Serangan Misterius

1370 Kata
Hening. Aku dan Pak Aswin sama-sama terdiam. Tengkukku terasa sangat dingin. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Pak Aswin. Yang pasti, kami sama-sama tenggelam pada pemikiran masing-masing. Kang Asman! Apakah Kang Asman membawa serta istri dan kedua anaknya? Tujuan Pak Aswin menelepon CeuRiyah tidak lain untuk mendapatkan informasi. Pak Aswin ingin bertanya, sejak kapankah Kang Asman meninggalkan CeuRiyah. Apakah pernah ada bilang mau ke mana atau mau melakukan apa. Namun, ternyata Kang Asman masih bersama Ceu Riyah? Bukankah ini agak aneh? Di saat seperti itu, tiba-tiba saja ponsel Pak Aswin berdering, panggilan video masuk. Ternyata yang melakukan panggilan adalah Kang Asman. Ketika Pak Aswin menerima panggilan, aku sudah berada di belakangnya. “Kang ....” Tampak Kang Asman menyapa lemah. Selang oksigen terpasang di hidungnya, selang infus pun tersambung ke tangannya. Dia sedang terbaring tidak berdaya di brankar rumah sakit. “Asman, kamu?” Pak Aswin kelihatan bingung juga prihatin. “Saya sakit, Kang, sudah dua bulan. Sebenarnya ... saya memang ingin menghubungi Akang, ingin minta maaf. Saya takut ... takut nggak ada umur. Tapi, saya sudah menghapus semua kontak Akang.” Mata Kang Asman berkaca-kaca. “Kamu ... kamu ada di mana sekarang, Man?” “Di Sumatra, Kang. Setelah Akang menolak niat saya menikahi Mura, saya memutuskan untuk pergi dan memutuskan kontak dengan Akang. Namun, setelah merenung beberapa lama, saya mulai menyadari kalau saya keliru selama ini. Saya merasa berdosa. Saya ingin meminta maaf sama Akang, tapi saya malu. Saya pun tidak memiliki kontak Akang.” Mata Kang Asman semakin berkaca-kaca. Pak Aswin sendiri kelihatan syok. Kang Asman kembali bicara dari seberang sana. “Sudah dua bulan saya dirawat di rumah sakit, paru-paru basah. Selama sakit, entah kenapa saya mendadak ingin bicara sama Akang, ingin minta maaf.” Saat aku melirik Pak Aswin, kelihatan matanya berkaca-kaca. “Saya sudah memaafkan kamu sejak dulu, Wan. Kita lupakan saja semua kejadian di masa lalu.” Air mata menetes dari mata Kang Asman. Jika dekat, mungkin dia sudah akan memeluk Pak Aswin. Katanya emosional, “Makasih, Kang makasih.” Pak Aswin mengangguk-angguk, air matanya bercucuran. Mataku pun terasa pedih menyaksikan kejadian yang begitu mengharukan ini. Dua saudara yang selama bertahun-tahun hidup dalam konflik, terpisah, hilang kontak. Kini, tahu-tahu bertemu lagi dan ternyata sudah saling melupakan kemarahan di masa lalu. Saling berurai air mata dalam kata maaf. Bagaimana mungkin aku tidak terharu? Sambil mengusap matanya, Kang Asman mengalihkan pandangannya padaku. Tanyanya, “Itu yang di belakang siapa, Kang?” Pak Aswin melirikku lalu tersenyum. Jawabnya, “Dia menantuku, Man. Dapat nemu di kolong kandang kambing.” Kang Asman tertawa. Aku tidak tahu harus tertawa atau menangis. “Kang, udah dulu, ya. Ada suster yang mau cek, nanti saya hubungi lagi,” kata Kang Asman, pamit. “Iya, Man, iya. Sehat-sehat, ya. Jangan pernah lagi inget-inget kejadian yang sudah lalu.” “Iya, Kang. Assalamualaikum ....” “Wa’alaikumussalam.” Hening. Suasana kembali hening. Pak Aswin terdiam sembari mengusap sudut matanya. Mungkin dia masih merasa terharu. Setelah sekian lama terpisah—meski hanya melalui panggilan video—akhirnya dia bertemu lagi. Bagaimanapun, darah memang lebih kental daripada air. Namun, tidak denganku. Pikiranku jauh melayang ke mana-mana. Bagaimana tidak. Kang Asman ternyata ada si Sumatra. Lalu, siapa orang yang selama ini menyerupai Pak Aswin. Bahkan, suaranya sama. Tubuhku tiba-tiba merinding jeri. “Seharusnya dari dulu saya menyuruh orang mencari kontak Asman,” gumam Pak Aswin menyesal. Kelihatannya Pak Aswin sangat sayang terhadang Kang Asman. Mungkin, di dalam hati dia pun merasa sedikit berdosa. Sebab, bagaimanapun, dirinya menjadi sebab mengapa Kang Asman berubah tingkah polahnya di masa lalu. Walau dalam hal ini, Pak Aswin sama sekali tidak dapat dipersalahkan. Karena cinta memang tidak bisa dipaksakan. Saat ini, mungkin pikiran Pak Aswin sedang teralihkan. Sedang sibuk memikirkan adik kandungnya yang ternyata sedang sakit. Namun, pikiranku justru terus berputar pada siapa sekiranya orang yang mampu menyerupai Pak Aswin. Boleh jadi, orang yang dapat menyerupai—bahkan dapat menirukan suara Pak Aswin dengan sempurna itu—sedang berkeliaran di sini. Berkeliaran di rumah ini. Aku dan siapa pun tidak akan mengenali dan mencurigainya. Hal ini benar-benar menyeramkan. Aku dan Pak Aswin laksana melawan hantu yang tidak kelihatan. Si hantu dapat melihat gerak-gerik kami dengan leluasa. Sebaliknya, kami tidak dapat melihat musuh sama sekali. Musuh yang sangat menakutkan! Sejatinya, musuh yang tidak kelihatan memang lebih menakutkan dan berbahaya. Justru pada saat pikiranku amat kalut, tiba-tiba malah terdengar suara jeritan Mura dari dalam kamar. Tak dapat kulukiskan bagaimana perasaanku saat mendengar jeritan Mura yang menyayat hati itu. Dunia seakan tak lagi berputar, waktu seakan berhenti. Hatiku dilanda takut yang amat sangat. Aku berlari menerjang pintu dan segala apa pun yang menghalangi. Rasanya sukmaku pun ikut melayang-layang. Saat berlari menuju kamar, aku seperti melihat bayangan berlari. Namun, aku tetap memilih berlari ke arah kamar ketimbang mengejar si bayangan. Kamar Mura ada di bagian tengah rumah. Setelah berkelok ke kanan dari ruangan depan, akan ada sebuah pintu dengan ornamen kepala kucing menggantung. Di sisi kanan pintu terdapat kabinet memanjang berbentuk letter L. Di atas kabinet berjejer macam-macam vas dan kendi berisi bunga. Yang aku ketahui namanya hanya bunga mawar, anthurium dan lavender. Aku sudah memegang kenop. Jantungku serasa tercabut rontok saja ketika melihat Mura terduduk di lantai dengan darah bercucuran dari dadanya. Mura! Lututku lemas. Baju yang dipakai Mura warna putih, darah berwarna merah—semerah kelopak mawar. Begitu kontras. Begitu menusuk mata. Gemetar, aku menghampiri Mura. Mura langsung memelukku erat, menangis sesenggukan. Kuku-kukunya mencengkeram kulit di punggungku. *** Luka! Luka Mura sudah dibalut. Lukanya tidak terlalu parah. Sepertinya orang yang ingin melukai Mura dilanda keraguan. Ujung belati hanya menancap satu senti dua milimeter. Bukan luka luka yang ringan, tetapi juga tidak fatal dan tidak parah. Akan tetapi—jika saja belati itu terus menusuk sampai ke dalam, kemungkinan akan melukai jantung. Bila hal itu sampai terjadi, kecil kemungkinan Mura masih hidup sekarang. Kendati luka tidak terlalu dalam, darah yang keluar lumayan banyak. Pakaian Mura hampir berubah merah. Hal itu benar-benar membuatku ketakutan setengah mati. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak tadi. Dokter yang merawat Mura sudah pergi. Mungkin sedang mengobrol sama Pak Aswin di depan. Kata Pak Aswin, dia dokter yang sama dengan yang mengobati Mura waktu kena racun dulu—terkena panah beracun. Pak Aswin tidak membawa Mura ke rumah sakit dengan alasan jauh. Kebetulan, dokter keluarga Pak Aswin sedang berada di rumah. Posisinya juga lebih dekat ketimbang membawa Mura ke rumah sakit. Kini, Mura ada dalam pelukanku. Dia sudah tidak menangis lagi, hanya saja wajahnya sangat pucat. Sepertinya masih syok. Aku mengelus-elus lengan Mura, sesekali mengusap punggungnya atau mengecup puncak kepalanya. Aku harap Mura bisa lebih tenang dalam rengkuhanku. “Sakit, ya? Yang sabar, saya tahu kamu wanita kuat.” Aku menghibur. Air mata Mura menetes. Aku segera mengusap pipi Mura, menghapus air matanya. Ya Allah, angkatlah segala rasa sakit dari tubuh Mura. Aku benar-benar nggak tega melihat Mura kesakitan seperti ini. Mak Esih memasuki kamar, dia langsung memeluk Mura. Tangis keduanya pun pecah. Saat seorang anak terluka, ibunya pasti akan lebih terluka lagi. Bahkan, mungkin rasa sakit yang dirasakan sang ibu justru lebih berlipat-lipat. Aku pun dapat melihat kesedihan yang dalam dari sorot mata Mak Esih. Setelah saling menangis dan berurai air mata beberapa lama, Mak Esih melepaskan rangkulannya. Dia mengelus kepala Mura. “Yang sabar, Neng. Yang kuat. Ini cobaan dari Gusti Allah ....” Mak Esih berusaha menguatkan. Mura kembali ke rangkulanku, menangis. Siapa pun yang mengalami kejadian hampir mati ditikam pisau, pasti akan merasakan suatu perasaan takut, waswas, dan sedih. Perasaan tak nyaman yang menggelisahkan hati. Perasaan yang membuat pikiran menjadi runyam. Aku dapat memahami hal ini. Bagaimanapun, Mura hanya seorang perempuan yang rapuh. Hatinya pasti hancur dan terluka mendapati dirinya sudah dua kali dicelakai orang. Bagaimanapun, Mura memang seorang perempuan yang sebenarnya pemalu. Jiwanya pasti mengalami guncangan yang keras. Di saat seperti ini, aku ingin ada untuk menghibur Mura. Di saat seperti ini, aku ingin menjadi tempat yang nyaman untuk Mura. Juga, ingin secepatnya membongkar siapa sebenarnya yang hendak mencelakai Mura! Kenapa dia ingin mencelakai Mura? Apa Motifnya? Aku benar-benar ingin tahu. Hayoooo~ manaaa komennyaaaaa~ Aku nungguin, loh. Soalnya kalau baca komen-komen kalian aku jadi semangat banget ngetiknya. (≧▽≦) Terima kasih buat yang selalu menyempatkan klik love dan komen. Sayang kalian semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN