Aku tersentak bangun. Ku lihat ke samping, mas Ardi ternyata sudah lebih dahulu bangun. Ku usap wajahku perlahan dengan kedua tanganku untuk mengumpulkan kesadaran. Semalaman aku susah tidur karena memikirkan masalah cincin semalam.
Aku turun dari tempat tidur dan beranjak menuju ke kamar kecil. Aku berdiri di depan westafel. Ku lihat cincin yang aku temukan semalam sudah tidak ada ditempatnya. Mas Ardi pasti sudah mengambilnya.
Ku cuci wajahku kemudian menggosok gigi. Setelah itu aku segera turun untuk menemui suamiku. Aroma nasi goreng sudah semerbak di lantai bawah. Aku melihat ke arah dapur, Mas Ardi masih sibuk menata masakannya di piring tanpa menyadari kedatanganku.
“Mas, maaf ya aku terlambat bangun.” Aku memeluknya dari belakang membuatnya sedikit agak terkejut.
“Gak apa-apa dek. Mas juga semalam cepat tidurnya. Ini mas sudah masakin nasi goreng pedas dengan bawang yang banyak, kesukaan kamu.” Mas Ardi sedikit mengangkat sepiring nasi goreng yang ada ditangannya ke arahku, membuat aroma nasi goreng itu menggoda perutku.
“Wanginya sedap banget, mas.” Aku mendengus ke arah nasi goreng
“Nah ayo duduk. Kita sarapan ya, ” ucap Mas Ardi
Aku melepaskan pelukanku dan mulai duduk di meja makan. Aku mengambil dua gelas yang ada diatas meja kemudian menuangkan air minum ke dalamnya. Mas Ardi datang dan meletakkan dua porsi nasi goreng diatas meja.
“Nih cobain dulu. Enak gak?” Mas Ardi mendekatkan satu piring nasi goreng ke arahku
Aku menyuapkan nasi goreng kedalam mulutku dan mengunyahnya, “Enak pake banget.” Aku tersenyum ke arah Mas Ardi.
“Suka?” tanya Mas Ardi lagi.
“Suka dong. Seenak ini, dimasakin sama suami lagi. Enaknya double,” jawabku sambil mengacungkan jari jempol ke arahnya.
Mas Ardi tersenyum bangga mendengar pujianku dan mulai menyantap nasi goreng yang ada didepannya. Netraku terfokus pada tangan Mas Ardi. Cincin yang ada di westafel kamar mandi semalam tidak ada di jari tangannya. Kenapa cincin itu tidak dipakainya?
“Mas lembur lagi hari ini?” tanyaku menatapnya
“Sepertinya masih lembur, dek. Kenapa?” jawab Mas Ardi sambil terus menikmati makanan yang ada dihadapannya.
“Gak ada mas. Habis makan mas minum vitamin ya. Biar terjaga imunnya mas.” Aku berdiri dan mengambil sebotol multivitamin dari atas kulkas.
Mas Ardi telah menghabiskan sarapannya. Aku membereskan semua peralatan makan dari atas meja makan dan membawanya ke tempat cucian piring.
“Mas, cincin nikah kita kenapa gak mas pakai?” tanyaku setelah memastikan Mas Ardi telah selesai sarapan. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku lagi.
Mas Ardi tercekat. Wajahnya terlihat berpikir beberapa saat kemudian tersenyum.
“Kamu pasti melihat cincin yang ada di atas westafel kamar mandi kan?” tanya Mas Ardi santai.
Aku terdiam. Berarti Mas Ardi tahu kalau semalam aku sudah melihat cincin itu.
“Itu cincin teman Mas. Kemarin dia mau cari cincin kawin karena dia ada rencana menikah tahun ini tapi bingung dengan modelnya. Terus dia lihat cincin kawin kita, dicobanya. Mas juga penasaran dengan cincinnya dia. Eh sampai pulang kita lupa balikin,” jelas Mas Ardi.
Aku mengangguk pelan mendengar cerita Mas Ardi. Ada kelegaan dalam hatiku mendengar penjelasan Mas Ardi. Aku sangat bersyukur dugaanku kemarin ternyata salah.
Mas Ardi bangkit dari duduknya dan memelukku.
“Kamu mikir apa tadi? Mas selingkuh?” Mas Ardi mengelus pelan rambutku.
Aku tersenyum malu mendengar pertanyaan Mas Ardi yang memang tepat mewakili perasaanku tadi.
“Wajarkan kalau aku mikirnya begitu, Mas? Mas juga kalau aku pakai cincin kawin orang lain pasti curiga kan?” jawabku tidak mau kalah.
“Iya, mas yang salah. Nanti cincinnya mas tukar lagi ke teman mas.” Mas Ardi tersenyum padaku.
“Mas buruan mandi. Nanti terlambat loh.” Aku mengingatkan Mas Ardi. Sebenarnya bukan itu tujuannya, tapi lebih ke menutupi pipiku yang mulai memerah karena perlakuan manis Mas Ardi.
“Oh iya, mas mandi dulu ya dek.” Mas Ardi melihat ke arah jam yang ada di dinding. Mas Ardi berlalu ke lantai atas untuk mandi dan bersiap ke kantor.
Aku melanjutkan mencuci piring yang kami pakai sarapan tadi karena Mas Ardi selalu membersihkan dapur selagi dia memasak. Laki-laki itu memang paket super lengkap yang diidamkan oleh semua istri.
Aku menyusul Mas Ardi ke kamar untuk mempersiapkan baju kerjanya. Mas Ardi masih mandi. Aku memilihkan setelan jas dan kemeja untuk dipakai Mas Ardi hari ini dan meletakkannya di atas kasur.
“Dek, tolong jahitkan kancing kemeja yang kemarin mas pakai ya. Ada dua kancingnya yang lepas,” ucap Mas Ardi begitu keluar dari kamar mandi.
“Lepas lagi?” tanyaku heran.
“Iya dek. Kemarin tersangkut di pintu ruangan kerja mas.” Mas Ardi mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
“Kenapa kancing kemeja-kemeja mas mudah lepas ya? Perasaan sudah dikuatkan semua, mas.” Aku mendekat ke arah Mas Ardi dan mengambil handuk dari tangannya yang telah selesai mengeringkan rambutnya. Mas Ardi mengambil setelan jas lengkap yang tadi sudah aku siapkan tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku membantunya merapikan pakaiannya. Netraku bertemu dengan tangannya yang sedang sibuk memakaikan dasi. Cincin itu masih belum dipakainya.
“Udah. Ayo kita ke bawah,” ajak Mas Ardi begitu selesai memastikan pakaiannya telah rapi.
Kami berdua turun ke lantai satu. Mas ardi duduk memasangkan sepatunya di teras rumah dan aku menjemur handuk yang tadi aku bawa dari kamar ke jemuran yang ada di halaman samping rumah.
“Dek, mas berangkat kerja dulu ya.” Mas Ardi berdiri mengulurkan tangannya. Aku menyambut dan mencium tangannya dengan takzim.
Mas Ardi masuk ke dalam mobilnya dan melaju keluar dari halaman rumah. Aku berjalan sampai ke depan halaman, terus melihat ke arah mobil suamiku sampai akhirnya mobil itu menghilang di persimpangan jalan.
Aku masuk ke dalam rumah. Ku hempaskan tubuhku diatas sofa ruang tamu. Pikiranku melayang. Ku helakan napas panjang.
“Dasar Gita, kenapa gak langsung bertanya aja sih? Jadi kan semalam aku bisa tidur dengan tenang,” gerutuku pada diri sendiri.
“Mas Ardi bukan tipe lelaki sembarangan yang mudah terpengaruh dengan wanita lain,” ucapku lagi untuk menguatkan pemikiranku.
Aku beranjak ke kamar lagi untuk mengambil pakaian kotor yang akan aku cuci dan membawanya ke belakang. Aku memasukkan satu-persatu baju yang ada dikeranjang kain kotor. Aku terdiam ketika tanganku mendapati kemeja yang dipakai Mas Ardi semalam. Aku perhatikan bagian kancingnya satu persatu. Benar, ada dua kancing yang lepas dan hilang.
“Padahal kancing-kancing ini sudah berkali-kali ku kuatkan, kenapa bisa lepas lagi?” Aku beranjak mengambil jarum, benang dan kancing baju yang baru, kemudian mulai menjahitnya.
“Kali ini tidak akan bisa lepas lagi.” Gumamku menyelesaikan jahitanku.
Aku memasukkan semua pakaian kotor yang tersisa ke dalam mesin cuci dan mulai menghidupkannya. Khusus kemeja kerja Mas Ardi akan aku cuci langsung dengan tangan agar lebih bersih. Hatiku begitu tenang begitu mendengar penjelasan dari Mas Ardi pagi ini.