Empat

1338 Kata
Lagi-lagi Ratu datang terlambat dan tidak aneh ketika untuk kesekian kali, ia masuk ruang atasannya, supervisor tampan, mantan gebetan di masa lalu, Prabu Damar Anggabaya yang sudah siap dengan posisi seperti biasa, ingin mencaplok wajah wanita itu meski yang menjadi pelaku datang siang hanya berwajah datar seperti biasa. Dia beberapa kali minta maaf sambil membiarkan poni menutupi mata, membuat Damar yang melihatnya risih karena tidak pernah ia melihat Ratu seperti itu, berantakan. Sungguh bukan dia. "Datang siang, rambut acak-acakan, kamu beneran mau dipecat?" Damar mendelik garang dari balik meja kerja sambil memencet-mencet ujung ballpoint, menyebabkan isinya mencoret-coret telapak tangan pria itu. Ratu hanya menggeleng lemah. Ia malas menjawab dan menceritakan tentang keadaan sebenarnya pada pria itu tapi terlalu sering berkelit membuatnya tambah banyak kena masalah. Hanya saja dia tahu, sejengkel apapun Damar padanya, pria itu tidak pernah bisa memecat si tukang terlambat ini meskipun dia punya kuasa. Semua orang tahu status Ratu, satu hal yang sebenarnya membuat dia amat malu tapi memilih tetap bertahan karena tidak punya pilihan lain. Mereka butuh makan dan papi butuh berobat. Kebutuhan pria tua yang menderita stroke kadang tidak murah, dia juga harus sedia popok sekali pakai, perlak dan krim ruam agar kulit papi tidak lecet. Papi juga butuh kontrol dan semua itu perlu biaya. "Saya nanya loh, kamu kok diam aja dari tadi? Bulan ini sudah berapa kali kamu telat? Kayaknya jadi kebiasaan, deh." Wajah Ratu yang seharusnya mendung dia tata sedemikian rupa agar tidak terlihat kacau. Sambil memamerkan senyuman maut diiringi doa supaya Damar lumer seperti biasa, dia mulai buka suara, "Anu, Mas, tadi kesiangan gara-gara kelamaan di kamar mandi, mandi junub." Dia beralasan, sesuatu yang membuat Damar memicingkan mata mendengar alasan tersebut. "Mandi junub? Kamu masih gadis, kan? Ngapain mandi junub?" Suara Damar naik satu oktaf membuat Ratu tidak menyangka respon pria dihadapannya saat ini akan seperti itu. Sambio cengengesan ia kembali buka suara, " Hush, piktor deh. Itu mandi wajib, Mas. Biasa tamu bulanan udah lewat, lupa juga mesti masuk pagi, nggak sempat sisiran juga, maafin aku, ya." Kalimat minta maaf barusan membuat ketegangan di wajah Damar sedikit mengendur. Ratu sedikit tersenyum saat melihat perubahan sikap pria itu. Kadang butuh tingkah sedikit gila dan dia tahu telah dimaafkan. Damar tidak perlu tahu apa yang sedang dia alami dan rasakan, termasuk mengapa ia selalu datang telat hampir setiap hari. Semua itu bukanlah tanpa alasan. Dirinya sudah berusaha bangun seawal mungkin, barangkali lebih pagi dari semua pegawai di Pancabuwana, tapi dia tidak bisa menyalahkan diri karena selalu membuat Damar marah. Seharusnya dia datang lebih awal tapi semua itu kadang tidak mungkin dilakukan. Ratu sudah bangun jam empat dini hari, memasak bubur dan lauk buat papi, sehingga ketika tiba waktu makan, Uwak Ijah tinggal mengambil seperlunya. Setelah itu yang ia lakukan adalah membujuk papi untuk mandi. Ratu sendiri yang meski memiliki tubuh kurus karena selalu berhemat, sanggup mengangkat tubuh papi, memanggulnya dengan perlahan menuju kamar mandi. Setelah itu ia akan mendudukkan satu-satunya pria yang ia miliki itu ke lantai kamar mandi mereka yang sempit, menyirami perlahan tubuh papi dengan air hangat sambil memuji betapa pria dihadapannya itu, meski sudah lewat lima puluh tahun tetap gagah perkasa, sesuatu yang kemudian membuat papi malu dan menangis tersedu-sedu, berharap Tuhan segera mencabut nyawanya agar tidak terus-terusan menyusahkan putri semata wayangnya itu. Tapi Ratu selalu tahu cara membuat papi tersenyum lagi. Ia akan berceloteh panjang lebar saat menuangkan sabun ke waslap, melakukan gerakan mengusap amat hati-hati agar kulit papi yang terlalu banyak berbaring tidak teluka tapi sekaligus memastikan, kotoran dan daki terangkat sempurna. Sesekali memuji otot papi yang walau telah mengendur, tetap perkasa, karena pernah menjadi mantan Abang Jakarta. Hanya saja pagi ini ia tidak seberuntung itu. Ratu yang sudah memastikan lantai kamar mandi tidak lincin, memanggul papi begitu hati-hati ke kamar mandi. Sayang, ia tidak menyangka, kakinya terkilir tepat saat papi melakukan sedikit gerakan yang tidak bisa ia hindari, akibatnya dahi Ratu langsung menghantam ujung bak keramik hingga terluka namun ia amat bersyukur, saat jatuh, keadaan papi baik-baik saja. Ia merelakan kepalanya jadi korban agar tubuh ayahnya tidak jatuh ke lantai, meski setelahnya ia harus meyakinkan papi, bahwa pria itu butuh mandi dan membersihkan diri. Papi terlalu trauma melihat wajah anaknya penuh darah. Tangisannya bahkan tidak berhenti sejak Ratu lebih memilih mengusap tubuh pria itu dengan sabun daripada memikirkan keadaan dirinya sendiri. "Atu nggak apa-apa, Pi. Nanti kalo Uwak Ijah datang liat papi kucel, bau ketek, mana mau nemenin lagi. Percuma ganteng-ganteng bau acem." Tangis papi makin menjadi dan ia, menggunakan tangan kiri  yang sedikit lebih kuat daripada tangan kanannya yang lumpuh, memukul-mukul kepala berdoa pada Tuhan agar malaikat sudi mencabut nyawa daripada menyusahkan Ratu. Satu kalimat yang membuat Ratu, meski bilang pria itu tidak menyusahkan, tidak bisa mencegah air matanya jatuh. Dia bahkan mesti menarik tangan papi dan membawanya ke pipi, lalu menguatkan diri mencari kalimat paling dahsyat yang bisa ia beri sekadar untuk mengembalikan kepercayaan diri papi yang telah jatuh ke dasar jurang paling dalam. "Papi harus sehat kalau mau jadi wali nikah Atu. Jangan berdoa cepat pergi kalau papi mau liat Atu nikah. Kalau papi sembuh, Atu bawa cowok yang gantengnya ngalahin Abang Jakarte tahun tujuh puluhan." Papi yang tadinya masih menolak untuk makan bubur, pada akhirnya memilih mengangguk dan berjanji tidak akan lagi minta dirinya cepat mati. Satu kalimat yang membuat hati putrinya semakin hangat, walau ia tahu, janji-janji palsu yang selalu dia ucapkan pada pria lumpuh itu tidak akan pernah terjadi. Kamu masih pake sepatu rusak itu." Kembali Damar menarik Ratu ke alam sadar. Pria itu sudah bangkit dan berada di sampingnya, memperhatikan sepatu obralan miliknya yang solnya sudah jebol. Damar melihatnya saat Ratu pamit izin sholat di musola mall yang mereka kunjungi kemarin. Dua sepatu itu tidak lagi memiliki alas tapak, langsung bersinggungan dengan bagian dasar sepatu yang membuat Damar bertanya-tanya dan hanya dibalas Ratu, solnya hilang karena sempat berkelahi dengan penggemar pageant yang tidak terima idolanya dikritik. Satu jawaban yang kemudian menghasilkan omelan panjang lebar dan hanya dibalas senyum tipis. "Lupa, Mas. Kan kesiangan. Jadi pake yang mana aja, ketemunya ini, ya disamber deh." Dia tahu, jawaban itu akan membuat nilainya makin jatuh di depan Damar. Tidak mengapa. Dia sudah berjanji pada Putri untuk menjauh. Seperti yang selalu ia lakukan sejak bertahun-tahun lalu, walau entah kenapa nasib selalu mempermainkannya, mempertemukan mereka setiap saat dia berusaha menghindar bahkan menjadi manusia paling buruk agar Damar membencinya. "Alasan itu, kan? Kemaren kamu bilang mau dijual. Awas ya, kalau kamu berani jual, saya bakal minta ganti rugi. Amat berat sampe kamu nggak bisa lagi ngeles." Ratu membalas dengan tawa, sesuatu yang membuat Damar sempat terpaku beberapa saat sebelum ia sempat menguasai diri. Pesona gadis sableng itu selalu membuatnya bisa mati berdiri lebih cepat. Tidak peduli dia benci rambut abu-abu Ratu yang mirip sarang burung atau wajah mulus meski tidak pakai kosmetik berlebihan kecuali bedak dan lipstik. "Jiah, emangnya mau kasih hukuman apa, Mas?" Ratu balik menantang. Ia berusaha menahan debaran di hati berharap tidak terlihat bahagia tidak peduli hatinya terlonjak gembira. Ia sudah berusaha tidak tergoda, Putri akan tahu dan bila itu terjadi, dirinya sudah paham apa konsekuensi jika berani mencoba. "Kalo kamu berani jual, saya bakal datangi rumah bapak kamu, minta pertanggungjawaban. Putrinya sudah berani menjual sepatu pemberian bos demi nonton Miss apa itu, dan bapak kamu harus mau tanggung jawab." Kali ini tawa Ratu pecah. Ia tidak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi. Damar akan sangat terkejut saat tahu semuanya. Bagi Ratu, semua ini cuma lawakan konyol. Tidak masuk akal dan lebih mirip dongeng daripada kenyataan. Karena itu, berusaha menyelesaikan kerumitan ini, ia memilih mengalah. "Iya deh, saya pake sepatunya nanti. Susah kalau nagih tanggung jawab sama bapak saya. Soalnya bapak saya laki, Mas. Nggak mungkin kan jeruk sama jeruk. Lagian bapak saya normal, loh." Ketika menemukan wajah Damar kembali gusar, Ratu mengakhiri semuanya dengan memberikan senyuman lebar dan pamit undur diri. Dia tidak perlu memberikan banyak penjelasan lagi, begitu kakinya keluar dari ruangan pria itu, dia menghela napas panjang-panjang berharap yang mulia tuan Putri tidak akan muncul dan menambah buruk suasana hatinya yang sedang amat kacau saat ini. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN