Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi perasaan Azura mengatakan kalau Laura memang tidak berbahaya. Azura sama sekali tidak memiliki firasat buruk tentang wanita yang baru dia temui satu kali. Dan biasanya, firasat Azura tidak pernah meleset.
Lagipula, Azura menganggap pertemuan ini sebagai pertemuan atas dasar profesionalitas. Azura menawarkan harga yang setimpal untuk Laura agar kasus ini berhasil dimenangkan. Jadi, bukankah ini cukup adil? Masing-masing dari mereka sama-sama mendapat keuntungan.
"Aku akan mencari penginapan dekat sini," ucap Azura setelah mereka selesai berdiskusi.
"Aku punya flat studio kalau kamu mau. Sepertinya di sana lebih aman untukmu." Gavin menyahut.
Azura menggeleng, lalu melancarkan beberapa alasan penolakan. Dia lebih memilih tinggal sendiri daripada harus berada di atap yang sama dengan Gavin. Terlebih lagi, Azura tidak ingin terlalu banyak berhutang budi. Selain itu, dia juga cukup tahu diri.
"Sepertinya aku lebih nyaman mencari tempat tinggal sendiri," pungkas Azura.
"Kamu yakin mau sendiri?" Laura ikut menimpali.
Azura mengangguk mantap. "Makasih untuk semua, tapi untuk yang satu ini, aku masih bisa sendiri."
Setelah terlebih dahulu memesan penginapan terdekat, Gavin akhirnya memutuskan untuk mengantar Azura sampai ke lokasi tujuan. Daerahnya berada di seputaran salah satu kampus ternama. Selain dekat dengan rumah Laura, tempat itu juga satu area dengan flat milik Gavin.
"Gavin," panggil Azura saat mereka sudah berada dalam perjalanan. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Pandangan mata Gavin yang semula menatap lurus ke arah jalan, kini sedikit teralihkan untuk sejenak menatap manik mata Azura. "Sure. Ada apa?"
"Kenapa kamu mau menolongku?"
Gavin tidak langsung menjawab. Bibirnya sempat tersenyum tipis dengan sorot mata yang juga seperti sedang ikut tersenyum. Setelah mobil berhenti di lampu merah, barulah lelaki itu memiringkan badan ke arah Azura untuk membalas pertanyaannya.
"Seperti yang udah aku bilang tadi, aku merasa ada sesuatu yang berbeda saat pertama kali melihatmu." Gavin menjeda ucapannya sejenak. "Sekali lagi, aku seperti memiliki kewajiban untuk melindungimu."
Azura masih diam, mendengarkan.
"Apa kamu percaya takdir?" Gavin melempar tanya.
Kedua bahu Azura terangkat, sebagai bentuk jawaban antara iya dan tidak.
"Sebutlah kalau mulai hari ini, Tuhan mungkin telah menggariskan kita berdua untuk saling ada dalam setiap perjalanan hidup," lanjut Gavin.
Dahi Azura mengernyit mendengar ungkapan yang terdengar utopis. Meski begitu, diam-diam hati kecilnya juga menyuarakan hal yang sama. Ada hal yang membuat Azura juga merasa untuk menjadikan Gavin sebagai sosok yang mulai sekarang akan selalu ada di setiap langkahnya.
"Aku tahu, ini terdengar konyol." Gavin sedikit melepas tawa.
Garis bibir Azura ikut melengkung. "Agak konyol memang."
"Yup! Tapi bagaimana kalau kita sepakati aja untuk menjadi ..." Gavin menoleh lagi ke arah Azura. "Menjadi apa?"
"Teman baik?" tanya Azura.
"Sounds great. Jadi kita berteman mulai sekarang."
Azura tersenyum. "So, friend, boleh aku tanya lagi?"
"Why not?" balas Gavin.
"Laura itu temanmu? Atau dia pernah jadi pengacaramu juga?"
Gavin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Dia... dia teman dekatku. Kami sudah saling kenal cukup lama. Kamu bisa mempercayainya karena dia sangat kredibel di bidang hukum."
Azura merasakan ada sesuatu yang tidak diungkapkan sepenuhnya oleh Gavin. Namun, dia memilih untuk tidak menekan lebih jauh. Azura tidak punya hak apapun untuk bertanya tentang kehidupan pribadi mereka.
"Kamu yakin mau di sini sendiri?" tanya Gavin setelah mereka sampai di salah satu kamar tinggal.
"Iya. Aku rasa di sini aman."
"Untuk sementara gantilah nomor ponselmu dengan yang baru," ucap Gavin seraya menyodorkan sebuah kartu. "Pastikan ponselmu selalu aktif."
Azura mengangguk, lalu mulai mengakses ponsel. Hal pertama yang Azura lakukan adalah menambahkan nomor kontak. Pertama nama Gavin, dan yang kedua adalah Laura. Tak ada nama lain selain itu. Bahkan, Anna, sahabat terdekatnya pun tidak Azura beri tahu. Sepertinya, Azura memang harus bersembunyi dari semua orang untuk sementara waktu.
"Makasih. Makasih untuk semuanya," ucap Azura. "Maaf soal kesalahpahaman tadi. Dan maaf juga soal … luka di tangan dan kakimu."
Gavin terkekeh. "Mulai sekarang, sepertinya aku harus berhati-hati denganmu. Jika sedikit saja aku mengecewakanmu, mungkin kamu bisa benar-benar membunuhku."
Azura tersenyum menahan tawa. "Aku sangat panik saat melihatmu bersama Riki tadi."
"Bukan masalah," balas Gavin. "Kalau aku jadi kamu, aku pun pasti akan melakukan hal yang sama. Waspada memang sebuah keharusan."
Sorot mata indah milik lelaki itu kembali mengusik hati dan pikiran Azura. Untuk kesekian kalinya, Azura seperti sedang bersama Mars. Ada desakan dalam dirinya untuk menganggap kalau Gavin adalah salah satu orang terdekat.
"Makasih sekali lagi," ucap Azura setengah berbisik.
Gavin mengangguk, tersenyum, lalu refleks mengusap puncak kepala Azura.
Damn! Jantung Azura berdesir. Gavin menyentuh helai rambutnya dengan raut biasa saja. Namun, bagaimana bisa Azura merasakan geliat dalam d**a yang tidak seharusnya ada?
"Aku akan kesini lagi besok pagi," ucap Gavin yang sudah bersiap pergi.
"Ok."
Gavin sudah melangkah menjauh. Namun, belum lebih dari lima detik, tubuhnya lantas berbalik. Kakinya kembali melangkah, mendekat ke posisi Azura berdiri.
"Boleh aku … di sini saja dan menemanimu?" tanya Gavin ragu.
Kedua mata Azura menyipit sedikit. Sambil memundurkan kepala, Azura lantas menggeleng. Permintaan Gavin terlalu sulit untuk dikabulkan.
"Aku bisa sendiri," ucap Azura.
"Bukan apa-apa, tapi aku benar-benar hanya ingin memastikan kamu aman. Perasaanku belum bisa tenang."
Azura menggeleng sekali lagi. "Aku akan baik-baik saja."
"Tapi, bisakah aku bermalam di sini? Aku ingin memastikan sendiri kalau kamu akan baik-baik saja."
Azura diam, tampak menimbang. Jujur saja Azura memang masih diliputi rasa takut. Namun, sepertinya Azura tetap tidak bisa menerima tawaran dari Gavin.
"Please," lirih Gavin. "Seenggaknya untuk malam ini."
Azura mengernyitkan dahi. Bibirnya sedikit melengkungkan senyum saat melihat wajah maskulin Gavin yang ternyata bisa memelas. Sebenarnya, hatinya sedikit luluh. Namun, otaknya masih bisa berpikir lurus.
"Nggak, Vin." Kepala Azura menggeleng pelan. "Kita bisa ketemu lagi besok pagi."
"Kamu yakin?"
"Iya. Aku akan baik-baik saja."
"Berjanjilah kalau kamu akan baik-baik saja. Kalau ada hal buruk terjadi padamu, aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri."
Bibir Azura terkatup rapat. Untaian kata dari Gavin memang terdengar seperti bualan. Namun, Azura bisa melihat kejujuran dan ketulusan dari sorot matanya.
"Iya, aku akan baik-baik saja. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau tempat ini aman?" ucap Azura.
"Well, kalau ada aku di sini bersamamu, pasti akan jauh lebih aman," balas Gavin.
"Ada seorang penjaga di lantai bawah. Sepertinya tempat ini udah cukup aman."
"Iya, tapi … ."
Belum juga Gavin menyelesaikan ucapan, ponselnya tiba-tiba berdering. Saat Gavin tilik, muncul nama Laura pada layar yang menyala. Buru-buru Gavin angkat, kalau saja ada hal penting yang akan Laura katakan.
"Halo."
"Babe? Kamu sudah sampai?"
"Aku baru mau pulang ke flat," jawab Gavin.
Perlahan, kedua kaki Gavin lantas melangkah mundur dari hadapan Azura. Suara Laura memang hanya bisa didengar olehnya saja. Namun, Gavin merasa lebih aman kalau dia menjaga jarak dengan Azura.
"Kamu udah antar Azura?"
"Udah."
"Ok, then. Don't you want to just stay here? Tonight?"
Gavin terdiam sejenak. Sudut matanya sedikit melirik ke arah pintu kamar Azura yang masih terbuka. Wanita itu sedang berdiri menyandar pada dinding.
"Please. I miss you. Kamu selalu sibuk beberapa hari ini." Suara Laura kembali terdengar dari seberang.
"Ok," jawab Gavin. "I'll be there soon."
"Perfect! I love you, Babe."
Gavin segera memencet tombol merah tanpa menjawab kalimat terakhir dari Laura. Setelah itu, dia kembali menyimpan ponsel pada saku, lalu mendekat lagi ke arah Azura. Wajahnya masih datar, seolah panggilan tadi bukanlah hal yang penting.
"Sepertinya, memang lebih baik aku pulang dan kesini lagi besok pagi," ucap Gavin.
Azura tertawa sambil mengangguk. "Ok. Ada panggilan kerja lagi?"
Semula, Gavin hendak refleks menggeleng. Namun, entah mengapa kepalanya justru mengangguk. Dia berkilah kalau yang menelepon adalah seorang rekan kerja.
"Sepertinya pekerjaanmu nggak mengenal waktu," timpal Azura.
"Yup! It is what it is."
"Kalau gitu, selamat bekerja."
Gavin mengangguk. "See ya!"
Sekali lagi, sebelum Gavin melangkah pergi, telapak tangannya mendarat lembut di puncak kepala Azura. Tak ada penolakan sedikit pun dari wanita bersurai panjang itu. Azura rela rela saja saat kepalanya disentuh oleh seorang lelaki.
Biasanya Azura tidak begini. Dia benci disentuh oleh orang asing, terlebih di bagian kepala. Namun, Gavin berbeda. Entah mengapa, Azura merasa sudah terbiasa.
Well, sejak dulu, Mars juga selalu melakukan hal yang sama dalam mimpinya.