bc

OBSESSED UNTIL IT HURTS

book_age18+
48
IKUTI
1K
BACA
revenge
love-triangle
HE
age gap
arranged marriage
arrogant
kickass heroine
boss
single mother
blue collar
drama
sweet
bxg
serious
bold
city
office/work place
friends with benefits
like
intro-logo
Uraian

Lavinia Adine tahu caranya berdiri tanpa bergantung.

Ia dilahirkan sebagai putri dari raja bisnis multinasional, pewaris tunggal kekayaan dan kekuasaan yang membuatnya tak tersentuh.

Dibesarkan untuk memimpin, dididik untuk berkuasa, bukan untuk dicintai. Menikah hanya untuk menyelamatkan keluarga Mahendra, bukan untuk disentuh.

Elvano Mahendra, suaminya, lebih memilih kehangatan sekretaris muda yang polos daripada menghadapi istri sah yang dingin karena trauma masa lalu. Perselingkuhan itu bukan sekadar pengkhianatan, tapi cambuk yang membangunkan sesuatu dalam diri Lavinia.

Dendam. Harga diri. Dan rasa haus akan satu hal yang tak pernah ia izinkan, sebuah sentuhan yang jujur.

Seth, kepala pengawalnya, telah lama memujanya dalam diam.

Ia menyaksikan Lavinia hancur dan bersumpah akan menjadi satu-satunya lelaki yang berdiri saat semuanya runtuh. Tapi mencintai Lavinia berarti membiarkan diri terluka. Karena obsesinya tak hanya membakar, tapi juga menghancurkan.

Obsessed Until It Hurts adalah kisah tentang cinta yang terlalu dalam, batas yang terlalu tipis, dan keinginan yang terlalu liar untuk tetap disangkal.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
Aurelia tidak pernah menyangka, hidupnya yang datar seperti grafik keuangan di masa krisis bisa berubah hanya karena satu nama. Elvano Mahendra. Dulu, dia hanya gadis dari pinggiran kota, dibesarkan oleh ibu tunggal yang bekerja sebagai guru honorer. Tiap lembar uang seratus ribu di dompetnya selalu punya nama. Untuk bayar kos, pulsa, makan, transport, dan sedikit sisanya untuk krim malam yang murah. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya, seseorang dari dunia yang begitu jauh dari dunianya—dunia pria berjas mahal dan mobil hitam berkilap—menyebut namanya. “Bapak Elvano memanggilmu,” kata bagian resepsionis. Saat itu, dia bahkan sempat menengok ke belakang, memastikan tidak ada Aurelia lain yang sedang lewat. Dan dari sanalah semuanya bermula. *** Suara sepatu hak tinggi berdetak pelan di lantai marmer. Aurelia menarik napas panjang sebelum mendorong pintu kaca yang menjulang tinggi di hadapannya. MAHENDRA GROUP. Logo berwarna emas itu seperti menertawakannya. Dia tahu, begitu langkahnya masuk, tak akan ada jalan untuk kembali. Tawaran kerja dengan gaji lima kali lipat dari standar sekretaris eksekutif, fasilitas apartemen di pusat kota, dan kontrak pribadi yang absurd, yang tak tertulis tapi diucapkan jelas saat wawancara. “Saya butuh seseorang yang bisa jaga rahasia, tidak terbawa perasaan, dan bersedia bekerja ‘lembur’. Kapan pun saya mau.” Kalimat Elvano Mahendra terngiang di kepalanya. Nada suaranya datar, tapi mata pria itu menyala gelap. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar atasan yang butuh asisten. Ada bahaya yang terselip. Dan Aurelia menerima itu tanpa berpikir ulang, tanpa melihat latar belakang dari laki-laki itu lebih personal lagi. Karena hidup tak pernah memberinya pilihan mudah. “Masuk,” suara bariton itu menyambutnya bahkan sebelum ia sempat mengetuk. Pintu ruangan CEO terbuka otomatis, memperlihatkan sosok pria yang duduk di balik meja hitam besar, punggungnya membelakangi jendela lebar yang menampilkan cakrawala Jakarta. Elvano Mahendra. 35 tahun. Dingin, perfeksionis, berbahaya. Setidaknya itu yang ia dengar dari mulut para staf. Dia mengenakan setelan armani hitam seperti seorang CEO pada umumnya, dasinya sempurna, dan jam tangan mahal melingkar di pergelangan. Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Hanya tatapan menusuk yang membuat Aurelia menelan ludah. “Kau terlambat dua menit.” “Maaf, lift—” “Saya tak peduli alasan. Mulai sekarang, jam saya adalah jam kerjamu. Waktumu, keberadaanmu, semua diatur oleh saya.” Aurelia mengangguk pelan. Ia tahu ini bukan pekerjaan biasa. Ia bukan hanya sekretaris. Ia adalah simbol dari kepemilikan. Di atas ranjang. “Baik, Pak.” Mata Elvano turun ke tubuhnya. Blus putih yang rapi, rok pensil hitam, dan sepatu hak tinggi. Bibirnya bergerak nyaris tak terdengar. “Jangan panggil saya Pak.” Aurelia menahan napas. “Lalu?” “Panggil saya Elvano. Kita tidak akan terlalu formal saat ‘lembur’.” Senyum miring itu muncul. Tipis. Bahaya. Dan Aurelia tahu, malam-malam panjang di apartemen yang disebutkan akan segera dimulai dengan cara yang tidak biasa. Ruangan itu terlalu sunyi. Dingin, tapi mewah, dan berbahaya seperti pemiliknya. Aurelia berdiri di depan meja hitam mengilap, menunggu instruksi selanjutnya. Tapi Elvano tidak bicara. Ia hanya berdiri perlahan, membuka satu kancing jasnya, dan melangkah mendekat. Setiap langkahnya seperti tekanan, bukan hanya pada lantai, tapi juga pada detak jantung Aurelia. “Sudah saya bilang,” suaranya rendah, nyaris kasar, “begitu kamu masuk ke sini, kamu jadi milik saya.” Jantung Aurelia mencelus. “Saya hanya sekretaris.” “Kamu lebih dari itu.” Tangannya terangkat, menyentuh dagu Aurelia, mengangkat wajahnya. “Kamu tahu betul apa yang kamu setujui saat tanda tangan kemarin.” Aurelia tahu. Dia membaca kontrak itu, bahkan bagian kecil berjudul Confidential Clause. Tapi tidak ada pasal yang menyebutkan sentuhan. Tidak ada pasal tentang Elvano yang kini mendekat, panas dan mengancam. “Saya tidak memaksamu,” bisiknya. “Kamu bisa mundur. Keluar dari ruangan ini. Tapi setelah ciuman pertama ini, kamu tak akan pernah bisa.” Jari-jarinya menyelinap pelan ke belakang leher Aurelia, seperti angin sore yang tak terburu-buru menyapa daun. Sentuhannya mengandung keraguan, keberanian, dan sesuatu yang tak terucap. Ia menariknya perlahan, seolah tak ingin memaksa, hanya mengundang untuk mendekat. Dan saat jarak menguap di antara mereka, itu bukan sekadar ciuman, melainkan pertemuan dua jiwa yang selama ini berjalan saling mengitari dalam senyap. Tak ada jeda, sebab tak ada lagi alasan untuk berpura-pura jauh. Itu serangan. Tangannya memegangi bahu Elvano, merasa ragu. Tapi tubuhnya—tubuhnya meleleh. Ikut melebur. Ketika ciuman itu berakhir, Elvano menyandarkan dahinya ke kening Aurelia. Napasnya kasar. “Apartemenmu. Malam ini. Pukul sembilan. Pakai pakaian merah.” Aurelia menatap matanya. “Kenapa merah?” Elvano menatap balik, tajam. “Karena saya ingin mewarnai sesuatu yang terlihat suci.” Aurelia tidak bisa bergerak. Tubuhnya berdiri di sana, lemas dan gemetar, sementara pikirannya berputar kacau. Elvano sudah kembali ke meja, membenahi dasinya seolah tak terjadi apa-apa. Seolah ia tidak pernah merampas apa pun. Seolah bukan dia yang membakar batas-batas profesionalitas dengan cara yang sangat pribadi. “Kamu bisa keluar sekarang,” katanya datar. “Ada banyak yang harus kamu pelajari sebelum malam.” Aurelia menelan ludah. Tangannya menutup resleting blazernya, lalu membungkuk kecil seperti seorang prajurit yang kalah perang. Ia melangkah keluar dengan lutut lemas. Begitu pintu tertutup, ia bersandar ke dinding lorong. Napasnya masih tercekat. Sial. Apa yang baru saja terjadi? *** Malam itu, ketika Elvano memintanya naik ke apartemen kecil yang ia sewa diam-diam, Aurelia menatap dirinya di cermin kecil tasnya. Lipstiknya sudah mulai luntur. Bulu matanya menurun. Tapi ada satu hal yang menyala, matanya sendiri. “Aku tak cantik,” ucapnya pada bayangan itu. Tapi Elvano tetap menunggunya di atas. Dan Aurelia naik. Ia tidak naik hanya karena tubuhnya lapar akan cinta. Ia naik karena ia ingin tahu, bagaimana rasanya memiliki kendali atas pria yang sudah menikah dengan wanita sesempurna Lavinia. Ia naik karena ia sudah terlalu lelah jadi biasa. Ia naik karena Elvano menjanjikan promosi, perlindungan, dan diam-diam membisikkan bahwa Lavinia sudah tak penting baginya. Ia naik karena ia mengira ini cinta. Padahal yang ia masuki adalah perang. Senyuman Elvano tidak pernah terlihat ramah. Tapi tatapannya yang dingin, tajam, namun kadang mengendur seperti tali dasi yang sengaja dikendurkan di akhir hari, membuat Aurelia merasa dilihat. Tidak sebagai pegawai magang. Tidak sebagai sekretaris ke-berapa yang bisa diganti kapan saja. Tapi sebagai perempuan. Aurelia tak bisa melawan perasaan itu. Perasaan bahwa ia cukup cantik untuk menarik perhatian pria sekelas Elvano. Perasaan bahwa ia bisa menyaingi Lavinia, wanita yang selama ini hanya ia lihat di foto majalah dan laporan tahunan perusahaan dengan nominal kekayaan yang tak bisa ia bayangkan. Lavinia adalah definisi sempurna. Wajah, postur, jabatan, warisan. Sementara Aurelia hanyalah sisa dari sistem pendidikan negeri yang memperbudak idealisme. Tapi saat Elvano mulai memberinya waktu lebih lama di ruangannya, saat jarak meja antara mereka semakin tipis, saat jari-jari lelaki itu menyentuh rambut belakang telinganya dan ia melepas semua batas-batas norma dalam hidupnya, Aurelia merasa dirinya menang. Menang dari Lavinia. Menang dari dunia. Ia tahu ini salah. Tapi ia juga tahu, bukan berarti seorang istri selalu benar. Setiap malam di apartemen itu, Aurelia berbaring sambil menatap langit-langit yang kusam. Ia tahu Elvano tak akan bisa menikahinya. Ia tahu apartemen ini hanya tempat singgah bagi tubuh yang terlalu ingin bebas dari pernikahan berdarah biru. Ia tahu ia hanya bayangan dari seorang wanita yang tak pernah bisa ia gantikan. Ia tahu setiap jam tiga dini hari, Elvano akan pulang ke rumah utamanya, meninggalkannya seperti seonggok tisu yang sudah kotor. Tapi ia bertahan. Karena di dunia Elvano, setidaknya ia bukan siapa-siapa yang tak dianggap. Setidaknya di dunia Elvano, ia adalah rahasia yang belum ingin dibuang. Dan itu bagi Aurelia lebih dari cukup.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

MY LITTLE BRIDE (Rahasia Istri Pengganti)

read
19.2K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.6K
bc

Oh, My Boss

read
386.8K
bc

Beautiful Pain

read
13.6K
bc

Revenge

read
35.4K
bc

Penghangat Ranjang Tuan CEO

read
33.5K
bc

Hati Yang Tersakiti

read
6.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook