Lena berdiri di depan meja administrasi rumah sakit dengan telapak tangan dingin. Ruangan itu bau disinfektan dan waktu yang terlalu lama mengendap. Seorang petugas berseragam biru tua menyerahkan kotak kayu kecil padanya.
“Ini disimpan sejak 4 tahun lalu,” kata wanita itu. “Kami minta maaf baru bisa menghubungi.”
Lena mengangguk pelan. “Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menyimpannya.”
Kotak itu tidak besar hanya seukuran kotak sepatu. Beratnya sedang. Tapi Lena merasa dadanya ikut tertindih saat memeluknya keluar dari ruangan.
Di taman kecil rumah sakit, ia duduk di bangku dekat kolam ikan. Ia menarik napas panjang, lalu membuka perlahan.
Di dalamnya:
Sebuah jam tangan tua milik ayahnya.
Buku kecil lusuh berisi tulisan tangan.
Foto kecil dirinya bersama sang ayah, waktu ia masih usia 8 tahun.
Sepucuk surat. Dialamatkan padanya. Dengan tulisan tangan ayahnya.
Jantung Lena berhenti sejenak.
Tangannya bergetar saat membuka lipatan surat itu. Di balik goresan tinta yang sedikit pudar, ia membaca kalimat yang terasa seperti bisikan dari waktu:
> Lena, kalau kamu membaca ini, mungkin aku sudah pergi lebih dulu.
Maafkan aku karena tak pernah benar-benar pandai bicara. Tapi kamu harus tahu, aku selalu bangga padamu. Bahkan saat kamu tidak melihatnya.
Toko bunga itu… aku bangun bukan hanya untuk memberi penghasilan. Tapi karena aku tahu, kamu akan tumbuh jadi seseorang yang bisa menyentuh hidup orang lain lewat keindahan kecil yang kamu rawat.
Kamu punya hati yang lebih lembut dari siapa pun yang pernah kukenal. Dan itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.
Aku tidak bisa selalu menjagamu. Tapi aku tahu kamu akan tetap bertahan, bahkan ketika semua terasa hilang.
Dan jika suatu hari kamu merasa ingin menyerah… buka halaman terakhir buku kecil ini.
Lena menahan napas.
Ia meraih buku lusuh yang juga ada dalam kotak. Halaman demi halaman penuh dengan coretan tangan ayahnya: catatan pembelian bunga, jenis pupuk, sampai kadang lelucon ringan.
Di halaman terakhir, hanya ada satu kalimat:
> “Jangan takut menanam cinta lagi, meski ladangmu pernah gagal panen.”
Lena menutup buku itu pelan. Air matanya mengalir deras. Tapi kali ini, bukan karena kehilangan melainkan karena sesuatu yang terasa pulang.
Ia tahu ayahnya tidak pernah pandai berkata manis. Tapi surat itu, meski terlambat datang bertahun-tahun, terasa seperti pelukan hangat yang memulihkan sesuatu dalam dirinya.
Di sisi lain kota, di gedung tinggi tempat dulu ia bekerja, Rey duduk di ruang rapat bersama dua orang yang dulu sering ia temui. Di hadapannya ada dokumen kontrak kerja proyek lama yang kini berkembang dan meminta Rey kembali sebagai konsultan utama.
“Kami tahu kamu resign mendadak dulu, Rey,” kata seorang pria berbaju krem. “Tapi kita semua tahu, kamu salah satu orang paling visioner di tim ini. Proyek ini butuh kamu.”
“Bayaran dua kali lipat. Fleksibel. Kami siapkan tim sendiri. Kamu tinggal mikir dan arahkan,” sambung pria satunya lagi.
Rey tidak langsung menjawab. Tatapannya terarah ke luar jendela, memandangi cakrawala kota yang dipenuhi beton dan lampu-lampu. Ia ingat waktu dulu merasa bangga dengan kehidupan seperti ini. Sekarang, semuanya terasa terlalu tajam, terlalu bising.
Lalu seseorang masuk ke ruangan itu. Seorang wanita dengan blazer hitam dan rambut panjang bergelombang.
“Maaf terlambat,” katanya sambil menarik kursi dan duduk di samping Rey. “Rapat sebelumnya molor.”
Suara itu Rey menoleh. Seketika jantungnya mencelos.
“Rani?”
Wanita itu menoleh, dan tersenyum kecil. “Kamu gak berubah banyak, Rey.”
Rey tercekat. Suara di ruangan mendadak menghilang dari telinganya.
“Sejak kapan kamu di tim ini?” tanyanya pelan.
“Sejak kamu pergi. Aku ambil alih posisi strategismu untuk beberapa proyek. Sekarang mereka tarik aku ke sini, supaya kamu gak merasa asing kalau balik.”
Rey menghela napas. Ia tidak tahu harus merasa lega atau terganggu. Rani bagian dari masa lalu yang tidak pernah ia urai tuntas.
“Kalau aku bilang aku belum yakin mau balik?”
Rani menyandarkan diri ke kursi. “Kalau kamu gak balik, proyek ini tetap jalan. Tapi jujur, kami semua tahu kualitasmu beda.”
Rey mengangguk pelan. Ia tidak ingin menjawab sekarang. Tidak di hadapan Rani. Tidak dengan semua pertanyaan yang kembali membanjiri pikirannya.
“Aku butuh waktu berpikir,” katanya akhirnya.
Rani mengangguk. “Kamu punya waktu tiga hari. Setelah itu, kursi ini akan diisi orang lain.”
Rey berdiri. Ia tidak menyentuh dokumen yang disodorkan.
Keluar dari gedung itu, Rey memandangi mobilnya sejenak. Langit kota sudah mulai kelabu. Ia tahu Lena sedang menunggu di titik temu. Dan ia tahu, jika ia kembali sekarang, ia harus jujur.
Bukan hanya pada Lena. Tapi pada dirinya sendiri. Dan juga pada bagian dari masa lalu yang kini hadir kembali dalam wujud nyata: Rani.
Lena duduk di dalam mobil Rey dengan kotak kayu di pangkuannya. Mereka tidak langsung berbicara. Hanya suara pelan dari radio tua Rey yang mengisi ruang hening itu suara gitar akustik dan lirik tentang pulang yang tertunda.
Hujan mulai turun tipis di luar. Tetesannya membentuk pola acak di kaca depan.
“Aku gak nyangka… surat itu masih ada,” kata Lena pelan.
Rey menoleh sekilas. “Aku senang kamu menerimanya.”
Lena menatap ke luar jendela. “Dulu aku sering marah sama Ayah. Karena dia gak pernah bilang langsung bahwa dia bangga. Bahkan waktu aku pulang dan bangun lagi toko bunga itu, dia cuma bantu diam-diam. Nggak banyak ngomong.”
“Kadang orang yang paling mencintai kita… justru yang paling diam,” jawab Rey. “Bukan karena gak peduli, tapi karena mereka gak tahu gimana cara menunjukkan perasaan.”
Lena mengangguk pelan. Lalu ia membuka buku kecil yang ada di dalam kotak itu buku lusuh milik ayahnya. Di halaman terakhir, kalimat itu terus terngiang:
> Jangan takut menanam cinta lagi, meski ladangmu pernah gagal panen.
Lena membaca ulang kalimat itu dengan napas tertahan. Rasanya seperti nasihat dari jiwa yang sudah jauh, tapi masih menjaganya.
“Ayahku tahu aku hancur,” bisiknya. “Waktu aku gagal di kota, batal nikah, kehilangan semuanya. Tapi dia gak pernah menghakimi. Dia cuma… nunggu aku pulang.”
Rey menatap Lena lama. “Dia tahu kamu gak perlu dihakimi. Kamu cuma perlu waktu buat tumbuh lagi.”
Lena tersenyum samar.
Mobil terus melaju di jalan desa yang basah. Pohon-pohon di pinggir jalan melambai tertiup angin sore. Udara dipenuhi aroma tanah dan hujanbaroma yang selalu membuat Lena merasa aman.
Lalu Lena bertanya, “Kamu sendiri… udah nemu jawabanmu?”
Rey tidak langsung menjawab. Ia menggenggam setir sedikit lebih erat.
“Ada tawaran kerja,” katanya akhirnya. “Proyek besar. Gajinya bagus. Fleksibel. Tapi…”
“Tapi?” tanya Lena.
“Rani ada di sana.”
Nama itu melayang di udara seperti pecahan kaca kecil. Lena menunduk pelan. Tak langsung bicara. Tapi ia tidak buta. Ia tahu, setiap orang punya masa lalu. Tapi saat masa lalu itu hidup kembali, semuanya menjadi rumit.
“Dia mantanmu?” tanya Lena, lirih.
Rey mengangguk pelan. “Kami pernah dekat. Dulu. Lama sebelum aku pindah. Tapi kami berakhir dengan… tidak baik. Banyak yang tak selesai.”
“Dan sekarang kalian kerja bareng lagi?”
“Iya. Tanpa rencana. Aku bahkan gak tahu dia akan ada di rapat itu.”
Lena menghela napas. “Kamu masih ada perasaan?”
Pertanyaan itu keluar tanpa ia tahan. Bukan karena cemburu. Tapi karena ia ingin tahu kejujuran yang akan ia hadapi ke depan.
Rey menatap Lena, lalu kembali menatap jalan. Ia tak buru-buru menjawab.
“Aku tidak tahu,” katanya akhirnya. “Yang aku tahu, waktu lihat dia… aku sadar, ada hal-hal yang pernah kusimpan dalam-dalam. Tapi juga ada alasan kenapa kami tidak berhasil.”
Lena menggenggam ujung kotak di pangkuannya.
“Dan sekarang?” tanyanya pelan.
Rey menoleh sebentar, lalu menatap jalan lagi. “Sekarang… aku gak mau berbohong. Aku datang ke desa ini bukan hanya untuk ‘menyembuhkan diri.’ Aku ingin mulai dari awal. Tapi aku juga sadar, aku gak bisa benar-benar mulai kalau masih bawa luka lama yang belum selesai.”
Lena menatap Rey lama. Di balik ketegasan suaranya, ada ketulusan yang tidak dibuat-buat. Ia bisa merasakannya.
“Aku gak butuh kamu sempurna, Rey,” kata Lena pelan. “Aku cuma ingin kamu jujur. Pada aku, dan pada dirimu sendiri.”
Rey mengangguk. “Dan aku butuh waktu. Untuk bener-bener tahu, apakah yang kucari ada di masa lalu… atau masa sekarang.”
Lena tak menjawab. Tapi ia tersenyum kecil, walau matanya sembab. Ia tahu tidak ada cinta yang bisa dipaksakan. Apalagi jika cinta itu sedang belajar tumbuh lagi, setelah sekian lama mati suri.
Mereka tiba di depan toko bunga Lena. Langit masih kelabu, tapi hujan mulai reda. Aroma daun basah dan tanah yang menguap memenuhi udara.
Rey mematikan mesin mobil. Tapi tak langsung keluar.
“Aku belum bisa janji apa-apa, Lena,” katanya. “Tapi aku akan berusaha jujur. Setiap hari. Sama kamu. Sama diriku sendiri.”
Lena membuka pintu mobil dan menoleh ke arahnya. “Itu saja sudah cukup.”
Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menambahkan, “Dan kalau kamu butuh tempat buat berpikir… toko bungaku selalu terbuka. Kecuali hari Minggu.”
Rey tertawa pelan. “Aku ingat.”
Lena masuk ke toko dengan kotak kayu di pelukannya. Rey menatapnya hingga pintu tertutup. Lalu ia menyandarkan diri ke jok mobil, menatap langit yang menggantung abu-abu di atas desa.
Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai mencair. Perlahan. Tanpa suara.
Keesokan harinya, langit desa mendung sejak pagi. Lena membuka tokonya lebih awal dari biasanya. Ia membersihkan etalase, menyirami tanaman, dan menyusun ulang bunga-bunga yang mulai layu. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.
Kotak kayu dari ayahnya ia letakkan di rak belakang, berdampingan dengan buku kecil berisi catatan tangan. Setiap ia lewat, matanya tak sengaja memandangi kotak itu, seperti mengingatkan bahwa cinta kadang tetap tinggal, bahkan setelah pemiliknya pergi.
Ia belum tahu harus mengapakan surat itu selain menyimpannya. Tapi ia tahu satu hal: ia ingin terus menjaga toko ini, bukan hanya sebagai warisan, tapi sebagai tempat ia tumbuh. Tempat ia memberi arti pada hidupnya sendiri.
Menjelang siang, pintu toko terbuka.
Rani masuk.
Langkahnya ragu, tapi wajahnya tetap anggun seperti biasanya. Rambutnya diikat rapi, dan tas selempang kecil menggantung di bahu.
Lena menoleh dan mengangguk kecil. “Pagi.”
“Pagi,” jawab Rani, suaranya lembut tapi terasa hati-hati. “Boleh bicara sebentar?”
Lena menatapnya, lalu memberi isyarat ke kursi rotan di sudut dekat jendela. “Silakan duduk.”
Rani duduk dengan sopan. Ia memandangi vas peony putih di meja kecil, lalu menghela napas.
“Aku gak mau ganggu,” katanya. “Aku cuma… ingin jujur.”
Lena duduk di seberang, tidak sepenuhnya tersenyum, tapi juga tidak menutup diri.
Rani melanjutkan, “Aku tahu kamu dan Rey sedang… sesuatu. Aku gak datang buat merusak. Aku cuma ingin kamu tahu, aku juga sedang mencari jawaban.”
Lena tidak menyela.
“Dulu aku dan Rey dekat,” lanjut Rani. “Tapi kami sama-sama keras kepala. Dan waktu dia pergi… aku rasa aku belum benar-benar selesai.”
“Maka kamu datang ke desa ini?” tanya Lena tenang.
Rani mengangguk pelan. “Waktu tahu dia di sini, aku ikut urusan proyek sebagai alasan. Tapi ternyata… aku juga belum siap melihat dia lagi.”
Hening menggantung di antara mereka. Tapi bukan hening yang tajam lebih seperti jeda untuk memutuskan apakah dua perempuan bisa bicara tanpa saling menyerang.
Lena akhirnya berkata, “Rey butuh waktu. Aku tahu itu. Dan aku nggak akan memaksanya memilih siapa pun sebelum dia tahu betul apa yang dia inginkan.”
Rani mengangguk, tampak lega mendengarnya.
“Aku gak datang buat rebut Rey,” katanya. “Aku cuma ingin bilang… kalau suatu hari nanti dia memilihmu, aku akan terima. Dan kalau tidak, kamu pun harus siap terima.”
Lena menatap Rani. Kalimat itu tidak terdengar mengancam. Justru sangat jujur. Sangat manusiawi.
“Baik,” jawab Lena. “Tapi apa pun nanti, jangan datang ke toko ini hari Minggu. Aku libur.”
Rani tertawa kecil. Tawa itu mencairkan ketegangan yang tersisa. Ia berdiri, lalu mengangguk sopan. “Terima kasih sudah mau bicara.”
“Jangan lupa beli bunga,” sahut Lena ringan.
Rani tersenyum, lalu memilih satu tangkai lily dan membayar tanpa banyak bicara. Saat ia keluar, Lena berdiri sebentar di dekat jendela, memperhatikan langkahnya menjauh.
---
Sore harinya, Rey datang.
Tanpa koper, tanpa jaket panjang, hanya membawa satu tangkai baby’s breath.
Lena sudah menunggunya. Kali ini tanpa gugup, tanpa harap yang meluap. Ia berdiri di balik meja kasir, memotong batang bunga dan membersihkan daun-daun kecil di bagian bawahnya.
Rey mendekat.
“Aku bertemu Rani kemarin,” katanya.
Lena mengangguk. “Aku juga hari ini.”
Rey menarik napas. “Kami sudah bicara. Dan aku rasa… aku bisa berdamai.”
Lena menatapnya. “Dengan dia? Atau dengan dirimu sendiri?”
“Dengan masa lalu,” jawab Rey pelan. “Karena masa lalu tidak harus terus jadi beban. Tapi juga tidak perlu dijadikan patokan arah.”
Lena tak berkata apa-apa.
Rey menaruh baby’s breath itu di meja.
“Dan aku ingin tetap di sini. Bukan karena kamu. Tapi karena aku ingin. Karena ini tempat yang membuatku merasa hidup.”
Lena menatap bunga mungil itu. “Tapi kamu belum selesai bicara dengan hatimu, kan?”
Rey mengangguk pelan. “Belum. Tapi aku sudah mulai.”
Lena tersenyum. “Itu cukup.”
Mereka tidak saling menyentuh. Tidak ada pengakuan dramatis. Tapi suasana toko sore itu terasa berbeda. Lebih hangat, lebih damai. Seolah dunia memberi ruang untuk mereka menyembuhkan luka masing-masing tanpa tergesa.
Di luar, hujan kembali turun ringan. Tapi kali ini, tidak ada yang tergesa menutup jendela.