Man Robbuka

1094 Kata
Pagi. Mentari bersinar mengusir kegelapan. Sinar keemasannya menerobos masuk melalui jendela dan celah-celah ventilasi. Semenjak kejadian di kamar mandi tadi, Mura terus membisu. Entah karena dia memang pendiam atau mungkin marah padaku. Aku sendiri tidak berani memastikan. Aku tidak siap kalau ternyata Mura benar-benar marah atas sikapku yang merasa cemburu. Namun, siapa pun yang berada di posisiku, bukankah pasti akan merasa cemburu. Jika kamu benar-benar mencintai wanitamu, kamu pasti akan bisa merasakan apa yang aku rasakan. Jika kamu benar-benar mencintai wanitamu, kamu pun pasti tidak akan rela ada lelaki lain yang menatap wanitamu dengan pandangan penuh damba serta cinta. “Emm ....” Mura yang sedari tadi duduk di belakang menyentuh sikuku. Aku memutar badan dan menatapnya. Mura salah tingkah ditatap olehku, sudut bibirnya berkedut-kedut. “Apa?” tanyaku. Mura seperti ingin mengatakan sesuatu. “Emm, a ... em, a ....” Aku mengernyit kening karena tidak mengerti maksud Mura. “Kamu mau ee?” tanyaku kemudian. Bibir Mura langsung terkatup mendengar pertanyaanku, pipinya menggembung. Dia bahkan mendelik marah. Memang apa yang salah dengan pertanyaanku? “Maaf ...,” aku memelas. Mura tetap marah. “Kan saya bingung kamu cuma bilang emm, a ... emm a.” Aku menggaruk-garuk kepala. Mura tetap merajuk keki. “Hmmm, jangan-jangan kamu mau bilang sayang, ya?” godaku. Aku berusaha menutuk-nutuk pipi gembil Mura dengan jari telunjuk. Tentu saja Mura langsung menepis tanganku dan bertambah kesal. Aku lantas menghentikan gerakan secara tiba-tiba. Kemudian, memasang mimik wajah seserius mungkin. Terpengaruh oleh tindakanku, Mura pun ikut terdiam dengan ekspresi heran—menatapku dengan tanda tanya. “Kamu dengar suara nangis nenek-nenek, nggak?” tanyaku berbisik lirik, sedangkan pandanganku bergerak ke sana kemari. Mura langsung beringsut mendekat, matanya gelisah menatap ke sana kemari. Aku tertawa di dalam hati. “Dengernggak? Kayak di kolong rumah, ya,” desisku lagi dengan suara dibuat-buat seram. Wajah Mura langsung membeku. Ya Allah, Mura beneran penakut akut ternyata. “Sini, sini, saya peluk biar aman,” bujukku sembari mengulurkan tangan. Menurut, Mura menyandarkan pipinya di dadaku, sedangkan tangannya memeluk punggungku. Menggemaskan juga kasihan. Aku jadi merasa bersalah sudah menakut-nakutinya. Lembut, aku mengelus pipi Mura dan membuatnya mendongak. Jantungku berdebar saat pandangan kami saling bertemu. “Kamu tahu, nggak? Dari dulu, ada satu hal yang membuat saya selalu penasaran sama kamu.” Aku berucap dengan seserius mungkin. “Apa?” Mura berusaha melengoskan wajah, tetapi aku menahannya agar tetap mendongak. “Kenapa kalau kamu marah atau takut, wajah kamu tetap cantik, ya? Kenapa coba? Heran saya!” Mura mengedip, tertegun sepertinya. Sudut bibirnya berkedut. Dia kemudian menepis tanganku dan menyembunyikan wajahnya di dadaku. “Kenapa disembunyiin, sini saya mau lihat.” Aku menarik main-main kepala Mura agar kembali mendongak. Sebaliknya, Mura malah semakin melesakkan wajahnya ke dadaku. Hangat. Setiap kali bersama Mura, hatiku selalu hangat. Aku balas memeluk Mura dan mendekapnya erat dengan geregetan. Hening. Sinar keemasan, suara cicit burung, semuanya terasa syahdu. Setelah beberapa kejap, aku kembali menarik pelan kepala Mura supaya mendongak. Kali ini aku benar-benar serius. Tanyaku, “Mau bilang apa?” Mura merapatkan bibir, semburat merah merebak di kedua pipinya. “Emm, a ....” “Iya ....” “Emmm ....” Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu. Dasar pengganggu! Aku tersenyum, Mura pun tersenyum. Mura bangkit dari pangkuanku, sedangkan aku lekas menuju pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, segera hatiku seperti tenggelam di danau es, dingin. Tubuhku pun membeku seumpama berubah menjadi sebongkah batu. Keringat dingin membasahi telapak tangan dan punggung. Pak Aswin berdiri di ambang pintu. Aku menelan ludah. Kemudian, segala sesuatu berubah gelap. *** Terikat. Ketika aku tersadar, kedua tanganku telah terikat ke belakang. Kedua kaki pun demikian, terikat erat ke kaki kursi. Betapa pun aku berusaha melepaskan diri, sia-sia. Tali tambang sebesar jempol ini begitu kuat. Aku berada di ruangan yang gelap. Tidak ada apa pun di ruangan ini selain aku dan kursi yang kududuki. Sepotong hantu pun tidak kelihatan di sini. Di mana Mura? Saat itu, ketika membuka pintu, tiba-tiba hatiku seperti tenggelam. Tubuh membantu dan keringat dingin bercucuran. Pak Aswin tiba-tiba saja ada di ambang pintu bersama beberapa orang di belakangnya. Aku sempat berkelahi dengan sepuluhan orang anak buah Pak Aswin. Namun, pada akhirnya aku kebobolan, kemudian jatuh terkapar dan pingsan. Kini, di sinilah aku berada. Ternyata Ismail memang pengkhianat. Mungkin saja Ismail dan Pak Aswin telah membuat kesepakatan. Mungkin Ismail akan membawa pergi jauh Mura dan menghilang. Sebagai gantinya, Ismail menyerahkanku sebagai tumbal pada Pak Aswin. Jika Mura menghilang dan aku mati, bukankah rencana Pak Aswin akan tetap berjalan lancar? Kriet! Pintu terbuka perlahan. Pak Aswin dengan mimik dingin dan sorot mata seram muncul dari balik pintu. Dia melangkah perlahan, setiap langkah begitu mantap dan membawa semacam aura kewibawaan. Dia memang orang yang berkarisma. Pak Aswin menatapku dengan sorot mengintimidasi. Dia mengeluarkan sebuah belati yang bilah tajamnya dililiti kain putih. “Milik siapa belati ini?” tanya Pak Aswin, datar. “Orang yang hendak mencelakai saya,” jawabku, tenang. “Siapa?” “Kalau Bapak tidak tahu, gimana mungkin saya bisa tahu.” Pak Aswin mangut-mangut. “Kamu tahu kalau saya akan membunuh kamu siang ini juga?” Aku menelan ludah. Gimana pun, saat mengetahui ajal sebentar lagi akan datang, tak urung hati bergetar. Kendati demikian, sebisa mungkin aku tak putus asa. Sekarang atau nanti, bukankah memang akan mati juga. “Di mana Mura? Apa Mura dalam keadaan baik-baik saja?” tanyaku emosional. Walau harus mati, setidaknya aku harus tahu keadaan Mura. Walau Mura nantinya hidup bersama Ismail, itu lebih baik daripada dia harus berumur pendek. Asal tahu keadaan Mura baik-baik saja, mati sekarang pun tidak masalah. “Mura dalam keadaan baik, Ismail akan membawanya ke luar pulau. Mereka akan hidup bahagia di sana.” Pak Aswin memainkan belati di tangannya. Dadaku terasa sesak sekaligus lega. Entahlah, sukar menjelaskannya. Di satu sisi aku merasa lega dan gembira karena Mura dalam keadaan baik-baik saja. Namun, di sisi lain aku pun merasa sedih dan cemburu mengingat Mura akan hidup bersama Ismail. Tanpa terasa, setetes air mata jatuh ke pipiku. Ternyata kehilangan Mura jauh lebih menyakitkan dari kehilangan Kamalia dulu. Jika begini, rasanya kematian datang lebih cepat juga tidak apa-apa. Jika mati, bukankah aku akan melupakan segalanya, tidak akan merasa kesakitan lagi. Pak Aswin bertepuk tangan dua kali, beberapa orang pemuda bertubuh atletis pun lantas masuk. Salah satu dari mereka mengeluarkan suntikan dari saku depannya. Pemuda itu lantas menusukkan jarum suntik ke lenganku. Aku tidak tahu cairan apa yang dimasukkan ke dalam tubuhku. Mungkin racun, mungkin bisa ular, mungkin juga sianida. Yang pasti, selang beberapa menit, kepalaku mulai terasa pening dan mengantuk. Aku pun tidak ingat apa-apa lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN