✨ Prolog

369 Kata
Ada suara yang tidak pernah benar-benar hilang. Ada wangi yang tetap tertinggal bahkan setelah pintu ditutup rapat. Dan ada janji yang meski dilupakan, selalu tahu jalan pulang. Lena tidak pernah menunggu siapa pun. Bukan karena hatinya beku, tapi karena ia belajar bahwa yang ditunggu seringkali tidak kembali. Maka ia merawat bunga, bukan harapan. Ia menyiram tanah, bukan luka. Dan ia menata hari-harinya seperti buket yang sederhana: cukup, tenang, tanpa keramaian. Toko bunganya kecil, berdiri di ujung jalan desa yang nyaris tak pernah berubah. Dindingnya kayu tua, jendelanya bundar, dan aroma tanah selalu memenuhi ruangannya sejak pagi. Orang-orang datang untuk membeli bunga, tapi yang Lena jaga sebenarnya bukan bisnisnya melainkan ruang sunyi tempat ia bisa hidup tanpa harus menjelaskan kenapa hatinya belum benar-benar pulih. Namun hidup, seperti musim, tidak pernah benar-benar bisa ditebak. Suatu sore yang biasa, saat hujan baru saja reda, pintu tokonya terbuka. Dan seseorang dari masa lalu berjalan masuk—bukan dengan sejuta kata, tapi dengan satu tangkai bunga mungil dan tatapan yang seolah membawa Lena kembali ke dirinya yang dulu. Rey. Nama yang hanya tinggal samar di belakang kepala. Tawa masa kecil, janji di bawah pohon beringin, kamera film yang merekam kenangan yang tak pernah dikembangkan. Ia datang kembali, sepuluh tahun terlambat, dan Lena tidak tahu apakah ia harus menyambut atau menutup pintu. “Kalau aku kembali, kamu masih akan ingat aku?” Itu pernah ditanyakan Rey dulu, saat mereka masih kecil. Dan Lena, dengan polosnya menjawab, “Kalau kamu balik pas bunganya mekar, aku pasti ingat.” Sekarang, bunga itu mekar. Dan Rey datang. Bersama hal-hal yang tak pernah selesai. Tapi Lena bukan gadis kecil yang sama. Dan Rey pun bukan lagi anak lelaki yang suka memetik baby’s breath di tepi kebun. Waktu mengubah banyak hal. Tapi tidak semua. Kadang, yang tertinggal justru yang paling penting: luka yang belum sembuh, perasaan yang belum selesai, dan janji yang masih diam-diam hidup, tumbuh di sela-sela waktu. Ini bukan kisah cinta yang berisik. Bukan yang penuh konflik atau air mata. Tapi kisah dua orang yang belajar berdamai dengan masa lalu, dengan diri sendiri, dan dengan rasa yang perlahan tumbuh kembali. Dan seperti bunga liar yang tetap mekar meski tak dirawat, Beberapa janji tetap menunggu... Meski tak pernah diminta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN