Meredakan Demam

1226 Kata
Pintu terbuka. Pas Aswin berdiri di sana dengan mimik yang aneh. Jika tadi kedua pipi Mura dihiasi semburat merah muda yang indah laksana senja. Kini, hampir seluruh wajahnya memerah serupa tomat matang. Bagaimanapun, bila bibirmu sedang dikecup seseorang, kemudian ada orang lain memergoki, tentu kamu pun akan merasakan apa yang Mura rasakan sekarang ini. “Heh, heh! Mantu nggak ada akhlak, baru sadar sudah main sosor kayak soang.” Pak Aswin memukuliku dengan peci. Aneh! Kenapa sikap Pak Aswin usil dan penuh rasa humor seperti ini. Sama sekali berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Memangnya orang yang sebelumnya itu bukan Pak Aswin? Memangnya Pak Aswin punya kepribadian ganda? Mungkin lantaran aku mendadak melongo bengong, Pak Aswin pun berhenti memukuliku. Dia berganti menatapku dengan sorot yang serius. Seketika suasana pun tiba-tiba berubah menjadi kaku. Mak Esih yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menutup pintu rapat-rapat. Pak Aswin duduk di sisi ranjang, matanya seakan menerawang entah ke mana. Beberapa kali dia menghela napas panjang. Suasana berubah menjadi serius. “Bapak ini ... sebenarnya punya adik, namanya Asman. Wajah Bapak sama Asman ini sangat mirip, kayak kembar. Usia Bapak sama Asman juga nggak beda jauh, hanya selisih satu setengah tahunan saja.” Pak Aswin mulai bercerita. Aku tidak tahu kenapa Pak Aswin malah bercerita. “Dulu, Bapak sama Asman sama-sama jatuh cinta sama Esih. Tapi, Esih toh nggak mungkin menikahi kami berdua. Esih akhirnya memilih, Bapak. Namun, Asman enggak mau nerima dengan legawa. Dia malah hampir memperkosa Esih. Atas perbuatan rendahnya itu, almarhum Abah sama Ambu membawa Asman ke seberang, melintas pulau.” Pak Aswin kembali menarik napas panjang. Aku pun masih tidak mengerti kenapa Pak Aswin menceritakan masa lalunya. “Waktu itu, gosip Esih yang hampir diperkosa Asman sudah kadung menyebar. Bahkan, menjadi simpang siur, sehingga jauh dari kenyataan. Bahkan, sampai ada yang mengatakan kalau Esih sebenarnya sudah diperkosa berkali-kali. Lantaran kejadian ini, setelah Bapak menikahi Esih, Bapak membawa Esih ke kampung yang jauh. Kampung di mana orang tuamu tinggal itu.” Aku masih mendengarkan cerita Pak Aswin dengan saksama. Sambil berpikir-pikir, apakah masa lalu Pak Aswin ada sangkut-pautnya dengan seseorang yang ingin membunuh Mura. Pak Aswin menyambung kisahnya, “Bapak pikir, setelah memiliki istri dan anak di pulau seberang sana, Asman sudah tobat. Namun, ternyata Bapak keliru. Selama ini Asman bersikap baik hanya karena takut pada almarhum Abah sama Ambu. Tapi, setelah Abah sama Ambu mangkat beberapa tahu silam, Asman sebenarnya masih memiliki dendam sama Bapak. Beberapa tahun lalu, Asman pernah menemui Bapak dan mengutarakan niatnya untuk menikahi Mura sebagai istri keduanya. Alasannya, karena wajah Mura mirip Esih. Tentu saja keinginannya itu Bapak tolak mentah-mentah. Setelah itu, Asman bersama istri dan kedua anaknya menghilang. Bapak putus kontak sama dia. ” Jadi, orang yang kulihat dan suaranya mirip Pak Aswin itu sebenarnya Kang Asman. Adik kandung Pak Aswin? “Bapak sudah mendengar semua ceritanya dari Ismail dan juga Mura. Kamu orang baik Ali. Mulanya, Bapak pikir kamu ini juga pengkhianat karena membawa kabur Mura. Ditambah lagi, kamu juga pukul Bapak sampai kelenger. Namun, setelah mendengar semuanya dari Mura, Bapak akhirnya mengerti kalau semuanya hanya salah paham.” Pak Aswin terkekeh. Salah paham? “Tapi ... waktu di hutan itu kenapa saya dipukul sampai pingsan? Bapak juga pegang pisau?” Aku benar-benar tidak mengerti. “Oh! Malam itu Bapak dapat info kalau kalian ada dalam bahaya. Asman memanfaatkan suaranya yang sama seperti suara Bapak untuk mengecoh semua anak buah Bapak. Dia menyuruh orang-orang yang menjaga kalian pergi. Asman juga sengaja bicara seolah-olah Bapak menginginkan kematian Mura. Bapak rasa dia sengaja bicara seperti itu agar nantinya kamu balas dendam ke Bapak. Dengan begitu, Bapak dan kamu pasti akan sama-sama hancur, sedangkan dia tinggal memungut hasil.” Pak Aswin kembali menghela napas. Aku masih mendengarkan dengan serius. Pak Aswin kembali menyambung, “Malam itu, Bapak sangat panik. Di tengah pencarian, Bapak menemukan belati. Lalu, kamu tiba-tiba muncul. Kamu juga bersikap aneh, berteriak-teriak histeris. Belum sempat Bapak menanyakan apa yang terjadi, anak buah Bapak keburu memukul kamu dari belakang. Anak buah Bapak pikir kamu penjahatnya.” Aku mengerti sekarang. Jadi, semuanya memang salah paham semata. Pak Aswin sama sekali bukan orang jahat. “Jadi, biang keladi dari semua kekacauan ini Kang Asman? Bukan Bapak? Bukan karena Bapak punya selingkuhan dan ingin menyingkirkan Mura dan Mak Esih?” Pletak! Pak Aswin menyentil kepalaku. “Ngawur kamu!” “Tapi ... yang tadi itu?” Apakah yang menyuruh orang menyuntikku itu Kang Asman, bukan Pak Aswin. Pak Aswin terkekeh. “Oh, yang tadi pagi itu Bapak. Bapak sengaja mengarang cerita kalau Ismail akan membawa Mura. Bapak juga yang menyuruh orang membungkus badan kamu sama kain basah dan dimasukkan ke dalam peti. Semuanya itu sebagai balasan karena kamu sudah membogem Bapak sampai semaput.” Pak Aswin tertawa besar tanpa perasaan berdosa sama sekali. Aku melongo! Aku bahkan sampai meneteskan air mata. Ternyata semua hanya sandiwara belaka. Pak Aswin benar-benar keterlaluan. Dasar mertua nggak ada akhlak. Mengerjai sampai aku mengira diriku sudah mati. Benar-benar kelewatan. Namun, aku tidak berani marah. Sebab, sebenarnya tindakanku membogem Pak Aswin sampai kelenger pun memang cukup kelewatan. Bahkan, boleh dikatakan kurang ajar. “Yasudah, sekarang semuanya sudah jelas. Lebih baik kamu istirahat dulu.” Pak Aswin menepuk-nepuk bahuku. “Lalu Ismail?” Sebenarnya aku bertanya apakah Ismail pernah ada hubungan spesial dengan Mura. Namun, tidak enak. Waktunya tidak tepat. Pak Aswin tersenyum. “Sudah, jangan banyak tanya dulu. Nggak usah cemburu sama Ismail. Kamu juga tenang saja, hati Mura sekarang hanya untuk kamu saja, kok. Kalau enggak, mana mau Mura di sosor-sosor sama kamu. Iya, kan, kan?” Pak Aswin menaik-turunkan kedua alisnya. Ternyata dia memang benar Pak Aswin yang jahil dan suka humor yang membuatku merasa tak punya muka. Bangkit, Pak Aswin mengerling nakal ke arah Mak Esih. “Hayu, Mak. Kita biarkan Ali sama Mura istirahat. Siapa tau mereka mau ehmm, ehmmm ...,” Pak Aswin berdehem-dehem keras, “biar kita cepat-cepat punya cucu.” Mak Esih menanggapi dengan tawa. “O, iya, Ali. Ahmad juga sudah Bapak minta datang ke sini, mungkin besok baru bisa datang.” Ahmad nama Bapak. “Terusss, kalau mau mesra-mesraan jangan lupa pintunya dikunci,” sambung Pak Aswin lagi. Dia terkekeh. “Atau ... kita kunci dari luar aja ya Ma, kaya waktu itu,” bisik Pak Aswin di telinga Mak Esih. Entah bisikan macam apa, sampai aku pun masih dapat mendengarnya dengan jelas. Mak Esih langsung tertawa ngakak, Pak Aswin pun tertawa terbahak. Pintu ditutup dari luar. Hening! Aku mengembuskan napas perlahan, berusaha menenangkan diri. Setelah itu baru berani menoleh ke arah Mura yang duduk menunduk sedari tadi. Wajah Mura masih memerah seperti tomat matang. “Kamu, taunggak?” tanyaku memecah keheningan. Mura mendongak. Aku meraih tangan Mura dan membawanya ke keningku. “Panas kan?” Mura mengangguk. “Saya ini demam, gara-gara cukup lama dibungkus kain basah sepertinya. Jadi, sekarang sakit. Saya pernah baca di novel karya Li kalau enggak salah. Salah satu metode mengobati demam itu dengan cara pengobatan alternatif.” “Pengobatan alternatif?” Mura tampak bingung. Aku mengangguk. “Seperti apa?” Mura menatapku. “Sini, kamunya naik ke sini,” aku menepuk-nepuk kasur di sisiku, “nanti saya kasih tau caranya.” Lugu, Mura segera naik dan duduk di sampingku. Tersenyum, segera aku menarik Mura ke bawah selimut. Mengajarinya cara mengobati demam seorang suami dengan metode pengobatan alternatif, sekaligus ikhtiar agar Pak Aswin dan Mak Esih segera mendapatkan cucu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN