Kang Asman

1597 Kata
Termenung. Ternyata dugaanku selama ini salah besar. Pak Aswin sama sekali tidak selingkuh juga tidak memiliki anak lain dari wanita lain. Pak Aswin sama sekali tidak memiliki niat membunuh Mura, sebaliknya malah sangat sayang pada Mura. Mura. Tiap kali mendengar, mengingat, atau memikirkan nama ini, selalu hatiku terasa hangat dan manis. Tiap kali mendengar, mengingat atau memikirkan nama ini, selalu dadaku dipenuhi oleh kerinduan. Kini sudah larut malam, Mura sudah tidur. Setelah kejadian aku menariknya ke dalam selimut tadi, sikap Mura berubah lagi. Dia seakan menghindariku, bahkan balas menatapku pun seolah enggan. Apa mungkin Mura marah? Merebahkan diri, aku memandangi punggung Mura. “Kamu marah, ya, sama saya?” tanyaku sembari memeluk Mura dari belakang. Aku tahu Mura hanya pura-pura tidur, tetapi dia tidak menyahut. Aku menenggelamkan wajahku di kepala Mura, menikmati aroma harum rambutnya. “Kalau tidak mau harusnya kamu bilang. Kamu kan tahu, laki-laki biasanya suka nggak bisa mengendalikan diri. Apalagi saya sempat berpikir bakal berpisah selamanya sama kamu. Jadi, saat saya berada di dekat kamu, apa yang ingin saya lakukan hanyalah meluapkan semuanya.” Hening. Mura tidak memberi reaksi. Kendati demikian, aku tetap tahu kalau Mura sebenarnya belum tidur. “Saya sayang sama kamu,” bisikku setengah mengingau. Setelahnya, aku pun benar-benar pergi ke alam impian. Seharian ini, terlalu banyak kejadian mengejutkan. Dari menakutkan, menegangkan, sampai memabukkan umpama tercebur di danau madu. Semuanya membuat tubuhku terasa letih. Mungkin setelah terlelap, badanku akan kembali segar. Bagaimanapun, persoalan di keluarga Pak Aswin masih belum selesai. Sebab, Kang Asman masih berkeliaran bebas. Boleh jadi, dia sudah menyusup ke rumah ini. Mendekam di sudut gelap, bersiap menyergap dengan sebilah belati yang tajam dan mematikan. Keselamatan jiwaku, jiwa Mura, Pak Aswin, dan Mak Esih dapat terancam sewaktu-waktu. Pak Aswin enggan melaporkan persoalan ini kepada polisi, karena menurutnya percuma saja. Jika melapor kepada polisi, akan butuh proses sampai kasus ini ditangani. Dan menurut Pak Aswin, ketika menunggu proses itu, kemungkinan segala sesuatunya sudah telanjur terlambat. *** Cerah. Pagi ini cerah. Usai shalat Subuh, Mura langsung menghilang. Katanya ingin menyiapkan sarapan bareng Mak Esih. Sikapnya masih malu-malu, bahkan berusaha keras menghindari tatapanku. Namun, saat aku tanya lagi apakah dia marah atau tidak, dia hanya menggeleng pelan. Tidak marah tetapi menghindar mati-matian, sungguh aneh. Mungkin, itulah yang dinamakan kerumitan hati wanita. Aku tidak ingin ambil pusing. Asal Mura bilang tidak marah, maka tidak ada lagi hal yang mesti dirisaukan. Asal Mura tidak membenciku, segala hal apa pun terasa lebih ringan. Sepertinya aku memang tengah kasmaran. Dari sekian banyak hal, hanya segala sesuatu tentang Mura saja yang terpikirkan. Sambil menunggu Mura dan Mak Esih membuat sarapan. Pak Aswin mengajakku mengobrol di ruangan depan. Menurut Pak Aswin, semenjak Abah dan Ambu meninggal, hubungannya dengan Kang Asman semakin renggang. Terutama sejak Kang Asman memiliki niat mempersunting Mura. Bahkan, kehilangan komunikasi sejak saat itu. Kendati begitu, Pak Aswin tidak pernah berpikir bahwa Kang Asman akan bertindak sejauh ini. Berusaha membunuh Mura, berusaha mengadu domba aku dengan dirinya. Pak Aswin pikir, semua masalah selesai ketika Kang Asman memutuskan untuk menghilang bersama istri dan kedua anaknya. Kang Asman sudah menikah—dengan cara dijodohkan—oleh Abah sama Ambu. Dari pernikahannya itu, lahirlah dua orang anak perempuan. Namun, rupanya cinta Kang Asman pada Mak Esih masih tetap tumbuh subur, sekalipun dia sendiri pun telah berkeluarga. Mura pun menjadi sasaran obsesi Kang Asman berikutnya. Mendengar cerita Pak Aswin, aku hanya bisa menghela napas tiada henti-hentinya. Bagaimana tidak, cinta Kang Asman benar-benar menyeramkan. Dia sampai tega hati ingin mencelakai keluarga dari kakak kandungnya sendiri. Padahal, semestinya cinta membawa kedamaian, kenyamanan. Semestinya—jika memang Kang Asman betul-betul mencintai Mak Esih, dia harus bisa melepaskan. Ikhlas. Memang tidak mudah melepaskan dan mengikhlaskan orang yang kita cintai pergi. Namun, semakin dikekang, malah akan semakin bertambah sakit. Tak ubahnya menggenggam duri. Semakin erat duri digenggam, semakin menusuk dan membuat tangan berdarah. Aku pernah mengalaminya. Sakit. Bertahun-tahun aku bertahan menggenggam duri, tak mau ikhlas menerima kepergian Kamalia. Sakit. Setiap hari selalu dibayangi awan gelap kemasygulan. Bersyukur, aku bertemu Mura. Kehadiran Mura membuatku sadar akan kekhilafan. Memberiku energi agar mau ikhlas menerima kenyataan. Tidak mudah. Memang tidak mudah. Namun, aku tetap mencoba dan berusaha. Kini, aku sudah mengikhlaskan Kamalia. Kini, awan hitam kemasygulan telah tiada. Kini, hanya pada Mura-lah hatiku bermuara. Mura! Selalu hatiku merasa hangat saat mengingatnya. “Bapak nggak mengira, ternyata kemarahan dan dendam Asman bertahan sampai selama ini. Sampai senekat ini.” Pak Aswin menghela napas panjang. Suara Pak Aswin membuyarkan lamunanku. Saking tenggelamnya pada lamunan, aku sampai tidak sadar sedang bersama Pak Aswin. Buru-buru, aku mengangguk, tanda menyetujui apa yang diucapkan Pak Aswin—Kang Asman memang sangat nekat. “Lalu Ismail ke mana, Pak?” tanyaku, keluar dari topik pembicaraan. Sebenarnya, sudah dari kemarin aku penasaran. Sebab, sejak kemarin aku tidak melihat pemuda yang tatapannya menyebalkan itu. “Dia pergi.” “Pergi?” Aku mengulang. Mata Pak Aswin tampak menyayangkan, sepertinya dia cukup kehilangan Ismail. “Ismail pemuda yang baik. Dia juga rajin dan ulet, akhlaknya terpuji. Jujur, ramah, dan selalu menjaga sopan santun. Terhadap yang tua selalu menaruh hormat, terhadap yang lebih muda tidak pernah menindas. Sejujurnya, dulu Bapak sudah mantap menjodohkan dia dengan Mura. Di sini lain, Mura pun ....” Pak Aswin menghirup udara dan tidak meneruskan ucapannya. “Mura pun menyukai Ismail?” Aku meneruskan kalimat Pak Aswin yang terpenggal. Saat melontarkan kalimat ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Tidak rela! Tidak rela kalau ternyata Mura pun menyukai Ismail. Pak Aswin tersenyum hambar. “Dulu, Mura dan Ismail pernah dekat. Meski tidak ada status resmi di antara keduanya, mereka sama-sama saling jatuh cinta. Diam-diam suka mencuri kesempatan bertemu. Diam-diam mencari kesempatan agar dapat bekerja berdua. Bapak pun pernah terlintas keinginan untuk menjodohkan mereka berdua. Namun, kemudian sikap Mura berubah. Berubah dingin. Dia seakan tidak lagi tertarik kepada laki-laki mana pun.” Dan pada akhirnya, Mura malah dijodohkan denganku. Terkadang, takdir memang aneh. Terkadang, jodoh dan kematian datang dengan cara yang aneh sekali. Kini, setelah tenung atau santet “Menikah Dengan Botol” patah. Apakah rasa cinta Mura pada Ismail kembali tumbuh? Lagi-lagi pertanyaan ini menghampiriku. Datang seperti sebatang jarum yang membuat kepala berdenyut—sakit. “Kemarin, Ismail mendatangi Bapak. Dia bercerita kalau kamu menuduh Bapak hendak membunuh Mura. Dan dari sanalah Bapak tahu, bahwa antara kamu sama Bapak telah terjadi kesalahpahaman. Setelah memberitahukan keberadaan kalian itu, Ismail lekas pamit pergi. Bapak rasa karena dia tidak ingin merecoki hubungan kalian berdua. Sebenarnya, Ismail menitipkan sebuah kalimat sama kamu. Satu kalimat dan satu kata maaf. Kemarin belum sempat Bapak sampaikan sama kamu.” “Sebuah kalimat?” “Tolong jaga Mura! Itu kalimat yang dia titipkan. Selain itu, dia juga menitipkan permintaan maaf. Ismail bilang, dia minta maaf karena mungkin sikapnya pada kamu kurang baik atau kurang sopan. Hal itu dikarenakan dia mengira kamu pria jahat yang ingin menyakiti dan menculik Mura. Kemarin, semua ini belum sempat Bapak sampaikan ke kamu. Lagian, kamunya malah keburu pingsan pasca dikerjai itu.” Pak Aswin tertawa tanpa merasa berdosa. Ya gimana aku nggak pingsan coba, hidup-hidup dimasukkan ke dalam peti mati. Walaupun sebenarnya peti mati dikasih lubang udara, sehingga aku tetap bisa bernapas. Tetap saja aku sempat mengira diriku ini sudah almarhum. Siapa yang tidak semaput coba mengira dirinya sudah almarhum. Masih beruntung aku hanya pingsan dan tidak kena serangan jantung. Pak Aswin emang mertua kejam. Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatianku dan Pak Aswin. Setelah dipersilakan masuk, seorang pemuda bertubuh jangkung, berkulit putih, masuk dengan sopan. Aku pernah melihat orang ini, dia salah satu dari tiga orang penjaga di pos waktu itu. “Ilham,” sapa Pak Aswin. Ilham mengangguk, dia tersenyum ramah padaku juga Pak Aswin. Dari sakunya, dia menyerahkan selembar kertas berisikan sederet angka. Tangannya sedikit gemetar. Katanya, “Saya sudah mendapatkan nomor CeuRiyah.” CeuRiyah istrinya Kang Asman, adik ipar Pak Aswin. Sambil menerima kertas, Pak Aswin memperhatikan tangan Ilham. “Tangan kamu kenapa?” “Oh! Kemarin salah seorang pekerja di kebun arbei terpeleset. Gagang cangkul yang dibawanya secara tidak sengaja menyabet lengan saya.” Ilham menjelaskan sembari agak meringis—mungkin lengannya sakit. Pak Aswin mangut-mangut maklum. “Kamu yakin ini nomor Riyah?” Ilham mengangguk yakin. “Saya sudah menyewa seorang ahli IT untuk mendapatkan nomor CeuRiyah lewat foto yang Bapak kasih. Saya pastikan dia seorang ahli IT yang profesional. Hasil kerjanya dapat dipertanggung jawabkan.” Ilham berkata dengan mantap. Pak Aswin mengangguk-angguk puas, dia kelihatan riang. “Kamu memang bisa diandalkan, sama seperti kakak kamu. Kalau kalian berdua bekerja sama, Bapak yakin segala urusan pasti bakal kalian mampu selesaikan.” “Sayang A Ismail malah pergi.” Ilham tampak murung. Pak Aswin menghela napas—menyesalkan. Ternyata Ilham adik Ismail, pantas aku merasa ada kemiripan di antara keduanya. Selain sama-sama cakap untuk ukuran tampang lelaki, keduanya juga memiliki tinggi badan yang hampir sama. Benar-benar terlahir dari bibit yang sama. “Kalau tidak ada hal lain lagi, saya mohon izin,” pamit Ilham. Pak Aswin mengangguk. Ilham segera mengundurkan diri dengan sopan. Seusai kepergian Ilham, cukup lama Pak Aswin memandangi secarik kertas di tangannya. Lewat beberapa lama, barulah Pak Aswin merogoh ponsel dari saku celananya. Pak Aswin melakukan panggilan suara. Tut ... tut ... tut. Telepon tersambung, tetapi belum diangkat. “Assalamualaikum ....” Terdengar suara perempuan di seberang—setelah beberapa lama. “Wa’alaikumussalam, Ri. Ini Akang, Kang Aswin. Gimana kabar kamu?” “Kang Aswin! Alhamdulillah, baik, Kang. Cuma ....” “Cuma kenapa, Ri?” “Siapa yang menelpon, Neng?” Terdengar suara lain dari seberang, suara yang sama persis dengan Pak Aswin. Hanya saja, terdengar parau. “Asman!” Pak Aswin berseru kaget. Tut! Tut! Tut! Panggilan terputus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN