Menyelamatkan Diri

1094 Kata
Masuk ke kamar dan memutar kunci pintunya cepat, Rinelda bersandar di daun pintu dengan tegang. Walau cuma beberapa menit bersama mereka, nyaris membuat Rinelda kehabisan napas. Entah aktingnya bagus atau tidak tadi, yang jelas sekarang dia selamat untuk sementara. Benar, hanya sementara. Oleh karena itu Rinelda sontak bergegas mengobrak-abrik isi lemari kayunya. Membuat tali dadakan dari kain seprei, dia mengikat setiap ujung kain sekuat mungkin, dan kemudian berpindah ke sisi jendela. Membukanya dengan sangat hati-hati. Berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun yang akan mereka dengar. Ketika jendela berhasil terbuka, Rinelda melongokkan kepala. Dilihat dari atas, ketinggian kamarnya dengan tanah kira-kira tiga meteran. Masa bodoh akan sampai ke tanah atau tidak, Rinelda tetap melempar ke luar kain talinya. Lalu dia mulai melangkahi kusen jendela. Sambil berpegangan erat pada kain tali, gadis itu turun perlahan-lahan. Hingga sampai diujung kain, dia berhenti sejenak. Menunduk ke bawah, Rinelda sadar panjang kain ini tidak sampai membawanya ke tanah. Perkiraan dirinya berada di jarak satu setengah meter. Tidak ada jalan kembali baginya selain harus melompat. Setelah memantapkan hati, pegangan pada kain tali dia lepas dan membiarkan gravitasi menariknya kuat. Membuat tubuh kurus itu merosot cepat hingga suara debaman ringan menandakan dia telah mendarat, walau dengan pendaratan yang lumayan membuat b****g sedikit sakit. Rinelda meringis seraya terbangun tertatih-tatih. Di saat yang sama, samar-samar mereka mendengar suara gaduh yang dari luar belakang rumah. Kontan saja mereka melesat ke lantai atas, sedangkan dua pria lainnya berpencar ke pekarangan belakang rumah. "Rinelda!" teriak bibi saat tahu pintunya dikunci. Pria buncit di sampingnya segera bertindak dengan memanfaatkan berat tubuhnya untuk mendobrak pintu. Kondisi kamar gadis itu sudah acak-acakan dengan isi lemari terburai. Mereka langsung menghambur ke satu-satunya jendela di tengah ruang kamar yang terlihat terbuka lebar. Dan pandangan mereka segera menemukan Rinelda sedang berlari, sementara jauh di belakangnya dua pria bawahan mengejar. Mereka berlari masuk ke hutan. "Kurang ajar sekali anak itu!" geram bibi sampai ke ubun-ubun. Bahkan urat-urat di wajahnya terlihat menampakan diri. *** Rinelda terus berlari. Memacu kedua kakinya menjejak setiap permukaan tanah berlumpur, bebatuan kecil hingga menerobos begitu saja semak belukar berduri. Rinelda tidak memedulikan medan tak mulus di depan, karena lolos dari kejaran mereka jauh lebih utama daripada memikirkan piyamanya yang telah kotor diujung pakaian. Sekali-kali dia menengok ke balik bahunya untuk memastikan apakah mereka masih mengejarnya atau kehilangan jejaknya. Di ujung belakang sana, dua sosok manusia tidak terlihat lagi oleh pandangan terbatas Rinelda yang tak dapat melihat di tengah kegelapan hutan seperti ini. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk berhenti sejenak. Dia berpegangan pada salah satu pohon. Menumpukan pundaknya ke batang pohon dengan napas tersengal-sengal. Saat itu, secercah cahaya pucat muncul dari atas menyirami permukaan hutan dari celah-celah dedaunan ketika awan berarak memisahkan diri. Rinelda mendongak. Memandang sayu rembulan di langit malam itu yang kelihatan memesona. Rinelda menghela napas berat dan panjang. Dia lelah sekali. Akan tetapi, keinginan untuk istirahat dengan damai, harus tertahan lagi ketika mendengar suara sekelompok pria itu dari kejauhan. Rinelda menengok ke samping kiri asal suara itu. Seketika matanya memelotot. Mereka menemukan dirinya di sini! Lantas dengan memaksakan tungkai yang sudah lecet, gadis itu memacu lari dengan sekuat sisa tenaganya. Tidak ada yang memberi tahu kalau akan ada batu besar menghadang seribu langkahnya. Sehingga dia langsung tersungkur ke depan saat menyandung batu tersebut. Masih dengan posisi tengkurap, Rinelda menoleh ke belakang dengan anak rambut yang menghalau pandangan. Bayangan dua pria itu tampak gigih sekali untuk mendapatkannya. Tidak ada waktu lagi! Rinelda lantas bangkit. Menarik kakinya dengan terseok-seok. Langkahnya terus berpacu dengan kecepatan lari dua pria itu yang kian memangkas jarak. Namun, beberapa meter berjalan, secara tiba-tiba Rinelda berhenti. Tatapannya terkejut ke depan, mulutnya terbuka. Dia terpengarah melihat sebuah eksistensi di depan mata. Tampak di sana, di balik semak-semak ini, seseorang tampak berjongkok memunggungi di bawah pohon. Kaki Rinelda seakan terpaku. Otaknya berteriak lari, tetapi tubuhnya tidak dapat bergerak seinci pun. Kedua bahu pria itu tertutupi jubah hitam yang menjuntai di bawah kakinya. Berada tepat di bawah sinar rembulan. Membuat pemandangan di sana perlahan jadi tampak nyata: Rinelda melihat genangan darah di sekitar kaki pria berambut pirang itu, gesturnya seakan sedang memakan sesuatu begitu rakus. Hingga perawakan bidang itu berdiri, detik bagaikan melambat ketika dia berbalik badan. Spontan Rinelda menahan napas. Jantungnya berdebar sangat keras setelah mengetahui apa yang sedang dilakukan pria aneh itu. Terdapat bercak darah di area bibirnya. Mulut pria itu yang sedikit terbuka, membuat Rinelda bisa melihat kilau sepasang taring di sana. Sedangkan di bawah kakinya tergeletak seekor serigala tak bernyawa. Satu kesimpulan pun membentuk dugaan bahwa, pria itu memakan serigala hidup-hidup! Astaga! Apakah dia salah lihat? Atau karena gelapnya keadaan sekitar? Sama halnya dengan Rinelda, pria itu tercengang menatapnya. Iris merahnya membeliak terkejut. Tidak lama, dua pria datang dari arah gadis di hadapannya. Sesaat mereka bersitegang. Gadis itu mundur ketakutan, tetapi juga mewaspadai dirinya yang mematung di belakang. "Jangan mendekat!" teriak gadis itu gemetar pada dua pria. Cahaya bulan mulai menyingsing. Tempat pria berambut pirang itu berdiri kembali gelap. Membuat kedua pria di sana tidak sempat melihat apa yang dilihat Rinelda. "Ikut saja dengan kami, kau takkan terluka," kata salah satunya. Rinelda menggeleng. Namun mereka berpindah ke sisinya, dan mencengkram tangannya dengan kuat. Rinelda meronta-ronta minta dilepaskan. "Apa yang kalian lakukan padanya!" Suara dalam milik seseorang berhasil menghentikan kegiatan dua pria itu yang hendak membekap Rinelda dengan sapu tangan bercampur tetes obat bius. Tubuh mereka membeku selayaknya balok es di selatan. Tiupan angin dingin bertambah kencang, bergerak gelisah di sekitar kulit mereka yang seketika mati rasa. Mereka tak merasakan dinginnya angin malam musim gugur lagi ketika kehadiran lain mendekat bagai binatang buas. Yang mereka merasakan hanya aura membunuh terasa di sekitar kegelapan hutan. Dalam secepat embusan angin, cekalan di tangannya tidak lagi terasa, disusul teriakan menyakitkan memekakan telinga. Rinelda panik. Memindai pandangan ke sekeliling, dapat ditemukannya pria asing itu membenamkan wajahnya ke ceruk leher salah satu pengejar. Menggigit dengan kedua taring tajamnya. Rinelda mundur selangkah. Lalu pria pirang itu hilang tiba-tiba dari pandangan. Meninggalkan seonggok tubuh yang jatuh tak bergerak lagi. Tidak lama suara teriakan membelah udara dingin. Rinelda mengarahkan pandangan ke asal suara. Tidak jauh darinya terdiam, pria aneh itu sudah melakukan hal serupa seperti tadi. Kini bibir pria pirang itu dibanjiri darah, yang meleleh di dagu, lalu menetes ke pakaiannya. Rinelda tidak mampu melihat semua itu. Akhirnya dia jatuh pingsan ke tanah yang lembab. Samar-samar bayangan pria aneh itu berjongkok di dekatnya. Secara ajaib, dia tidak melihat bekas darah di pakaian hingga dagu mulus itu. Sayang, ketika Rinelda berusaha menaikkan pandangan untuk mengetahui rupanya dengan lebih jelas, kedua kelopak matanya bagai digantungi sebongkah batu. Rinelda tidak ingat apa pun lagi setelahnya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN