak mereka supaya bebas dari segala aturan dan cemoohan keluarga Adiwangsa yang terhormat.
Tapi ia sadar, keinginannya hampir saja mustahil. Terlebih lagi dengan kondisi penyakit Eyang yang semakin parah. Papa dan Mama melepaskannya berkeliaran disini hanya karena statusnya sebagai calon menantu keluarga Mahendra. Kalau tidak, bisa dipastikan dia akan dipaksa menerima perjodohan dari salah satu kenalan orangtuanya. Seperti mbak Rene...
Lea bergidik. Tak sanggup membayangkan jika dia sampai diseret dan menjalani kawin paksa seperti kakaknya dulu. Maurene Sofia Adiwangsa lima tahun yang lalu dipaksa menikah dengan seorang pengusaha kaya asal Australia yang lebih tua dua belas tahun darinya, padahal waktu itu ia sudah memiliki kekasih.
Lea tersenyum getir. Papa dan Mama melimpahi hidupnya dengan kemewahan dan kekayaan, tapi mengapa miskin sekali dengan pengertian dan kasih sayang?
***
Sepanjang kuliah berlangsung, Lea tak mampu memfokuskan pikirannya pada pelajaran. Diandra yang duduk disebelahnya berkali - kali menyikut lengannya untuk menyadarkannya dari lamunan. Suara Bu Inge yang biasanya terdengar menyeramkan seakan tak lagi memberikan efek apapun untuk Lea hari ini.
Lea benar - benar bisa bernapas lega begitu kelas selesai lebih awal. Bu Inge sempat mengatakan alasannya keluar lebih cepat tadi, tapi Lea tak menyimak sama sekali. Dia menurut saja saat Diandra menariknya paksa menuju kantin.
"Lo kenapa sih? Dari tadi menghela napas mulu? Asma?"
Lea kembali menghela napas. Membuat Diandra yang sudah sejak tadi gemas karena tingkahnya jadi menggerutu.
"Apaan deh, Le?"
"Di..."
"Hoh... Tell me..." Diandra menatapnya dengan antusias dan khawatir. Takut sahabatnya itu tiba - tiba kesambet jin nyasar di kelas tadi.
"Aku mau nikah."
Sialan! Diandra merapatkan bibir kesal mendengar jawaban Lea. Ingin saja rasanya menimpuk kepala Lea dengan diktat tebal di depannya, tapi dia tak sampai hati. Siapa juga yang nggak tau kalau dia mau nikah?
"Gue juga tau kali lo mau nikah!" katanya sebal.
Lea yang tadinya menunduk lesu sambil memainkan cincin di jari manisnya kini menoleh kearah Diandra perlahan - lahan. Diandra mengerjap berkali - kali. Sedikit terkejut melihat air muka sahabatnya yang tampak lebih tua sepuluh tahun dari umurnya.
"Aku beneran mau nikah loh, Di..."
"Iya, tau gue…"
Lea kembali menunduk menatap cincinnya dengan tatapan datar. Mengabaikan wajah cengo Diandra yang tampak sudah memerah seperti orang kebakaran jenggot saking sebalnya. Sebenarnya ekspresi Diandra sekarang itu ekspresi langka, hanya bisa dilihat diwaktu - waktu tertentu seperti saat sekarang ini. Hanya saja, Lea sedang tak berada dalam mood ingin menikmatinya.
"Aku mau minta Mommy Tya urus pernikahanku sama kak Raja dua minggu lagi."
"Ooh...gue kir--WHAATTT? DUA MINGGU?" suara menggelegar Diandra membuat kantin yang sibuk ini senyap seketika. Semua pasang mata sedang menatap kearah mereka dengan ekspresi penasaran. Tapi tak sampai setengah menit kemudian, mereka langsung kembali dengan aktifitas mereka masing - masing.
"Lo hamil?"
"ASTAGHFIRULLAHALAZIM DII..." Lea berteriak sambil terjengit dari kursinya saking terkejut dengan pertanyaan Diandra. Kantin kembali senyap sepi. Dan mereka kembali jadi pusat perhatian.
"Oy, jangan teriak - teriak dong. Ini bukan hutan!" kata salah seorang pria berkemeja flanel warna biru yang duduk tak jauh dari mereka.
Lea dan Diandra hanya mengangguk kecil dengan wajah bersalah. "Maaf yaa..." kata Lea pelan.
Suasana kembali ramai seperti sedia kala. Seorang perempuan yang sebaya dengan Lea dan Diandra menghampiri meja mereka sambil membawa segelas banana milkshake dan segelas orange juice serta seporsi besar roti bakar. Setelah meletakkan pesanan dengan selamat diatas meja, perempuan itu pun berlalu.
"Ya siapa tahu aja lo hamil, makanya mutusin cepat - cepat nikah..."
"Anak siapa emangnya? Kak Elang kan baik. Mana pernah grepe - grepe aku. Orang cium aja cuma di dahi." kata Lea tak terima.
"Kalau Kak Elang emang baik. Tapi kakaknya Kak Elang who knows, kan? Dia kan udah tua, mana tahu emang niat cepat - cepat punya anak." kata Diandra santai.
Lea mendelik. "Kalau tua kenapa emangnya? Hal begituan sebelum nikah dosa, Di!"
"Gue juga tahu kalau itu mah!" kata Diandra. Gadis itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat kearah Lea.
"Tapi lo harus tau, pria dewasa itu libidonya tinggi loh, Le. Apalagi yang lama hidup bebas diluar negeri. Lo emangnya yakin kalau kakaknya kak Elang itu masih suci murni gitu?"
Lea membulatkan mata horor mendengar ucapan Diandra yang blak - blakan. Mukanya yang putih berubah jadi merah padam.
"Diandra!"
Sementara itu Diandra sudah tertawa setan. "Gue gak boong, Le. Bang Gila sama Bang Ke yang ngomong gitu."
"Ih, abang kamu kok pada gak beres sih? Atau jangan - jangan mereka juga pada gitu ya?"
"Gak tau. Gak pernah ketahuan juga sama gue. Tapi mereka selalu semangat setiap kali cerita hal begituan ke gue. Kadang gue heran juga, mereka nganggap gue ini cewek apa cowok sih? Oh ya, Lili kemana? Masih belum kelar juga praktikum tuh anak?" tanya Diandra.
"Nggak tahu. Biasanya jam segini udah nongol dia." Lea mengitari pandangannya kearah pekarangan kantin, mencari - cari kehadiran Lili. Tapi sepupunya itu tak tampak dimanapun.
"So, kenapa lo tiba - tiba pengen cepat nikah? Padahal kemaren lo galau mulu."
Lea mendesah nafas berat. Untuk kesekian kalinya di hari ini.
"Kalau kamu diberi dua pilihan, pertama, tetap bertahan berada disekeliling orang kamu sayangi tapi tidak menyayangimu, atau mencari tahu jalan lain, siapa tahu ada orang menyayangimu diluar sana meskipun resiko terluka dan disakiti lebih besar dari diabaikan orang – orang pertama tadi, gimana?"
Kening Diandra berkerut - kerut mencoba mengartikan maksud dari ucapan Lea. "Maksud lo, lebih baik mana tinggal di keluarga lo ataupun tinggal di keluarga Tante Tya, gitu?"
Lea mengangguk polos sambil menyesap milkshake - nya.
"Sialan lo, Lele! Ngomong straight aja kenapa sih? Sok - sokan pakai kiasan segala..."
"Jawab aja kenapa sih, Di?"
Diandra menerawang sebentar. "Kalau gue sih emm... Milih keluarga Tante Tya kali ya? Secara mereka semua sayang sama lo."
"Tapi tetap aja mereka bukan keluarga asli aku, Di!"
"Trus, keluarga asli lo, Papa Mama lo di Swedia, kedua kakak lo di Kanada dan Australia, sesayang apa mereka sama lo? Kak Ergan mungkin memang peduli sama lo, tapi dia nggak pernah ada disini setiap kali keluarga besar kalian mencemooh atau merendahkan lo, Le. Open your mind, dong! Family is not just related by blood and bone, but also by love."
"But kak Raja doesn't love me. Nggak kayak kak Elang..."
"Karena dia memang bukan kak Elang, Lea. Jangan pernah membandingkan mereka kalau lo mau hidup lo bahagia. Gue pastiin, gak ada seorang lelaki pun di dunia ini yang mau hidup dibawah bayang - bayang lelaki lain, meskipun lelaki lain itu adalah adiknya sendiri.
"Kalau lo emang udah memutuskan, lo hanya tinggal menjalani semuanya dengan baik. Buat kak Raja jatuh cinta dan bertekuk lutut sama lo, seperti lo menaklukkan kak Elang dulu. Lo cantik, adorable dan menarik, gue yakin hanya tinggal menunggu waktu sampai kak Raja jatuh cinta sama lo.
"Tapi semuanya balik lagi ke diri lo sendiri maunya gimana. Gue disini cuma ngasi pandangan doang."
Lea tersenyum. Rasa pesimis dalam dirinya tadi perlahan surut dan digantikan gelombang semangat yang menggebu - gebu.
Baiklah, demi Eyang, dan demi dirinya sendiri, dia sudah memutuskan...
"Thanks Di. Aku bahagia banget punya sahabat seperti kamu. Aku sayang sama kalian, kamu dan Lili..."
"Gue dan Lili pasti selalu ada dibelakang lo, Le. Kita sayang sama lo. Kalau ada apa - apa cerita aja sama kita, okay?"