I Trust You Because You Love Me

1655 Kata
Mulut Riska terbuka lebar dan ia menutupinya cepat dengan sebelah tangan yang tak lama sudut matanya basah. Matanya memerah dan ia merasakan kantuk setelah kenyang menyantap pizza dan hanya menyisakan dua irisan saja bersama Ryan.  Bukan hanya karena kenyang saja, jam di dinding sudah menunjukkan jam 10 malam. Bagi Riska hari ini cukup melelahkan. Melakukan perjalanan dari Bogor, terjebak kemacetan lalu menemui orang penerbit untuk menyelesaikan pekerjaan yang menyangkut dengan Aldi, cukup membuatnya lelah dan merindukan berbaring di atas ranjang. Ryan yang sejak tadi memperhatikan Riska di sela menonton tv, tahu wanita itu butuh istirahat. Ia meraih tangan Riska dan menatap kedua matanya yang berair. “Tidurlah. Kau harus istirahat," katanya melihat segurat kelelahan di wajah Riska. “Kau pasti lelah bukan?” Kepala Riska terangguk pelan. Ia tak bisa menahan kantuknya lagi malam ini. “Ya, aku juga mengantuk sekali.” Ia bangkit dan berjalan gontai menuju kamar. Tiba di kamar, ia menjatuhkan tubuhnya pelan di atas ranjang lalu bergumam, “Tempat ternyaman hanyalah ranjang.” Mencoba memejamkan mata tapi terkejut melihat Ryan memasuki kamar dan menatapnya terheran. “Kau tak mengganti bajumu, Ris?” Pertanyaan Ryan menyadarkan dirinya masih mengenakan baju yang sama sejak keberangkatannya dari Bogor. Blus lengan pendek marun dan celana jeans. Langkah Ryan terhenti di dekat bibir ranjang. “Pakaianmu masih ada di lemari. Aku sengaja tidak memindahkannya karena aku tahu, sewaktu-waktu kau akan bermalam di sini,” katanya melihat Riska berbaring terlentang di atas ranjang. “Kau benar. Aku harus mengganti baju.” Mau tak mau ia bangkit, menuruti ucapan Ryan yang memang merasa tak nyaman tidur mengenakan celana jeans. “Aku keluar dulu.” Ryan beranjak keluar kamar memberi ruang untuk Riska mengganti pakaian. Bukan ia tidak pernah melihat Riska dalam keadaan setengah telanjang, ia hanya menghargai Riska yang kini bukan kekasih lagi, walaupun ia akui tubuh Riska lebih berisi dan seksi dibandingkan masa gadisnya. Tentu saja menggugah hasratnya sebagai pria normal untuk bisa menyentuh dan mencumbunya lagi seperti dulu, tapi mustahil jika belum bisa mendapatkan dan menjadikannya kekasih lagi. Terutama merebutnya dari Nick. Satu-satunya saingan nyatanya sekarang. Saat pintu lemari itu terbuka, Riska melihat beberapa helai bajunya yang memang sengaja ia tinggalkan sebagai baju salin ketika kedatangannya ke Jakarta seperti saat ini. Namun, baju itu tersimpan rapi. Ryan menyimpannya dengan baik. Sehelai baju tidur model terusan atau lingerie berwarna merah lengkap dengan kimononya menjadi pilihan Riska malam ini. Ia melempar dan menaruhnya di atas ranjang lalu membuka blusnya pelan. “Riska, sikat gigimu--” Kepala Ryan menyembul dari balik pintu dan terkejut tak menyangka Riska belum mengganti pakaiannya. Di tubuh seksi itu masih melekat celana jeans dan bra berwarna merah. “Maaf kupikir kau sudah menggantinya.” Tangannya menutup pintu lagi dan wajahnya merah padam teringat dengan tubuh seksi Riska yang berhasil membuat desir darahnya mengalir cepat dan membuat miliknya menegang keras. Pintu kamar terbuka dan Riska menyembulkan kepalanya. “Kau tak perlu segan, Yan. Bukankah dulu kau sudah pernah melihatnya?” katanya sedikit bergurau, tapi yang Riska katakan memang benar adanya, Ryan pernah memiliki tubuhnya walau hanya sekadar b******u. Bahkan Ryan saat itu kerap membuat tanda merah di atas dadanya, tapi itu dulu sekali.  Untuk menutupi wajahnya yang merah padam dan hasrat liarnya bergejolak, Ryan masih memunggungi Riska. “Sikat gigimu sudah kusiapkan di kamar mandi. Aku hanya ingin mengatakan itu,” katanya dan memilih melangkah  menuju sofa daripada memperlihatkan wajahnya yang merah seperti udang rebus. Apa yang di pikiran Ryan, Riska sudah bisa menebaknya. Menurutnya sikap Ryan seakan tidak pernah melihat dirinya dalam keadaan setengah telanjang. Pria itu seakan menjadi pria naif, tidak seperti Ryan yang pernah ia kenal dulu, yang selalu berhasrat untuk mencium dan mencumbunya. Mungkin saat itu mereka masih terlalu muda dan berpikir pendek. Namun, bukankah dewasa selangkah lebih jauh seperti yang terjadi pada kehidupan sepasang kekasih pada umumnya walau sebagian dari mereka pandai menutupi aib dan bersikap naif? Bagi Riska mengumbar hubungan kedekatannya bersama seseorang bukan masalah, asalkan hubungan penuh kepastian. Seperti yang diinginkan para wanita umumnya. Riska melangkah keluar kamar hanya mengenakan lingerie berbahan satin itu tanpa menutupinya dengan kimono. Ryan melirik Riska melintasi dirinya yang sedang menonton tv untuk menuju dapur, memaksanya menelan ludah setelah melihat penampilan Riska yang lagi-lagi membuatnya berhasrat. Shit! Jika penampilanmu seperti itu aku tidak menjamin aku bisa menahan diriku malam ini, Ris! Pandangannya kembali ternodai saat Riska kembali melintas seperti wanita yang membawa papan angka di pertandingan tinju. Terlalu menggoda dan sayang untuk dibiarkan begitu saja. Setidaknya itulah yang terlintas dalam pikiran liarnya sebagai pria normal. Takkan ada pria normal manapun mengabaikan wanita yang pernah menjadi miliknya melintas di depan mengenakan pakaian seksi di dinginnya malam ini. Cumbuan atau s*x pasti terlintas di benak mereka, sama seperti yang ada di pikiran Ryan saat ini. Setelah pintu kamar itu tertutup dan Riska sudah masuk ke dalamnya, Ryan bangkit menyusulnya ke kamar. Sebaik mungkin ia bersikap santai dan seolah tidak sedang b*******h. Namun, melihat tubuh Riska yang terbaring menyamping dan lingerie yang berupa model baju terusan itu tersibak hingga memperlihatkan pahanya yang putih mulus, lagi-lagi jantung dan desir darahnya melaju cepat. “Ada apa?” Riska menoleh ke arah Ryan yang reflex tersenyum kecut. Pertanyaan Riska membuatnya terkesiap dan gelagapan seperti maling yang tertangkap basah. “Ti--tidak ada. Aku hanya ingin mengambil bantal saja,” katanya tergagap dan melangkah menuju bagian sebelah kasur yang Riska tiduri. Dahi Riska berkerut dan menoleh ke samping bagian tempat tidurnya berukuran besar dan bisa ditempati dua orang.  “Tidurlah. Aku tidur di sofa,” kata Ryan lagi, tangannya meraih mengambil bantal dan berusaha santai walau tubuhnya panas dingin seakan ingin menerkam Riska dan mencumbunya antusias.  Tak setuju, Riska terduduk dan menarik bantal dari genggaman Ryan. Ia menaruhnya lagi di atas kasur. “Tidurlah denganku,” katanya lugas. What?! Antara sadar dan tidak mendengar kalimat Riska, secara reflek ia menelan ludah dan terkejut. “Ini bukan pertama kalinya kita tidur bersama ya 'kan, Yan.” Sekali lagi Riska mengingatkannya tentang kenangan mereka. “Lagipula kau pasti lelah seharian bekerja dan harus tidur di sofa yang sempit hanya membuat tubuhmu pegal.” Tangannya menepuk bagian samping kasurnya. “Tidurlah di sampingku. Aku percaya padamu.” Pelan-pelan senyum Ryan mengembang, mendengara Riska mempercayainya sudah cukup membuatnya bahagia. “Sebentar, aku matikan lampu luar dulu.” Tiba di luar ia bersorak tapi suaranya tertahan, ia tidak ingin Riska mengetahui betapa bahagianya perasaannya sekarang, ia merasa Riska sudah membuka hatinya seperti dulu. Ia pun bergegas mematikan lampu, tv dan memastikan pintu balkon tertutup rapat lalu kembali ke kamar. Saat Ryan tiba di kamar, suasana seakan menjadi seperti saat pertama kali mereka tidur bersama, kejadian yang pernah terjadi di Sukabumi beberapa tahun yang lalu. Udara dingin, ruangan remang-remang dan sosok pria bertubuh tinggi tegap itu berjalan ke arahnya. Kasur yang Riska tiduri mencekung saat Ryan merebahkan tubuhnya di samping. Mereka terbaring menyamping dan saling berpandangan. “Kau tidak takut tidur denganku?”  “Tidak, karena aku mempercayaimu.”  “Bagaimana jika aku kehilangan kendali lalu menyentuhmu? Apakah kau masih mempercayaiku?” tanya Ryan lagi. Ia merasa malam ini tidak bisa menahannya lagi seperti dulu. "Tentu." Kepala Riska terangguk. “Kita sudah sama-sama dewasa, Yan. Bukan anak sekolah lagi. Lagi pula ... kau single dan aku pun single.” Setelah mengatakan itu Ryan menggeser tubuhnya untuk lebih mendekat ke arahnya. Ryan bangkit. Ia mengapit Riska yang terbaring di bawah, meraih kedua lengannya, menjulurkan ke atas kepala Riska lalu mencengkram kedua pergelangan tangannya. “Jika seperti ini apakah kau masih juga percaya padaku?” Tatapannya serius dan yakin Riska berubah pikiran. Namun, yang terjadi Riska tertawa dan sekali lagi mengangguk. "Ya. Aku mempercayaimu." Kepalanya juga terangguk, menatap lekat kedua bola mata Ryan yang berkilat terkena sinar pantulan dari gedung lain. "Karena kau Ryan. Pria yang masih mencintaiku.” Cengkraman Ryan merenggang, tak menyangka Riska seakan sudah memberi kesempatan dan membuka hati untuk ia labuhkan lagi. Bukankah ini pertanda baik? Tentu. Dan, ia tidak menyia-nyiakan waktu berharga sekarang yang mungkin tidak terulang lagi. “Aku mencintaimu, Ris. Sangat mencintaimu ....” Sekali lagi kalimat itu terlontar dari mulutnya dengan penuh ketulusan dan ia yakin Riska mempercayainya. Bukan sekadar rayuan, hasrat tapi karena cinta. Hati Riska bergetar, untuk kedua kalinya kalimat itu terlontar dari mulut Ryan yang kembali membawanya pada segala kenangan yang pernah terajut. Masa saat pernah saling mencintai dan berjuang untuk mempertahankan hubungan mereka dari berbagai macam cobaan. Pria yang selalu ia nantikan di perempatan jalan menuju ke sekolah selama 2 tahun. Pria yang selalu menjaga kehormatan dan mencintai dengan tulus walau ia sudah menghancurkan hatinya berkeping-keping. Dan, pria yang masih berada di relung hatinya … walau tersembunyi. Tangan Riska membelai lembut wajah Ryan yang dulu sering ia kecup dan menghiasi pikirannya siang malam, tapi itu dulu. Sebelum terlena dengan jeratan cinta Aldi.  “Walaupun aku seorang janda dan sudah tidak perawan lagi?” Memastikan perasaan Ryan, menyadari statusnya bukan gadis lagi seperti saat pertama kali Ryan mengenal dan mencintainya. “Ya.” Ryan mengangguk lugas. Mendekatkan wajahnya hingga Riska bisa merasakan hangat embusan setiap napasnya. Ujung ibu jarinya mengusap bibir bawah Riska yang terbuka setengah. “Aku tidak peduli dengan status dan keadaanmu, Ris. Aku hanya ingin menghabiskan waktu dan umurku bersamamu seperti niatku dulu. Aku--” Kali ini ia terpaksa mengatakannya. “Ingin menikahimu.” Di detik kemudian Riska merasakan bibirnya hangat. Aroma rokok dan manisnya bibir Ryan kembali ia rasakan untuk kedua kalinya hari ini. Bibir pria pertama yang ia kulum saat di Sukabumi dan bibir yang pernah ia rindukan.  Entah karena udara yang semakin dingin atau suasana membawanya pada kejadian di masa lalu, tanpa sadar Riska membalas setiap kuluman Ryan. Napasnya menjadi cepat, secepat darahnya yang berdesir. Tubuhnya menjadi hangat dan sesak menopang berat tubuh Ryan yang menindihnya. Kedua dadanya bersentuhan dengan d**a bidang itu, bahkan merasakan hangat milik Ryan menegang keras di atas pahanya. Ciuman kali ini Ryan lampiaskan seperti dulu setelah Riska memberinya respon. Dugaannya tepat, Riska menyambut cintanya lagi. Seketika ia menginginkan lebih dari sekadar ciuman.  Dan itu adalah … s*x.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN