Dijual

979 Kata
*** "Kau bisa ke rumahku malam ini," kata seorang wanita baya bernada pelan. Berbicara dengan seseorang lain melalui telepon kabel rumah. Sesekali dia menengok ke balik bahunya waspada seakan percakapannya bersifat rahasia.  Rinelda sedang sibuk di dapur. Menata camilan cookies di piring saji sampai bocah perempuan itu muncul dan menawarkan bantuan. Rinelda menolaknya dengan halus. "Lebih baik kau duduk saja. Nanti akan kuantarkan camilan ini padamu." "Tidak mau. Aku mau membantumu," kekeh bocah itu. Lalu merangkak naik ke kursi bar yang tinggi sehingga dia bisa melihat keseluruhan permukaan meja. Terdapat satu teko yang sudah diisi teh hijau panas. Asapnya masih terlihat mengepul ringan dari lubang. Satu set cangkir pun tersedia dengan posisi tengkurap. "Apakah kita akan minum teh dan makan cookies?" tanya bocah itu riang.  Rinelda menghela napas. "Ya, semua itu untukmu dan bibi," jawab Rinelda sambil mencuci piring bekas makan malam mereka. Oh tentu saja Rinelda tidak termasuk.  Tuan rumah yang sekarang, bibinya, tidak mengizinkan Rinelda untuk makan bersama. Gadis itu akan selalu makan di bagian akhir. Pun jika mereka menyisakan makanan untuknya. Rinelda sudah hapal tabiat asli bibinya. Jika dulu sewaktu paman masih hidup, bibi selalu memperhatikan pola makannya, akan sering menanyakan apakah dirinya sudah makan atau belum. Namun, meninggalnya paman ternyata menunjukan wajah asli wanita baya itu.  Berbeda dengan sekarang. Rinelda menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan suasana buruk hati wanita baya itu. Salah satu dampaknya adalah Rinelda harus menahan lapar sepanjang malam. Karena malam ini, piring-piring langsung kosong dan tak tersisa satu pun yang dapat Rinelda makan.  Bocah perempuan itu menuangkan teh ke cangkirnya sendiri dengan perlahan. Lalu mencoba meminumnya dengan hati-hati. Hingga cairan panas teh segera melelehkan lidahnya dan dia sontak memekik kaget, bersamaan dengan suara nyaring gelas pecah ke lantai. Berikut suara tangis anak itu yang terdengar keras. Suaranya sampai ke telinga bibi di sebelah ruangan. Membuatnya khawatir lalu terpaksa mengakhiri pembicaraan dengan menutup telepon. Dia terburu-buru menuju asal suara.  Sementara Rinelda tersentak. Ketika menoleh, matanya memelotot kaget melihat pecahan gelas sudah berserakan di bawah. "Apa kau baik-baik saja?" ujar Rinelda khawatir pada anak itu. Spontan dia tergesa-gesa mengambil segelas air mineral, kemudian disodorkan pada anak itu untuk diminum. "Minumlah agar lidahmu tidak terbakar," katanya. Anak itu langsung meneguk air putih.  "Apa yang kau lakukan, Rinelda!" Suara yang sama kembali menusuk telinga Rinelda. Napas bibi tertahan dalam-dalam di d**a ketika menemukan pecahan gelas di lantai. Merah padam wajah wanita baya itu. Lalu dengan kemarahan bibi yang meluap, bak gunung meletus, Rinelda meringkuk dipojok lantai dapur sambil melindungi kepalanya dari sapu. Kalimat permohonan maaf terus dilafalkan dalam ketakutan. "Aku minta maaf bibi. Aku minta maaf..." lirihnya.  Terapi, wanita baya itu tidak berhenti memukulinya dengan sapu. Setiap kali Rinelda melakukan kesalahan, hukuman dari bibi selalu diterima oleh tubuh kurusnya. Seperti sekarang. Rinelda harus menerima pukulan gagang sapu yang tidak lembut. Menghantam bertubi-tubi ke tubuhnya. Menambah memar yang baru lagi. Karena gelas kesayangan bibi pecah berkeping-keping.  "Dasar anak tidak berguna!" jengah bibi berhenti. "Bereskan semua kekacauanmu ini!" Kemudian dia melempar sapu dan berbalik pergi dari dapur.  Dengan tabah Rinelda memunguti pecahan piring porselen kesayangan bibinya di lantai. Sesaat tangannya gemetar ketika mengambil satu keping pecahan itu. Tangan yang sudah tidak semulus dulu kini telah dihiasi ruam memar, membuatnya tampak kontraa dengan kulit putihnya.  Seperti pengalaman sebelumnya, pembelaan apa pun yang dikatakannya, tidak akan pernah diterima oleh sang bibi. Rinelda tahu itu, meskipun begitu dia keras kepala untuk tidak tinggal diam dalam menyuarakan fakta. Hidup sengsara ini dimulai setelah paman meninggal dunia. Sementara dia tidak memiliki orang tua maupun sanak saudara untuk bernaung. Rinelda sempat ingin sekali kembali ke panti asuhan tempatnya diambil paman asing. Akan tetapi melihat bibi yang kian menua dan adik sepupu yang kesepian di rumah selama bibi pergi bekerja, mengurungkan niat Rinelda yang hendak angkat kaki.  *** Dua mobil terparkir di depan rumahnya malam-malam begini, serta lampu ruang tamu yang menyala tampak dari luar, membuat langkah lesu Rinelda berhenti sejenak di depan rumah. Tangan kanannya menenteng kresek kecil berisi obat-obatan yang baru saja dibeli dari apotek untuk mengobati memarnya.  Percakapan mereka berhenti ketika melihat Rinelda masuk ke rumah. Perasaan Rinelda sudah tidak enak saat bibi menyambutnya dengan ramah di hadapan tiga pria asing. "Ini adalah puteri sulung di keluarga kami. Namanya Rinelda." Begitulah yang dikatakan bibi mengenalkannta pada mereka dengan senyuman yang terlihat ganjil di mata Rinelda.  "Kami sudah dengar riwayatmu. Kau telah tumbuh besar. Juga cantik seperti ibumu, ya," ucap pria berkumis. Di antara tiga pria itu, hanya dia yang memiliki perut buncit dengan gaya pakaian bak seorang juragan. Jam tangan dan sepatu bermerk dapat dikenali Rinelda dalam sekali lihat: nama brand terkenal terukir di kedua barang itu.  "Apa kau ingin ikut bersama paman dan bertemu dengan saudara-saudaramu di rumah tempat ibumu dibesarkan?" kata pria buncit itu lagi. Tawarannya terdengar menggoda hati Rinelda. Membayangkan dapat bertemu dengan keluarga orang tuanya, hidup seperti anak-anak lain yang merasakan kebahagiaan sebuah keluarga, itu hanya imajinasi yang tidak akan pernah terwujud dalam hidup Rinelda sampai kapan pun. Karena Rinelda tahu bagaimana orang tuanya meninggal hingga dia dititipkan ke panti asuhan.  Reflek Rinelda menarik langkah mundur. Dia menyadari sesuatu tentang mereka bertiga. Akhirnya hari ini tiba juga. Padahal dia sudah memikirkannya dengan lama, tapi dia masih belum mempersiapkan apa pun. "Benarkah? Baiklah! Aku akan pergi denganmu paman!" Fake smile diukir bibir Rinelda. Sementara ekspresinya secerah mentari yang tengah bahagia. Kemudian dia berpaling pada bibi dengan wajah ceria. "Bibi, apa aku boleh pergi dengan paman?" tanyanya polos.  Bibi tersenyum lebar. "Tentu saja. Bibi akan bahagia akhirnya kau bertemu dengan keluargamu," kata bibi. Jelas sekali berbohong menurut Rinelda. Mereka sama-sama memasang wajah palsu untuk kepentingan pribadi.  "Kalau begitu aku harus mengemasi pakaianku dulu," pamit Rinelda. Berlalu dari ruang tamu menuju kamar di belakang, sembari mengulas senyum miring yang amat samar di bibir ranumnya. Dikiranya anak pungut ini masih seorang anak-anak yang polos, penurut dan bodoh. Bibi itu bodoh sekali. Dia tidak menyadari rencana yang ada di otak Rinelda saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN