Bab 1. Pertemuan Kembali
"Selamat pagi, Maya," sapa seorang laki-laki dengan senyum.
Maya menoleh dan terkejut. Pria itu berdiri di depannya, lebih tampan dan dewasa. Mata Maya terpaku pada sosoknya yang tidak terduga.
"Apa kabar, Maya?" tanyanya, seolah tidak ada yang berubah.
Maya, 26 tahun, kembali mengingat kenangan pahit tujuh tahun lalu. Malam itu, ia kehilangan kesucian dan kepercayaan. Ryan, mantan kekasih yang saat ini berdiri di depannya, meninggalkannya begitu saja.
Sekarang, Maya bekerja sebagai OB di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Maya hanya lulusan SMA dan terpaksa berhenti kuliah karena hamil di usianya yang masih 19 tahun kala itu. Bermodalkan ijazah SMA, ia hanya berkerja sebagai OB untuk menghidupi putri semata wayangnya. Dia memiliki seorang putri cantik berusia 6 tahun, Mia, buah cinta yang terlarang.
Pagi ini, Maya tiba di kantor lebih awal untuk mempersiapkan rapat penting. Saat membersihkan ruangan meeting, ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Ryan.
Maya terdiam, berusaha menyembunyikan kekagetan dan rasa sakit yang masih terpendam. Ryan memperkenalkan diri sebagai Direktur baru, membuat Maya merasa dunianya terbalik. Bagaimana mungkin? Ryan, mantan yang menghancurkan hidupnya, kini menjadi atasan?
"Se-selamat pagi, Pak," jawab Maya seolah tidak mengenali sosok yang telah menghancurkan hidupnya itu. "Maaf, sebentar lagi ruangan rapatnya siap, Pak. Eu ... ini saya tinggal menyiapkan minuman untuk staf."
Maya meraih kain lap yang baru saja ia gunakan untuk membersihkan meja persegi berukuran dua meter yang akan digunakan untuk rapat. Lagi-lagi wanita berusia 26 tahun itu berusaha untuk bersikap biasa saja, sebisa mungkin tidak terlalu kaku dan menyembunyikan gejolak di dalam jiwanya. Walau bagaimanapun, Ryan pernah memberinya cinta di masa lalu sekaligus menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya. Bertemu kembali dengan pria itu, seakan membangkitkan luka yang sudah ia kubur dalam-dalam hingga ke dasar jurang.
Maya hendak melangkah meninggalkan tempat itu masih dengan kepala menunduk.
"Tunggu, Maya," kata Ryan, meraih telapak tangannya. "Kamu gak ngenali saya? Semudah itukah kamu melupakan saya?"
Maya menarik tangannya. "Saya ngenali Bapak. Tapi saya harus kerja."
Ryan memandangnya dengan rasa penasaran. "Apa yang terjadi sama kamu, Maya? Kenapa kamu bersikap dingin?"
Maya menatapnya dengan mata berair. "Semudah itukah saya melupakan Bapak? Apa tidak kebalik?"
Ryan terkejut. "Ma-maksud kamu?"
Maya berbalik, meninggalkan Ryan dengan pertanyaan yang menggantung.
Sementara Ryan hanya bisa menatap kepergian wanita itu dengan perasaan pilu. "Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu, May? Kenapa kamu bersikap dingin kayak gini? Bukannya dulu kamu sendiri yang ninggalin saya saat saya berjuang untuk sembuh? Kenapa sekarang kamu bersikap seolah kamu orang yang paling tersakiti?" gumamnya merasa tidak habis pikir.
***
Sore hari tepatnya pukul, 16.00, Ryan berjalan di lobi kantor miliknya. Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan yang baru ia kelola baru-baru ini karena dirinya lama menetap di luar negeri. Pria itu seketika menahan langkah kakinya saat seorang anak perempuan berusia 6 tahun tiba-tiba berlari kemudian menabraknya hingga jatuh ke atas lantai.
"Argh!" ringis anak berambut kriting tersebut.
"Astaga, kamu gak apa-apa, Dek?" tanya Ryan seraya berjongkok lalu membantu anak itu berdiri tegak. "Apa ada yang sakit, Dek? Hmm ... makannya jangan lari-larian gitu, jadinya nabrak, 'kan?"
Bukannya menanggapi pertanyaan Ryan, yang dilakukan oleh gadis kecil itu adalah menatap wajah tampannya seraya tersenyum lebar membuat Ryan seketika merasa heran. Pria itu menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal seraya tersenyum cengengesan.
"Kenapa kamu liatin Om kayak gitu? Om ganteng, ya?" tanya Ryan merasa gugup.
"Ayah," rengek anak tersebut tiba-tiba memeluk tubuh Ryan erat membuat Ryan seketika merasa terkejut.
"Hah? A-Ayah?" gumamnya dengan kedua mata membulat lalu mengurai pelukan. "Om bukan Ayah kamu, Dek."
Anak itu terlihat kecewa seraya menatap lekat wajah Ryan. "Maukah Om jadi Ayahku?" tanyanya dengan begitu polosnya.
"Mia!" sahut Maya dari kejauhan bergegas menghampiri Mia lalu menarik telapak tangannya kasar. "Kamu apa-apaan sih? Suruh siapa kamu dateng ke sini, Sayang? Ibu 'kan udah bilang, gak usah ngusulin Ibu ke sini?"
Ryan diam mematung seraya menatap wajah Maya dan gadis kecil bernama Mia. Apa anak itu buah hati Maya? Mereka berpisah tujuh tahun lalu, apa Maya sudah menikah dengan pria lain dan dikaruniai anak perempuan? Ryan merasa patah hati.
"Apa anak ini anak kamu, May?" tanya Ryan merasa penasaran.
Maya sontak menoleh dan menatap wajah Ryan dengan perasaan gugup. "Maaf, Pak Ryan. Eu ... kami permisi," pamit Maya tanpa menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Ryan.
"Tunggu saya, Maya. Jawab dulu pertanyaan saya," pinta Ryan seraya meraih lalu menggenggam telapak tangan Maya membuat Mia yang berdiri bersama ibunya seketika merasa heran.
"Ibu kenal sama Om ini?" tanyanya seraya menatap wajah sang ibu dan Ryan secara bergantian.
Maya menunduk menatap wajah Mia seraya tersenyum hambar. "Nggak, Sayang. Ibu gak kenal sama Om ini. Dia cuma atasan Ibu di kantor ko."
"May," lemah Ryan mulai merasa frustasi. "Jawab pertanyaan saya, Maya. Apa kamu udah nikah dan punya anak, heuh? Kamu cukup jawab iya atau tidak!"
Maya memejamkan kedua matanya sejenak lalu kembali menatap wajah Ryan. "Mohon maaf, Pak Ryan. Saya gak ada kewajiban untuk menjawab pertanyaan Anda. Kami permisi," jawabnya lalu hendak melangkah, tapi Mia sama sekali bergeming.
Gadis kecil itu menatap lekat wajah Ryan. "Aku gak mau pulang, aku mau sama Om Ryan."
Maya mengerutkan kening. "Sayang, dia itu cuma atasan Ibu."
Mia menundukkan kepala dengan wajah masam.
Ryan berjongkok tepat di depan Mia. "Nama kamu siapa?"
Mia kembali mengangkat kepala, menatap wajah Ryan dengan wajah datar. "Namaku Mia, Om."
"Apa Mia mau naik mobil Om?"
"Om punya mobil?"
"Mobil Om bagus banget, kalau kamu mau, Om bakalan anterin kamu pulang, gimana?"
Mia tersenyum lebar. "Mau, Om, mau," jawabnya merasa senang.
"Oke, kita berangkat sekarang," jawab Ryan hendak melangkah seraya menggenggam telapak tangan Mia.
Akan tetapi, Maya tiba-tiba saja melepaskan tautan tangan mereka kasar membuat keduanya seketika merasa terkejut.
"Gak usah, kami bisa pulang sendiri. Kami gak perlu tumpangan mobil mewah Anda, Pak Ryan," ketus Maya seraya meraih lalu menggendong tubuh Mia.
"Kenapa, Maya? Apa kamu takut suami kamu marah kalau saya nganterin kalian pulang?" tanya Ryan merasa kecewa.
"Suami?" tanya Maya seraya tersenyum hambar. "Apa gak kebalik? Apa Anda gak takut istri Anda marah kalau Anda nganterin kami pulang?"
"Istri? Istri yang mana maksud kamu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Pak Ryan," ketus Maya lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Ryan.
Bersambung ....