Mata Juli melotot mendengar ucapan Anton yang terdengar mengada-ada. Tak lama ia tertawa terbahak-bahak hingga menjadi pusat perhatian beberapa mahasiswa yang melihatnya. "Cowoknya?" Ia kembali tertawa.
"Ayo kita pulang, Jul," ajak Rei menggenggam tangannya. Tapi Juli menepis.
"Eh Lu denger ya, baik-baik," pinta Juli menunjuk ke Anton yang tersenyum sinis. "Rei itu cowok. Dan dia cowok gue! Mana mungkin Lu jadi--" Juli tiba-tiba terdiam. Sekonyong-konyong dia teringat dengan Lucky, mantan pacar Elis yang gay.
Ya, Gay !
"What?! Jangan bilang cowok gue gay?!" pekik batin Juli yang menatap Anton menyeringai seakan tahu apa yang jadi pikirannya sekarang. "Calm, Jul. Calm! Lu gak boleh panik. Anggap aja Lu gak mudeng!" ujar batinnya lagi.
Juli menurunkan jarinya dari wajah Anton. "Rei itu cuma suka gue! Kalau Lu suka dia, lebih baik Lu cari cowok lain! Paham gak Lu?!" ujarnya pura-pura tenang padahal jantungnya berdebar kencang kayak bedug di bulan puasa.
"Oh ya? Tapi Rei suka gue," balas Anton, gak mau kalah.
Juli menarik sudut bibirnya ke atas. "Bodo amat! Emang gue pikirin!" Ia membalas lalu memberi jari tengah pada Anton.
Setelah puas melihat Anton meradang, Juli menaiki motor dan duduk di belakang. Ia sengaja memeluk erat Rei hingga tanpa celah, bahkan sekalipun angin lewat gak akan mampu melewati punggung Rei yang menempel erat d**a Juli yang montok.
Rei membawa ke Juli menuju pusat kota lalu duduk di pinggir jalan yang sudah tersedia beberapa kursi panjang di sepanjang trotoar.
Rei menghentikan seorang pedagang minuman yang melintasi mereka dan memesan segelas Milo hangat dan kopi luwak.
Juli memilih Milo hangat untuk menemaninya sambil merokok.
Rei meneguk pelan kopi yang masih mengepulkan asapnya. Sementara Juli asik merokok dan bersikap tenang. Mereka saling membisu sambil memandang kendaraan yang lalu lalang di depan mereka. Beberapa pasangan lain asik mengambil foto melalui ponsel, berbincang dan tertawa.
Sebenarnya banyak hal yang mau Juli tanyakan ke Rei mengenai ucapan Anton tadi. Tapi ia tak tahu harus memulai dari mana karena takut menyinggung perasaan Rei.
"Eee.." Mereka sama-sama saling bicara.
"Kamu duluan," pinta Rei.
Juli menggeleng tak setuju. "Gak, kamu aja yang duluan ngomong," pinta Juli.
Rei tertawa kecil mengawali percakapan mereka. "Aku dapat kerjaan part time buat di malam hari," ujarnya, memberitahu Juli. Sesuai janji Rei yang takkan menjadi penari striptis lagi.
Senyum Juli merekah mendengar ucapan Rei. "Oh ya? Kerja apa, Rei?" tanyanya penasaran dan berharap bukan kerja di klub atau semacamnya.
"Guru privat," jawab Rei, tersenyum lebar sama halnya dengan Juli yang senang Rei menjadi sensei.
Juli bertepuk tangan karena senang, akhirnya Rei melakukan pekerjaan halal di malam hari. "Ngajarin siapa? Cewek apa cowok?" tanya Juli lagi, berharap Rei menjawab cowok.
"Cewek. Anak SMA," Rei menjawab dan menatap Juli yang terdiam dengan wajah datar.
"Cakep?" tanya Juli menaikan alis kanannya.
Rei mengangguk, "Ya." Ia menjawab dengan senyum lebar.
Juli tertunduk lemah lalu melempar rokoknya ke bawah dan menginjaknya antusias, seperti menginjak kecoa yang masih hidup.
Rei tertawa lalu menggeser pantatnya untuk bisa merangkul Juli seperti pasangan di kursi sebelah. "Tapi cakepan kamu, Jul," timpal Rei lagi yang tak lama melihat Juli mengangkat wajah dan tersenyum lebar.
"Yakin? Cakepan aku?" Juli memastikan lagi.
Rei mencubit pipinya gemas, "Iya, Jul. Cakepan kamu," jawabnya lugas dan senyumnya masih merekah.
Juli menyandarkan kepala di bahu Rei, "Syukurlah, Rei. Jadi kamu gak bakalan naksir dia. Iyakan?"
Rei mengangguk."Iya, Sayang," balasnya lagi. "Ngomong-ngomong tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Rei menagih.
Juli menegakkan kepala dan memandang Rei yang siap menjawab. "Hmm.." Ia ragu bertanya. "Anu, Rei. Ehmm.."
"Selesai wisuda aku mau ngelamar kerja di Jepang, Jul," potong Rei, baginya Juli berhak tahu dari jauh hari tentang rencana masa depannya. Termasuk bekerja di negeri sakura.
"Apa?!" Mata Juli melotot mendengar negara Jepang. Negara yang sedang Rei pelajari saat ini, negara idaman siapapun karena upah kerja disana tinggi walau sama lelahnya dengan pekerjaan yang dikerjakan. Tapi Jepang jauh. Tidak seperti dari Bekasi menuju Subang atau Blok.M, tapi apa daya Juli yang tak bisa mencegah kepergian Rei kecuali memberi restu dan yakin jika Rei selalu setia. "Itu beneran, Rei?" Juli memastikan lagi berharap Rei menjawab 'Tidak', tapi sayangnya Rei mengangguk lugas.
"Ya, tiga bulan lagi. Dosenku punya kenalan di sana dan mereka sedang butuh TKI yang bisa bicara bahasa Jepang untuk kerja di perusahaan otomotif. Dan aku salah satunya yang direkomendasiin. Kamu gak apa-apa kan aku tinggal?" tanya Rei, melihat wajah Juli yang melas.
"Gak apa-apa kok, Rei. Aku kan Superwoman, liat nih otot bisepku gede kan?" ucap Juli yang menunjukkan otot bahunya dari balik kaos strit yang ia pakai mencoba untuk tersenyum dan tertawa.
Rei tertawa dan mengeratkan rangkulannya lalu menoleh ke kanan dan kiri. "Muach," Rei mencium pipinya pelan.
Juli terdiam lalu menunjuk ke depan, jalan raya yang sesak dengan kendaraan lalu lalang. Bahkan Rei menciumnya saat lampu merah dan otomatis semua pengemudi kendaraan melihat adegan ia mencium pipi Juli.
Rei tertawa melihat respon Juli yang malu, sama seperti yang ia rasakan tapi menciumnya karena terbawa suasana romantis, seperti kejadian tadi malam.
Setelah menghabiskan minum dan waktu mendekati tengah malam, Rei mengajak Juli untuk pulang. Ia tak mau Juli di anggap w************n oleh para tetangga dekat rumah Juli hanya karena gadis itu sering pulang malam atau menginap di rumah teman. Sebagai kekasih, Rei hanya ingin menjaga Juli karena dialah wanita pertama yang ia sukai dalam hidupnya.
❤❤❤
Rei memberikan helm pada Juli tepat didepan kontrakannya, dan Juli menggantungnya di kaca spion begitu juga helm yang ia kenakan lalu melepasnya.
"Aku numpang ke WC dong, Rei. Gak tahan nih," pinta Juli yang langsung berdiri didepan pintu kontrakan Rei. Badannya goyang gak jelas karena menahan kencing sejak tadi.
"Ok, sebentar," sahut Rei yang mengambil kunci lalu membuka pintu.
Juli berlari berhamburan menuju kamar mandi, "Ahh...leganya.." ucapnya pelan, lalu membasuh dan menyeka dengan selembar tisu. Setelah selesai ia membuka pintu. "Aduh kaget gue!" ucap Juli yang terkejut melihat Rei berada di balik pintu. "Kamu ngapain, Rei? Mau kencing juga?"
Rei menggeleng dan langsung menarik badan Juli lalu memeluknya erat. "Aku mau cium kamu, Jul," ucap Rei, matanya memerah entah karena nafsunya sedang naik atau terkena debu jalanan sewaktu membawa motor tadi. Yang pasti tatapan Rei tertuju pada bibir Juli yang membuatnya menelan air liur.
Juli tersenyum lalu menoleh ke arah pintu yang terbuka, "Kira-kira aman gak motor taruh di luar kita didalam?" tanyanya diluar maksud dan tujuan Rei yang berniat mencumbunya.
Rei tertawa dan melepaskan pelukannya.
"Kenapa, Rei? Apa yang lucu? Aku serius loh. Cicilan motorku masih panjang kayak kereta. Kalau di colong orang gak lucu kan naik ojek online terus," ucap Juli serius tidak bermaksud bercanda tapi terdengar lucu bagi Rei. Biasanya kalau orang sedang di mabuk cinta tidak ingat apapun, tapi tidak dengan Juli yang mencemaskan motornya yang masih punya cicilan. Dan karena itu hasratnya berubah menjadi gelak tawa.
"Kau mau aman?" tanya Rei, serius.
Juli mengangguk, "He eh."
"Kita taroh di dalam tapi kamu nginap lagi. Mau?" tawar Rei, tatapannya sedikit nakal dari biasanya.
Juli berpikir sebentar. Bukan ia tak berani menginap dan tidur bersama Rei, tapi takut ayahnya melaporkan ke kantor polisi sebagai anak hilang seperti yang pernah dilakukan saat ibunya pergi dari rumah bersama kekasih gelapnya. Ia gak mau melihat ayahnya stress lagi dan terpaksa harus menolak ajakan Rei malam ini.
"Maaf, Rei. Aku gak bisa. Tadi malam aku sudah nginap disini dan gak mungkin aku nginap lagi," tolak Juli dengan wajah melas. "Kamu gak mau kan aku diusir dari rumah cuma gara-gara jarang pulang? Lagipula kasihan ayahku nanti kesepian, sudah di tinggal bini terus anak perawannya di culik cowok ganteng." sahut Juli lagi dan terlihat jelas wajah Rei kecewa tapi menutupinya dengan anggukan dan senyum tipis.
"Ya udah, aku pulang dulu. Soalnya aku harus mampir beli sekoteng buat nyogok ayahku biar dia gak ngomel-ngomel kayak Mak lampir kurang sajen," pamit Juli lalu terkekeh sambil berjalan menuju pintu.
"Tunggu, Jul," Rei menarik tangan Juli lalu mengecup bibirnya cepat. "Maaf, aku gak nahan pengen cium kamu dari tadi," ujar Rei sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, mungkin karena belum keramas.
Juli terdiam dan bergegas menutup pintu kencang. Ia mendorong tubuh Rei hingga membuatnya terjatuh terlentang di atas kasur dengan wajah terheran.
Juli merangkak di atas tubuh Rei dan menatapnya seperti Tom bertemu Jerry, sementara Rei terdiam pasrah ketika Juli membuka dan mengeluarkan kaos dari tubuhnya.
Nafas Juli perlahan cepat seperti kereta batu bara yang mulai melaju di atas rel. Ia mengusap d**a bidang Rei sambil duduk mengapit tubuhnya.
Juli meraih wajah Rei lalu mengulum bibirnya lembut. Gayung bersambut, Rei membalas kuluman nakal Juli yang lidahnya sudah menyusuri penuh di dalam mulut Rei. Tangannya yang kekar perlahan memasuki kaos Juli dan berjalan menuju dua gunung kembar lalu meremasnya pelan.
Rei memejamkan mata menikmati dua bulatan yang ia remas. Penisnya menegang keras serasa celana yang ia kenakan terasa sempit. Sementara Juli mendongak dan mengerang ketika kedua putingnya dipilin lembut oleh Rei yang sudah membuka matanya.
'Gubrak'
Rei dan Juli tertegun mendengar suara barang terjatuh dari arah luar kontrakan.
Juli bangkit setelah menurunkan kaos lalu bergegas membuka pintu dan mendapati helmnya terjatuh.
"Ada apa?" tanya Rei yang bangkit sambil mengenakan kaos mendekati Juli yang berdiri depan pintu lalu menggeleng.
"Kayaknya aku harus pulang, Rei. Helm ku aja sudah gak sabaran makanya jatoh," tuduh Juli melihat helm kesayangannya sudah berada di atas tanah.
Rei mengangguk setuju walau permainan mereka baru saja dimulai, atau lebih tepatnya baru melakukan pemanasan. "Baiklah, hati-hati, Jul," ucap Rei, melambaikan tangan ketika Juli sudah menunggangi motor dan mengenakan helm.
Juli mengklakson pelan. "Bye, Rei," pamitnya lalu bergegas meninggalkan Rei yang berdiri sambil melambai.
❤❤❤
"Kenapa Lu manyun begitu? Kurang sirih?" goda Elis ketika melihat Juli hanya menopang dagu di tangga darurat tempat biasa mereka merokok. Sebuah tempat yang sudah mereka booking dan jadikan basecamp.
Juli menatap sayu ke arah Elis yang mengambil sebatang rokok miliknya, "Sebenarnya Lu kuliah dimana sih? Tiap siang maen terus kesini? Apa dosen Lu gak nyariin Lu yang keluyuran ke kios sepupunya di Mall daripada belajar di kelas?" tanya Juli yang terheran dengan Elis yang terlalu santai sebagai mahasiswi jurusan ekonomi di semester akhir. Dan lebih terheran sahabatnya itu selalu mendapat IPK tinggi tiap semester.
Elis tertawa sampai mendongakkan kepala mendengar pertanyaan Juli. "Gue kan lagi nyusun skripsi, Jul. Makanya gue santai," jawabnya lalu menghisap rokok lagi.
Juli menggeleng, "Gue heran, otak Lu terbuat dari apa sih? Dari semester 1 sampe sekarang Lu nyantai jadi anak kuliahan. Sering bolos, ngerokok, keluyuran, mabok, belum lagi nongkrong di klab,"
"Eits, sorry." Elis mengangkat kelima jarinya, "Bolos, ngerokok, keluyuran emang iya gue lakuin. Tapi kalau mabok gue gak pernah, nongkrong di klab itu juga sama Lu, Sist," timpalnya, tak terima Juli menuduhnya pernah mabuk.
Juli mengangkat dagu, "Oya? Terus siapa yang minum Vodka dicampur spirtus--"
"What?!" potong Elis, "Lu kira gue lampu petromak, minum pake spirtus?!" tolaknya tak terima ucapan Juli lagi.
Juli tertawa terbahak bahak dan baru sadar jika salah menyebut sebuah nama minuman keras. "Iye, pokoknya Lu campur dah tuh minuman pake apa tau, terus gak lama Lu mabok. Malah gaya mabok Lu nyeremin lagi. Iiih…" ucap Juli yang bergidik membayangkan Elis beberapa waktu yang lalu.
Elis memandang Juli serius, "Masa sih? Kapan gue mabok? Terus gue ngapain emangnya sampe Lu jijik begitu?" tanyanya penasaran dan berusaha mengingat kejadian saat ia mabuk. Tapi sayangnya ia lupa.
"Waktu Lu putus sama si Lucky, gue kan nginep di rumah Lu," jawab Juli berusaha mengingatkan Elis, "Lu colong minuman punya bapak Lu terus Lu campur sama yang laen. Gak sampe dua gelas Lu mabok sambil nyebut nama tuh b******n. Malah pake acara buka baju segala lagi, jijik in banget tau!"
"Terus?!" tanya Elis antusias.
Dahi Juli berkerut, "Lu begini," Ia menirukan wanita yang menggoda pria sambil mengusap-usap d**a Elis. "Lucky, apa kurang gue? Gue cantik, seksi dan menggairahkan. Apa Lu gak puas sama gue?" sambung Juli lagi lalu tertawa terbahak-bahak. "Gimana? Lu dah inget?"
Elis menggeleng.
"Kenapa? Apa Lu sama Lucky dah w*****k wik?" tanya Juli, menaik turunkan alis kanannya.
Elis melambaikan tangan tak setuju, "Mana mungkin gue ngelakuin itu sama homo? Lagipula dia gak doyan gue. Semenjak pacaran gue yang agresif, dia cuman diam aja," Ia mendengus kesal membayangkan Lucky lagi. Terlebih lagi mantan kekasihnya itu selalu mengelak setiap Elis akan menciumnya.
Juli terdiam mendengar kata homo. Mengingatkan perkataan Anton jika dia dan Rei sepasang kekasih. Juli tak percaya jika Rei homo, karena dengan jelas tadi malam Rei membalas ciumannya bahkan mencumbu selayaknya lelaki normal. Tak ada yang berbeda.
Tapi tak ada salahnya perkataan Anton ia pegang, dan mencari bukti jika Rei benar-benar pria penyuka sesama jenis. Agar tak menyesal seperti Elis.
❤❤❤
"Ok, Makasih ya, dah ngasih gue bonus. Mudahan dagangan Lu makin rame, Sil," ucap Juli pada cewek berhijab di depan rumah bergaya minimalis modern di sebuah komplek perumahan, di kampung sebelah.
Cewek bernama Sisil memberi sebungkus keripik kentang sebagai bonus Juli sudah memborong dan menjemput langsung snack ringan pesanannya.
Sisil tersenyum lebar, "Itu karena Lu langganan tetap gue, Jul. Lagipula gue jadi irit bensin, gak nganter ke rumah Lu," balas Sisil menatap Juli yang menoleh ke rumah sebelah, lima rumah sebelumnya.
Sisil mengikuti arah pandang Juli melihat dua cowok keluar dari rumah saling merangkul dan tertawa. Ada hasrat Juli untuk mendekati memastikan cowok yang ia lihat.
"Please, mudahan gue salah liat dan itu bukan Lu," gumam Juli yang berjalan pelan ke arah mereka sementara ia menghiraukan panggilan Sisil.
"Jul, Lu mau kemana?" panggil Sisil setengah berteriak.
Jantung Juli makin berdebar kencang melihat keintiman dua pria yang mengenakan almamater kampus yang sama saling tertawa lepas. Pria yang lebih tinggi melingkarkan lengan di leher pria disampingnya, pria yang Juli kenal.
Semakin dekat langkah Juli pada mereka yang akan menunggangi motor, semakin berdebar kencang jantungnya seperti bom waktu yang tak lama lagi meledak.
Langkah Juli terhenti ketika dua pria itu berhenti tertawa dan menatapnya dengan heran. Dan apa yang Juli takutkan ternyata benar.
Pria yang tertawa dan terlihat intim, adalah pria yang ia tuduh sama seperti Lucky.
Juli melangkah mundur sambil menggeleng. Menolak yang ia lihat seperti Anton katakan kemarin, jika Rei dan Anton adalah…
Sepasang kekasih.