Pesta meriah berlalu. Beberes usai pesta selesai. Berikut segala urusan pembayaran dan menghitung angpau, kemudian membagikannya kepada pihak-pihak berwajib. Syukurlah, total jenderal, kami tidak punya hutang. Hanya tinggal mengembalikan kehidupan pada kebiasaan atau membentuk kebiasaan baru, selagi aku tak lagi akan tinggal di rumah orangtuaku.
Ibu memelukku penuh haru.
“Baik-baiklah menjaga diri dan suamimu. Yakinlah kamu wanita terbaik baginya, jadi lakukanlah yang terbaik. Bersabarlah dalam banyak hal, tetapi ketahui hakmu, tunaikan kewajibanmu. Ibu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua.”
Kuanggukkan kepala dalam pelukan ibuku. Sekali lagi ibu memelukku, yang, yah, mungkin beliau harus mengeluarkan tenaga ekstra karena badanku tidak bisa disebut kurus.
Ayah tidak mampu berkata. Hanya mata berkaca-kaca dan senyum terpaksa dibalik tirai kumisnya. Kupeluk d**a Ayah sambil berkali-kali kuucap maaf. Ayah mengusap rambutku. Tetap tanpa kata.
Nico mencium tangan ibuku. Lalu membukakan pintu mobil bagian kiri untukku.
Selagi kututup kembali kaca jendela, hatiku rasanya juga berkurang karena tertinggal bersama bayangan tiga orang yang tertinggal di spion kiri. Mereka masih melambaikan tangan sambil saling berpelukan.
Sementara, sebuah tangan lain mengulurkan tisu.
***
Kami menyusuri jalan panjang dari Malang menuju Gresik. Berdua saja, hanya berteman tumpukan kado di jok belakang dan berbagai penganan awetan yang bakal cukup untuk seminggu ke depan.
Kami menuju kontrakan yang mulai dihuni Nico sebulan yang lalu. Perjalanan telah membawa kami berjarak puluhan kilometer dari kedua pasang orangtua di Malang. Entah mengapa rasanya senang sekali. Bebas, bagaikan burung yang baru bisa terbang dan boleh meninggalkan sarang. Merasa sangat dewasa, karena akhirnya dianggap bisa menjaga diri sendiri dan pasangan kami.
Wahai jomblowan dan jomblowati, lihatlah kami yang telah purna lajang. Bersemangatlah. Kelak kalian bisa menyusul kami. Semangat, Para Pejuang Halal.
Lepas dari orang tua, berarti harus menyelesaikan sendiri semua masalah yang kami hadapi. Baik itu masalah sebagai dua manusia berbeda jenis dan latar belakang yang kini hidup bersama, masalah finansial, kebiasaan makan, cucian yang jadi dobel plus, dan berderet-deret masalah lain. Sebaliknya, kami juga bisa sepuasnya bercanda dan berkegiatan berdua. Sesuatu yang sebelumnya dihindari gegara status yang masih pejuang.
Konon, dalam tahap kehidupan yang satu ini makan tidak makan tidak ada masalah karena kita punya cinta. Mau jungkir balik tidak ada yang ikut campur. Semua asyik-asyik saja walau masih berstatus kontraktor, dengan mobil masih menggunakan jatah dari orangtua, dan peralatan memasak menggunakan kado pernikahan. Yah, namanya pengantin baru, semua serba indah dan menyenangkan meski keadaan yang dijalani sebenarnya seadanya.
Ternyata benar.
Menjalani hari-hari indah itu membuatku tahu bahwa aku sebenarnya manusia super. Aku bangun paling telat jam setengah 4 pagi. Aku langsung bertahajud, kemudian bersih-bersih rumah, salat subuh, memasak, mencuci pakaian, dan menyiapkan keperluan suamiku. Tanpa kenal lelah semua terlaksana setiap pagi, dengan wajah penuh senyum dan keriangan. Kegiatan pagi itu diakhiri dengan mencium Nico ketika melepasnya pergi bekerja.
Sementara suami bekerja, aku tinggal sendiri di rumah. Mencuci, menyeterika, membaca buku, menonton TV atau film, bahkan sempat tidur siang. Menjelang sore baru aku masak lagi untuk makan malam. Ini jika Nico tidak mengirim kabar dia akan membawa pulang makanan istimewa. Jika Nico ada kabar demikian, aku makin akrab dengan TV dan DVD player.
Apakah hanya akan begitu-begitu saja aku lalui hari sampai bertahun mendatang? Aku belum tahu pasti. Yang jelas, untuk saat ini mari nikmati saja saat santai.
Nico tidak menuntutku bekerja. Ia berharap, dengan tinggal di rumah aku bisa memaksimalkan tugas sebagai istri dan semoga kelak sebagai ibu. Berhubung belum punya si Kecil, saat-saat ini kuanggap sebagai latihan dan waktu untuk belajar. Aku banyak membaca literatur terkait bagaimana menjadi istri dan ibu. Syukurlah, sudah banyak diterbitkan buku-buku dan media massa yang khusus mengulas tentang parenting dan pernikahan. Jadi, orang seperti aku tidak kekurangan sumber informasi. Selain itu, selagi ada paket data, surfing informasi di internet nyaris tidak ada batas.
Aku malas bergaul dengan tetangga. Bukan aku sombong. Masalahnya ibu-ibu tetanggaku pada hobi duduk-duduk sore sambil mengobrol ngalor ngidul tidak jelas. Bagi wanita yang ingin menjadi solihah, itu pekerjaan yang berpotensi mengundang gosip.
Awal masuk kompleks ini, aku pernah bergabung. Mengetahui kebiasaan mereka, aku mencoba mengajak memanfaatkan waktu dengan lebih baik. Aku ajak mereka membaca buku, berbagi resep, atau membuat hasta karya. Tetapi sebagian besar dari mereka menolak dan malah menjauhiku. Mereka pindah lokasi duduk-duduk sore dan kembali mengobrol ngalor ngidul tidak jelas. Ya sudah. Daripada aku dan mereka tidak bisa menikmati kebersamaan, lebih baik aku di rumah saja. Bagiku menyelamatkan pendengaran dan mulutku lebih penting.
Suatu hari, aku dan Nico berdiskusi bagaimana bila tiba-tiba terjadi sesuatu dengan Nico, sehingga terpaksa kami terpisah dan/atau ia tidak bisa menafkahiku lagi. Hmm, ini sih, jelas menyuruhku setidaknya punya pandangan bagaimana akan bertahan hidup dalam kondisi ekstrim begitu.
Pembicaraan bergeser menjadi pembahasan tentang keuangan. Kami menyepakati untuk mulai mengatur keuangan sedemikian hingga kami bisa merencanakan masa depan keluarga. Dengan gaji Nico -yang dimana-mana karyawan gajinya ya segitu-gitu doang- bagaimana bisa kami menjadi orang kaya. Masa seorang karyawan tidak bisa kaya? Masa tidak boleh punya passive income?
Mimpi? Memang harus berani bermimpi agar kita tetap bersemangat menjalani hidup. Ya ‘kan? Tinggal bagaimana jalan yang ditempuh untuk mewujudkan impian itu.
Menindak lanjuti pembicaraan itu, kami mulai mencari referensi tentang pengaturan finansial dan kewirausahaan. Masa sih, dengan gaji yang begitu terbatas, kami tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyiapkan masa depan. Dalam kondisi ini, aku sangat bersyukur dipertemukan dengan Nico. Dia jenis pria yang sangat terbuka dengan ide-ide baru. Sebagaimana kebanyakan pria, dia juga sangat logis dan bisa berpikir dengan jernih dalam menyikapi teori dan fakta. Ditambah lagi, dia sangat detil.
Misal aku berdiri sendiri dalam persiapan ini, aku mungkin akan gunakan perasaanku saja ditambah trial and error. Masalah resiko, itu konsekuensi. Jalan saja dulu. Kalau sudah jalan akan tahu juga cara lepas dari suatu masalah. Itu aku. Lain dengan Nico yang di awal sudah merancang plan A sampai E. Ia sudah memperhitungkan semua resiko di setiap plan, sehingga dia akan memilih yang resikonya paling kecil. Ia akan mempertimbangkan semua kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan hambatan yang dimiliki. Bahkan ia mempertimbangkan dengan uang yang ada sekarang, mana yang bisa menghasilkan profit paling besar.
Hasilnya, hingga satu bulan setelah diskusi, kami belum menemukan formula yang pas.
Kami hanya memulai dari hal-hal kecil. Sebagai awal, dan untuk menunjukkan kalau kami sudah berubah mindset, kami mulai menabung dengan menyisihkan sebagian gaji Nico di awal bulan. Ini proses pembiasaan menabung dan untuk mempersiapkan dana cadangan.
Kami juga membuka rekening dana pendidikan untuk anak kami nanti. Padahal hamil saja belum. Aku menabung di celengan. Tidak cuma uang recehan, tapi juga tiap lembar uang sepuluh ribuan yang kupegang. Di akhir bulan, celengan kubuka dan isinya kumasukkan rekening. Ternyata, setelah terkumpul lumayan juga lho.
Aku juga sedang berpikir untuk memulai usaha jual beli barang. Tapi barang apa ya? Barang apa saja deh, asal bukan barang haram.