Tetesan hujan menjadi deras seiring kilatan petir yang menggelegar di atas langit hitam malam ini. Udara dingin pun menyeruak masuk melalui ventilasi kamar, tapi tidak membuat Riska kedinginan. Ciuman dan pelukan Ryan sudah membuat tubuhnya hangat. Sehangat napasnya yang berembus cepat.
Dua insan itu saling berpagutan menarik bibir. Decapan dari bibir mereka yang saling melumat, memenuhi kamar mengalahkan suara hujan di luar sana. Hasrat Ryan bergejolak hebat. Inilah saat yang ia rindukan sejak dulu. Bisa menciumi dan mencumbui Riska seakan sudah melengkapi kebahagiaan hidupnya saat ini. Namun, ada hal yang sejak dulu ingin ia lakukan bersama Riska.
Sex.
Satu kata itu selalu ada di pikirannya saat dirinya membutuhkan pelampiasan untuk mengeluarkan sesuatu yang membuat kepalanya sakit, walau sampai saat ini ia hanya melakukannya secara solo dan menjadikan Riska sebagai objek dari fantasi liarnya beberapa kali dalam seminggu.
Namun, malam ini dengan cuaca dan suasana mendukung, Ryan menginginkannya. Untuk yang pertama dalam hidupnya hanya bersama Riska, bukan wanita lainnya.
Erangan Riska terlontar setelah merasakan jejak-jejak bibir Ryan yang mendarat di lehernya yang terkulai ke belakang. Kali ini ia membiarkan tubuhnya dalam genggaman Ryan. Ia yakin Tuhan memang menghendaki agar dirinya kembali menjalin hubungan bersama dengan pria yang hampir menjadi kakak angkatnya, karena ia yakin ini adalah hidup baru dan cintanya yang baru setelah kematian Aldi.
Sekali lagi Riska mengerang merasakan usapan tangan Ryan membelai paha lalu terhenti setelah dua jari kekar itu menjumput sebelah tali G-stringnya. Saat Ryan akan menurunkan tali G-string berwarna merah itu, mereka dikejutkan suara bel berbunyi berulang-ulang seakan memaksa mereka untuk membuka pintu itu.
"Mungkin itu, Raaj." Ryan dipaksa menghentikan ciuman dan cumbuan oleh keadaan setelah bel itu terus berbunyi. Setahunya yang kerap mendatanginya malam-malam begini dan tanpa pemberitahuan hanya Raaj yang berani melakukannya, tapi tidak melakukan menekan bel seperti itu. Seperti orang yang tidak sabar untuk ke kamar mandi lalu membuang air besar.
"Sebaiknya kau membukanya, Yan." Riska pun merasa terganggu dengan suara bel itu. "Mungkin dia ingin menumpang ke kamar mandi," lalu tawanya pecah. Terlalu lucu untuk dibayangkan walau sudah membuat keintiman mereka harus terhenti.
Ryan pun tertawa. "Mungkin saja dia terlalu banyak makan kare," timpalnya sambil bangkit. "Aku keluar dulu, sebelum dia merusak bel itu."
"Kau benar. Kau harus melakukannya cepat." Riska menyetujui. “Aku menunggumu di sini.” Menggigit bibir bawahnya yang menjadi ciri khas dirinya sedang berhasrat menginginkan sebuah ciuman dan cumbuan lagi.
"Baiklah. Aku pastikan dia cepat pergi." Ryan mengecup bibirnya cepat lalu bangkit dan beranjak menuju pintu utama.
Tanpa melihat monitor, Ryan bergegas membuka pintu lalu terkejut melihat pria yang berdiri di balik pintu itu menatapnya kesal.
“Aku meninggalkan rokokku di sini,” kata pria itu melintasi Ryan dan masuk ke dalam.
Kepala Ryan menggeleng dan setengah tertawa sambil menutup pintu. “Kau bisa membelinya di minimarket, Nick,” timpalnya yang merasa Nick memang sudah merencanakan kedatangan kali ini sejak tadi dengan alasan meninggalkan sebungkus rokok.
Riska tertegun, samar-samar ia mendengar suara Nick di luar kamar. Ia pun bergegas bangkit dari ranjang lalu mengenakan kimono menutupi lingerie.
Dan benar saja, ia melihat Nick terduduk di sofa sambil menyulut rokok.
“Bukankah kau menghadiri party, mengapa kau kembali lagi, Nick?” Riska berjalan mendekat dengan kerutan di dahi yang terheran Nick meninggalkan sebuah pesta sebelum fajar menyingsing. Bahkan hari belum memasuki tengah malam. Satu jam menjelang jam dua belas malam. Ia pun berpikir kedatangan Nick kali untuk melihat dirinya lagi … atau memang berniat untuk mengganggunya saat bersama Ryan.
Melihat penampilan Riska, cukup mengejutkan dan membuatnya Nick kesal. Lingerie yang Riska kenakan cukup membuatnya berhasrat untuk membopong dan membawanya masuk ke dalam kamar lalu berakhir dengan cumbuan dan s*x.
Ya, s*x. Bukankah mereka satu kamar? Karena yang ia tahu kamar yang lain tidak ada ranjang dan bisa dipastikan sofa yang ia duduki tidak ada jejak Ryan tidur di atasnya.
Darah Nick mendidih setelah keintiman mereka terlintas di pikirannya. Namun, demi Riska, ia harus bersikap seolah-olah tidak mengetahui perbuatan mereka yang mungkin sudah melewati batas dari yang ia lakukan bersama Riska. Ia pun bersikap santai, terlebih lagi menjawab pertanyaan Riska. “Acaranya membosankan. Tak ada wanita cantik di sana, hanya beberapa wanita lansia yang bisa kulihat." Ia mengembuskan napas kecewa. "Seperti berada di panti jompo,” sambungnya sambil bersandar.
Langkah Riska terhenti dan duduk di single chair tepat di hadapan Nick yang menyalipkan sebatang rokok di bibir lalu menyulutnya. “Lalu kau meninggalkan Juliet mu di sana?”
Nick mengernyit, mengembuskan asap rokok ke arah Riska yang reflek mengibaskan kedua tangannya cepat menghalau asap rokok itu menari-nari di depan wajahnya. “Juliet ku? Siapa?” Dagunya sedikit terangkat dengan tatapan kesal.
“Mario.” Riska menjawabnya sambil tertawa. Menurutnya Nick dan Mario seperti Romeo dan Juliet. Terkadang mereka terlihat ‘mesra’, akur, dan solid. Namun terkadang mereka saling mengusik hingga Mario selalu kalah dan menjadi bulan-bulanan Nick.
Mendengar perbincangan mereka Ryan pun tertawa. Ia mendekati Riska, mengusap-usap kepalanya pelan. “Aku tidur duluan. Besok aku harus bangun pagi sekali,” katanya memberi alasan.
Kepala Riska menengadah dan tersenyum tipis. “Ya, sebentar lagi aku menyusul,” sahutnya dengan suara pelan dan menatap Ryan dengan kilau mata mengartikan banyak hal. Hal yang menarik perhatian Nick melihat mereka yang saling berpandangan seakan sedang memberi kode. Sesuatu yang tidak ia sukai dari mereka.
“Aku tinggal tidur dulu, Nick.” Tangannya terangkat dan meninggalkan mereka sambil berlalu menuju kamar.
“Wah, sepertinya aku melewatkan sesuatu. Kau seranjang dengannya?” Nick menunjuk pintu kamar yang tertutup. Yang ia tahu di dalam kamar itu tidak tersedia twin bed, hanya double bed yang cukup untuk dua orang saja.
Riska bangkit dari sofa. “Ya.” Ia melangkah menuju pintu balkon yang dari balik pintu kaca itu bisa melihat hujan masih mengguyur Jakarta dengan deras malam ini. Nick setengah tertawa dan menggeleng. Ia mengikuti Riska berjalan dan berdiri di sampingnya, ia bisa melihat jelas d**a Riska menyembul dari belahan kimono lingerie. “Kau sudah melakukan dengannya?” Pertanyaan itu terdengar seperti tuduhan dari kecurigaannya melihat sikap mereka yang berbeda drastis. Instingnya jarang meleset, setidaknya mereka sudah saling b******u.
Tidak, tapi hampir. Kalimat itu tertahan di tenggorokan Riska yang merasa keberatan menjawab hal yang menurutnya terlalu private. Ia merasa tidak perlu memberitahu Nick segala tindak tanduk yang ia lakukan bersama Ryan, karena dirinya wanita dewasa, bukan anak kecil yang sewaktu-waktu harus menceritakan sesuatu pada kedua orang tuanya. Dan, ia terpaksa membalas, “Itu bukan urusanmu, Nick. Lagi pula kau bukan kekasih ataupun suamiku, dan aku tidak harus menjawabnya.”
Sudah kuduga kau akan mengatakan itu. Kesekian kalinya Nick setengah tertawa menanggapi perkataan Riska yang mudah ia tebak, termasuk alasan menolak untuk menjawab. “Aku tahu ciuman kita kemarin hanya make out dan kau menikmatinya. Dan aku sadar diri, bukan kekasih ataupun suamimu, tapi satu hal yang perlu kau ketahui.” Telunjuknya mengembang dengan tatapan serius.
“Apa?” Dahi Riska berkerut. Ia tahu jarang-jarang Nick bicara serius, tapi kali ini pria itu terlihat seperti calon presiden yang sedang berkampanye di depan publik. Terlalu serius.
Sebelah tangan Nick menarik pinggang Riska hingga membuat tubuh mereka bersentuhan erat. Ia bisa merasakan lembutnya kedua d**a Riska dan aroma tubuhnya yang khas. " Kau charger ku, Ris. Orang yang menjadi alasanku untuk tetap hidup dan rela melepaskan semuanya hanya demi kau. Tidak pernah seumur hidupku menggilai wanita kecuali kau. Karena aku ....” Menatap lekat kedua bola mata Riska, tapi sayangnya Riska membuang wajah.
“Lepaskan aku, Nick." Riska meronta tapi sulit, dekapan Nick terlalu erat dan membuatnya sesak. " Aku mengantuk dan ingin tidur. Sebaiknya kau pulang.”
"Pulang?"
"Ya."
"Tidak." Dekapan Nick merenggang. Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas dan mengatakan hal yang membuat Riska terkejut. "Aku akan bermalam di sini."
"Apa?!" Riska cukup terkejut dan merasa keberatan dengan niat Nick yang berlebihan dan memiliki maksud terselubung.
Mata Nick berkilat dan bersorak dalam hati, bersukacita untuk mengganggu mereka. Aku tidak akan membiarkan kalian tenang malam ini. Ryan tidak layak untukmu, Ris.
"Bermalam di sini?" Riska memastikan pendengarannya masih berfungsi baik tapi ucapan Nick tidak baik. " Kau mempunyai apartemen mewah tapi bermalam di sini?” Matanya menyipit menelisik alasan dari kedua mata coklat Nick.
Kedua bahu Nick terangkat. "Memangnya salah jika aku bermalam di apartemen yang pernah dimiliki adikku? Atau kau ...."
“Ranjangnya tidak cukup untuk tiga orang. Kau harus tidur di sofa,” sela Riska cepat, tak ingin mencari masalah, matanya terasa berat dan ia malas melayani Nick yang terus berkelit mencari alasan untuk menemaninya malam ini. Tepatnya untuk memata-matai dan mengganggu dirinya bersama Ryan. “Bagaimana, kau mau?” Alis kanannya terangkat menanti jawaban.
Walau ragu-ragu Nick menjawab, "Baiklah, itu tak masalah. Yang penting aku bisa tidur nyenyak malam ini.” Kini tatapannya beralih pada bibir Riska. Bibir yang kembali membuat berhasrat. “Aku ingin menciummu, Ris. Seperti malam itu ....” Ujung ibu jarinya mengusap lembut bibir Riska sambil memiringkan wajahnya dan mendekat.
Hold on, Ris! Kau baru saja balikan dengan Ryan!
"No." Riska membuang wajah sebelum Nick meraih bibirnya. “Lupakan itu, Nick.” Ucapannya menghentikan niat Nick untuk mengulangi ciuman mereka. Ia sudah membuat keputusan mengenai hubungannya bersama Ryan. Keputusan yang mungkin sudah membuat hati Nick hancur, tapi ia harus melakukannya, dan yakin Nick tahu alasannya. “Seperti yang kau tahu. Aku memenuhi taruhanku, kita make out lalu terbawa suasana.” Memberi alasan logis, walau ia akui ciuman Nick membuatnya mencandu seperti wine.
"Make out." Tawa Ryan pecah meski terdengar getir. Segurat kekecewaan juga terlihat di wajahnya yang berusaha untuk tersenyum dan sabar karena ia tahu Riska seperti burung merpati. Ia yakin akan ada masanya Riska mendekat dan kembali pada pelukannya seperti kemarin, karena ia tahu Ryan tidak lebih baik daripada dirinya. Ia merasa tidak kalah dari Ryan, hanya saja belum beruntung. Ya, Dewi Fortuna belum memihaknya saat ini.
Riska melangkah menuju sofa, meninggalkan Nick yang masih terpaku memandangi hujan yang mulai mereda dan udara dingin semakin menyeruak masuk. “Kau mau pakai selimut atau tidak? Aku akan mengambilkannya untukmu.” Menoleh ke arah Nick yang menggeleng.
“Tidak perlu." Nick mencoba tersenyum walau malam ini Riska sudah mematahkan cintanya. "Aku hanya memerlukan charge untuk tubuhku agar aku bisa bertahan hidup.” Setengah bergurau, dan hanya itu yang bisa ia katakan untuk menutupi dirinya yang rapuh.
Riska menggeleng dan berdecak. "Aku serius, Nicky." Dengan terpaksa Riska menyebut nama yang Nick pakai saat perkenalan mereka beberapa tahun yang lalu. "Aku tak mau kau kedinginan lalu sakit. Kalau kau sakit Julietmu kerepotan mengurusmu." Tawanya pecah dan terbayang dengan Mario yang kini mendapat julukan baru. Namun, Nick bergeming sebentar dan terus memandangi hujan.
"Aku sedang sakit," Kalimat itu terlontar setelah beberapa detik Nick terdiam.
Tawa Riska memudar, raut wajahnya menjadi cemas. "Benarkah?" Ia menanggapi serius dan kembali mendekati Nick. "Kau sakit apa? Mungkin aku bisa membantumu. Apa perlu kutelepon dokter? Atau kutemani ke klinik? Apa yang kau rasakan sekarang, Nick?"
"Ini." Ia meraih tangan Riska dan menaruh di d**a. "Hatiku sakit."
"Kau menjengkelkan!" Riska menarik tangannya dari d**a Nick. Ia berbalik dan melangkah menjauhinya untuk menuju kamar. "Sebaiknya kau tidur, Nick. Aku sangat ...." Mulutnya terbuka dan menutup dengan sebelah telapak tangan. "Ngantuk sekali."
"Riska."
Langkah Riska terhenti di depan pintu lalu berbalik melihat wajah Nick yang tak bersemangat.
"Aku butuh pelukan. Aku butuh charge darimu." Nick mengatakannya serius, tapi sayangnya Riska menanggapi dingin.
Telunjuk Riska menunjuk stop kontak di dinding dekat sofa. “Di sana ada stop kontak, kau bisa mencharge dirimu di situ, Nick.” Ia pun membalasnya serius ucapan Nick yang melantur. “Aku tidur dulu. Good night, Nick.” Tangannya menekan knop pintu.
“Good night, Ris.” Nick membalas bersamaan pintu kamar itu tertutup. Ia melangkah menuju sofa, merebahkan tubuh lalu bergumam, “Hmm, esta será una noche larga para mí. (Hmm, ini akan menjadi malam yang panjang untukku).” keluhnya dengan pandangan ke arah pintu kamar yang tertutup, memikirkan Riska seranjang dengan Ryan malam ini.
Riska melangkah pelan mendekati ranjang. Ia mendengar suara napas Ryan yang teratur dan dipastikan sudah tertidur pulas. Hari ini sungguh diluar dugaannya. Dirinya kembali menjalin hubungan bersama pria yang menjadi cinta pertama sekaligus pria yang sudah ia sakiti. Namun, dibalik keputusannya ada hati yang sudah ia sakiti. Pria yang juga selama ini mencintainya tulus.
Dengan sangat pelan-pelan sekali, ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Memandangi punggung kokoh Ryan yang dulu sering ia peluk. Kini tubuh pria itu menjadi miliknya lagi, begitu juga dengan hati yang pernah ia hancurkan. Inilah saatnya untuk memulai hidup baru dengan cinta baru.
Riska mencoba memejamkan mata, tapi yang terjadi matanya sulit terpejam walau kantuknya tidak tertahankan. Ada sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya seiring hujan yang berhenti dan udara semakin dingin. Ia pun bangkit dan melangkah menuju lemari pakaian, mengambil selembar selimut lalu bergegas keluar kamar.
"Aku tidak mau kau kedinginan lalu sakit, Nick." Tangannya membaluti Nick yang meringkuk di atas sofa dengan selimut. "Aku ingin kau tetap sehat dan melihatmu bahagia," katanya setengah berbisik. Entah kenapa hatinya terasa sakit mengatakan itu. Air matanya mengembang tapi ia bergegas untuk kembali ke kamar.
"I love you, Ris."
Kalimat itu sanggup menghentikan langkah Riska beberapa meter dari Nick yang membuka mata setelah merasakan tubuhnya hangat. Ia pun melihat kedua tangan Riska terkepal meski dalam cahaya temaram, tapi Riska tidak berbalik dan menyahut. Riska memilih terus melangkah dan meninggalkannya sendiri yang tak lama air matanya mengalir.
Tubuh Riska kembali terbaring dan memandangi punggung Ryan. Hanya saja kali ini air matanya tiba-tiba mengalir lalu berbisik, "Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa jauh darinya." Buru-buru ia membekap mulutnya sendiri, menahan tangisnya agar tak terdengar Ryan.
Kedua mata Ryan terbuka, ia mengeraskan kedua rahangnya dan batinnya pun berteriak. Aku akan membuatmu melupakan dia, Ris, karena sekarang akulah kekasihmu.