Makna Cinta
Pria itu tinggi. Tubuhnya kurus, tetapi cukup atletis. Yah, meski tidak tahu pasti sebab tubuh pria itu dibungkus kemeja panjang berwarna biru telur asin, setidaknya, Alana bisa menaksir hal itu dilihat dari urat-urat tangannya yang kekar. Sorot matanya tajam, suara baritonnya terdengar tegas dan berwibawa. Bentuk wajah, alis, mata, hidung, dan bibir, semuanya begitu pas. Kesimpulan dari itu semua, pria tersebut tampan.
Sial. Kenapa ia harus berbelit-belit hanya untuk menyampaikan satu fakta bahwa pria di depannya adalah definisi dari pria tampan?
"Terpesona, eh?"
Alana mengerjap saat seseorang menyenggol bahunya. Tamira, resepsionis di perusahaan advokat tempatnya bekerja.
"Ah, aku lupa. Kamu pasti baru lihat Pak Gavin, ya? Waktu kamu masuk, dia emang lagi cuti panjang, rumornya sih ada problem gitu," Tamira melanjutkan tanpa Alana minta. "Aku udah bilang kan kalau Bu Medina itu punya keponakan ganteng yang juga pengacara di sini? Nah, keponakannya ya itu, Pak Gavin."
Alana hanya mengangguk pelan. Sambil sepasang matanya masih menatap pada sosok bernama Gavin. Gavinra Alaska Nitinegoro.
Tidak. Ini bukan pertemuan pertama Alana dengan pria itu. Namun, ini adalah pertemuan mereka yang pertama setelah hampir lima tahun berlalu. Dan pria itu, berubah sangat banyak, terutama soal penampilannya. Alana tidak mengira, bahwa dia kembali dipertemukan dengan pria itu ... masa lalunya.
"Aku udah tahu hal itu. Cuma memang, ini pertama kalinya aku lihat wujud asli Pak Gavin," jawab Alana, menyembunyikan fakta bahwa mereka pernah menjalin hubungan yang cukup dekat dulu.
"Cakep, ya? Tapi jangan berharap banyak, dia udah beristri. Udah gitu, istrinya posesif abis. Ya gimana ya, kalau aku ada di posisi istrinya Pak Gavin juga aku bakalan ngelakuin hal yang sama." Tamira sedikit terkekeh, sementara Alana terhenyak sejenak, tidak mengira bahwa Gavin rupanya sudah menikah.
Ah, waktu berlalu sudah begitu banyak. Wajar saja banyak perubahan terjadi di hidup Gavin seperti hal status pernikahannya. Toh, kehidupan Alana juga berubah banyak. Saking banyaknya, terkadang Alana merasa bahwa dirinya ikut berubah.
"Lagian istri mana yang enggak bakalan cemas ngebiarin suami seganteng itu berkeliaran di luar rumah tanpa pengawasan," Tamira kembali melanjutkan.
"Kalau kamu ngerasa demikian, Ra, artinya kamu enggak percaya sama suami kamu sendiri namanya," tukas Alana pelan.
Tamira mengangkat bahu. "Aku bisa aja percaya sama suamiku kalau punya suami ganteng kayak Pak Gavin, tapi aku enggak bakalan percaya sama wanita di luaran sana."
Alana mengangguk pelan untuk pernyataan Tamira kali ini. "Kamu benar," jawabnya setuju. "Sebab kita enggak pernah tahu, suami kita akan ketemu dengan wanita macam apa di luar sana. Iya, kan?"
Alana tersenyum singkat. Sementara netranya masih memandang lurus pada pintu yang barusan dilalui oleh sosok Gavinra. Sekilas, Alana terlihat tengah memikirkan sesuatu. Sorot matanya semakin lama semakin berubah sendu. Ada kepahitan yang hinggap di dalamnya.
***
Di usianya yang menginjak angka dua puluh tujuh sekarang, Alana Bachmid masih seperti gadis belia. Terkadang, orang-orang mengira wanita tersebut baru berusia tujuh belas tahun. Bagaimana tidak, wanita itu dianugerahi dengan wajah dan tubuh yang mungil. Style pakaiannya selalu trendi tapi tidak berlebihan. Wanita itu definisi dari kecantikan sederhana yang anggun. Tidak akan pernah ada yang mengira bahwa wanita itu adalah seorang janda.
Ah, orang bilang, seseorang yang mengalami kehidupan sulit biasanya akan lebih cepat tua. Tapi Alana tidak begitu. Kesulitan hidupnya tidak pernah bisa dibayangkan oleh orang lain, tetapi dia masih tampak awet muda. Orang-orang hanya mengira bahwa Alana menjalani kehidupan dengan sangat baik.
Salah.
Jika Alana bisa, Alana ingin mengulang waktu dan tidak membiarkan dirinya terjebak pada kesalahan demi kesalahan yang mengantarkannya pada penderitaan. Seperti terjebak dengan pria berengsek seperti Arya, mantan suaminya.
Alana menutup ponselnya saat panggilan demi panggilan terus saja masuk, seolah orang di seberang sana tidak kenal lelah untuk menghubungi Alana meski Alana mengabaikannya.
"Siapa? Kenapa teleponnya enggak diangkat?"
Alana menoleh pada Tamira. Di jam istirahat yang tenang, di mana Alana menginginkan makan siang dengan khidmat, pria sialan itu malah terus saja mengganggu.
"Bukan siapa-siapa," balas Alana singkat. Tidak ingin membicarakan masa lalunya yang sama sekali tidak indah untuk dikenang.
"Kayaknya kamu sering banget dapat telepon dari seseorang tapi kamu enggak pernah angkat sama sekali," gumam Tamira kembali. Wanita itu tampak memicing padanya.
Alana berdeham, berusaha membasahi kerongkongannya. Dia tidak boleh keceplosan menceritakan apa pun pada Tamira. Apalagi jika itu soal kegagalan rumah tangganya. Bisa-bisa, dia menjadi bahan gosip wanita itu.
"Bukan debt collector, kan?" Tamira melanjutkan dengan tanya menodong.
Alana terkekeh singkat. "Bukan. Cuma orang iseng aja," gumamnya, mengelak dari pembicaraan.
Telepon kembali berdering. Alana melirik singkat pada ponselnya. Muak dan jengah dengan pangilan demi panggilan yang terus saja masuk hampir setiap hari, Alana memutuskan untuk mengangkatnya sekali ini saja.
"Aku ke toilet sebentar," pamit Alana pada Tamira dan rekan lain yang sedang menyantap makan siang bersama.
Mengabaikan tatapan selidik dari Tamira, Alana bergegas pergi meninggalkan meja, mencari tempat yang tenang untuk bisa meluapkan emosi pada orang yang sudah sangat lama ingin dia caci maki.
"Na!" suara di seberang sana lekas memekik ketika Alana mengangkat panggilan.
Alana berusaha menetralkan napasnya yang memburu. Mempersiapkan diri sebelum menyembur Arya dengan segala kemarahan yang sudah lama dia tahan di d**a.
"Aku udah bilang untuk ke sekian kalinya, jangan pernah hubungi aku lagi, Mas. Aku udah enggak mau punya hubungan apa pun sama kamu lagi. Tolong."
Alana memejamkan matanya dengan lirih. Setiap kali dirinya marah, ingin sekali dia berteriak, membentak, mencaci maki, apa pun itu, tetapi yang terjadi selalu berakhir sebaliknya. Segala luapan emosi itu berubah menjadi isakkan sesak yang menyayat hati.
"Aku cuma mau ketemu kamu, Na. Aku mau ngomong sama kamu. Ada banyak hal yang mau aku jelasin ke kamu," jawab Arya kembali di seberang sana.
Alana mendesah kasar. "Kita udah cerai cukup lama, Mas. Aku udah ngelupain kamu. Aku juga berusaha ngelupain semuanya yang pernah terjadi antara kita, termasuk pengkhianatan yang kamu lakukan. Aku mau menjalani hidupku yang baru. Tanpa kamu, tanpa bayang-bayang masa lalu kita yang suram. Jadi tolong, Mas ...."
"Aku masih cinta sama kamu, Na," pungkas Arya, memotong kalimat Alana yang sudah disertai dengan isakkan sakit. Membuat Alana seketika bungkam. "Aku bakalan datang ke kantor tempat kerja kamu nanti sore. Tolong, kasih aku kesempatan buat ketemu kamu lagi."
Alana tidak memberikan respons apa pun. Dia terlalu syok dan terlalu terluka mendengar kata cinta keluar dari mulut orang yang pernah menodai makna cinta itu sendiri. Alih-alih tersentuh oleh kata cinta yang Arya ucapkan, Alana justru merasa mual. Sehebat itu trauma yang pernah diberikan oleh Arya di masa lalu, sehingga membuatnya tidak lagi percaya dengan ungkapan cinta siapa pun. Alana telah menutup rapat pintu hatinya.
***