06

1060 Kata
"Tinggalkan perempuan itu atau ceraikan anak saya." Bukan hanya Rafa, Aya dan Reya terkejut mendengar ucapan Nevan barusan. "Tinggalkan perempuan itu atau, ceraikan anak saya. Pilih kamu mau yang mana." "Mas," tegur Reya. Pipi Aya sudah basah oleh air mata nya, Aya tidak bisa berkata apa-apa, mungkin saat ini ia hanya bisa pasrah. "Saya masih sanggup ngurus anak sama cucu saya, dan dengan senang hati saya bisa cari pengganti untuk anak saya, yang pastinya lebih baik dari kamu." Air mata Aya mengalir semakin deras, Aya menangis dengan kepala yang menunduk dan tanpa mengeluarkan suara.  "Tuli? Saya bilang kamu mau pilih yang mana, jawab sekarang sebelum saya yang ambil keputusan." Tidak ingin mendengar jawaban Rafa, Aya bangkit berdiri namun belum sempat melangkahkan kaki, tubuhnya ambruk dan untungnya dapat ditangkap oleh Nevan. "Mami," "Ssttt, Mami gak papa, Mami cuma bobok." Ucap Reya sambil mengelus dan mencium kepala Al. Al menyembunyikan wajahnya di leher Reya dengan mata yang berair. Di luar rungan, ada Nevan yang masih lanjut berbicara dengan Rafa. "Saya bukan orang yang baik, kalo menurut kamu saya orangnya bisa dikurang ajarin itu dulu, sekarang jangan coba-coba kamu main-main sama saya. Kasar memang kalo saya bilang saya benci kamu, tapi itu kenyataannya yang sekarang." Kemudian Nevan pergi meninggalkan Rafa untuk masuk ke dalam ruangan di mana Aya berada, saat jatuh pingsan tadi Aya langsung di bawa pergi ke rumah sakit. Tak lama Nevan masuk, Rafa ikut masuk. "Papi," Al merentangkan kedua tangan saat melihat ayahnya. Rafa membawa Al ke gendongannya memeluk erat anak itu. "Mami," Al menujuk Aya dengan nada bergetar. Al takut jika ibunya kenapa-kenapa. "Gak papa." Bisik Rafa. Reya menggeser tubuhnya untuk mendekati Aya ketika melihat kedua mata Aya terbuka, Nevan pun ikut mendekat, hanya Rafa saja yang tidak. Reya tersenyum seraya menggenggam tangan Aya ketika Aya menatapnya. "Kata dokter Aya hamil," Tentu reaksi yang pertama kali timbul pada wajah Aya adalah terkejut.  "Udah dua Minggu," lanjut Reya. Aya sempat tidak merasakan tanda-tanda apapun untuk kehamilannya yang kali ini, wajar jika dirinya terkejut bukan main. Aya menatap Rafa.  Rafa yang tadinya sedang menatap Aya mengalihkan wajahnya saat Aya menatapnya. Tangis Aya pecah membuat mereka terkejut. Aya menangis dengan menyembunyikan wajahnya di leher Reya.  Aya menangis setelah mengingat perbedaan kabar kehamilannya yang pertama dan kedua. Untuk kabar kehamilannya yang pertama disambut dengan penuh kebahagiaan tapi untuk yang kedua, kesedihan. Bukan artinya Aya tidak senang, hanya saja kabar tersebut hadir di saat yang tidak tepat menurutnya, di mana tadinya Aya berharap Rafa mau memeluknya namun pada kenyataannya laki-laki itu hanya diam. Aya memutuskan untuk kembali ke rumah walaupun ditentang oleh Nevan, Nevan melarang keras Aya untuk pulang karena permasalahan rumah tangga Aya dan Rafa masih menggantung. Tengah malam, Aya terbangun dari tidurnya. Saat berbalik Aya tidak melihat kehadiran Rafa di sampingnya, hanya ada Al yang tengah terlelap. Aya beralih duduk sembari melamun, namun tak lama lamunan Aya buyar saat mendengar suara dari kamar mandi. Penasaran, Aya beranjak dari tempat tidur berjalan menuju kamar mandi. "Aku gak bisa jemput kamu di bandara besok, aku harus ke sekolah Al karena ada rapat orang tua." Tubuh Aya terasa lemas, tanpa penjelasan Aya tahu dengan siapa Rafa berbicara. Aya terus menatap pintu kamar mandi yang tertutup. "Aku gak bohong, apa perlu aku kirim bukti waktu aku udah di sekolah Al nanti? Atau besok biar supir aja yang jemput kamu, ya." Dan setelah itu Aya tidak mendengar suara Rafa lagi karena tak lama suara Rafa menghilang pintu kamar mandi terbuka. Rafa tampak terkejut ketika melihat Aya. Aya tidak mengucapkan apapun melainkan langsung masuk ke kamar dan dan mengunci rapat pintu tersebut. Aya duduk di pinggiran bathtub sembari menangis memegangi perutnya. Rafa berubah, Rafa benar-benar sudah berubah, dan itu terasa sangat menyakitkan bagi Aya. Lebih menyakitkan dari semua masalah yang pernah ia hadapi sebelumnya. Ketika membuka mata, pemandangan yang pertama kali Aya lihat adalah Rafa sedang memakaikan Al sepatu. Al duduk di sofa sementara Rafa berjongkok di depan Al. "Katanya Papi pelgi jauh, tapi kemalen udah pulang." "Jadi mau Papi pergi nya lama?" Rafa menatap sejenak Al. Al menggeleng, "enggak. Tapi kalo Papi benelan pelgi nya lama Al mau punya Papi balu aja." "Ya udah."  Al malah tertawa karena menurutnya jawaban Rafa lucu, tapi tidak dengan Aya. "Hueeek!" Rafa langsung menoleh menatap Aya yang tengah berjalan dengan cepat menuju kamar mandi sambil menutupi mulutnya. Al turun dari sofa padahal sepatu yang dipakai masih sebelah. "Mami kenapa? Mami sakit?" Al memeluk kaki Aya dengan raut wajah khawatir. Rafa datang ke kamar mandi, saat ingin mendekati Aya dirinya langsung di dorong untuk menjauh. "Al ambil minum Mami nak di meja," kata Aya dengan lirih seraya menahan mual yang sedang ia rasakan. Al langsung berlari mengambil air putih yang memang selalu disediakan di meja yang ada di kamar. Al kembali sambil memegang erat gelas air putih agar tidak tumpah ataupun jatuh dari genggam nya. Aya duduk di closet mengambil air minum dari tangan Al dan menenggak air putih tersebut untuk meredakan rasa mual nya. Rafa hanya diam memperhatikan. "Mami sakit lagi ya?" Al memeluk pinggang Aya. Aya menyandarkan kepalanya di dinding dengan mata yang sayu, kepalanya terasa pusing juga badannya terasa sangat lemas. Aya menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Al. "Al sekolah ya, Mami gak papa." Kata Aya sambil mengusap kepala Al. Al menggeleng, "mau jaga Mami." "Mami gak papa, Al sekolah aja ya." "Jangan sakit-sakit, huaaaah!" Al menangis kencang dengan wajah yang ia sembunyikan di perut Aya. Aya tertawa kecil seraya menangis, di dalam pikirannya betapa kasihan nya mereka saat ini. "Al harus sekolah, jadi anak yang baik biar bisa terus-terusan jaga Mami, biar bisa jagain Mami dari orang jahat, oke?" Aya tersenyum dengan tangan yang membelai pipi Al. Al mengangguk dengan mata dan hidung yang merah. "Udah jangan nangis, Al pergi sekolah ya." Aya menghapus air mata Al. Al menggenggam tangan Aya membantu ibunya untuk keluar dari kamar mandi. Dengan keadaan tubuh yang masih lemas, Aya berjalan keluar dari kamar mandi tanpa sedikitpun melirik apalagi menatap Rafa yang sedari tadi Aya anggap sebagai patung. Aya duduk bersandar di tempat tidur membantu Al memakai tas setelah anak itu selesai memakai sepatu nya. Al mencium punggung tangan Aya sebagai ucapan pamit sebelum pergi. "Aku pergi." Pamit Rafa tanpa menatap wajah Aya. Aya diam seolah menganggap ucapan Rafa tadi hanyalah angin lalu. Rafa dan Al sudah pergi keluar dari kamar. Aya menyentuh seraya mengelus perutnya. "Kamu dateng di waktu yang kurang tepat, nak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN