Bab 1 – Toko Bunga di Ujung Senja

1880 Kata
Toko bunga itu berdiri tenang di ujung desa, seperti sepotong ingatan yang enggan pudar. Dindingnya dari kayu tua, cat putihnya sudah mulai mengelupas di sana-sini. Jendela kaca besar di bagian depan menampilkan aneka bunga dalam vas, tersusun rapi dengan warna yang menyegarkan mata mawar merah muda, peony putih, lavender ungu, hingga baby’s breath putih halus seperti kabut. Di atas pintu toko tergantung papan kayu berukir tulisan sederhana: Lena’s Bloom. Sore itu, langit desa dicat jingga lembut, awan bergelombang perlahan di balik sinar matahari yang mulai turun. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga segar. Lena, pemilik toko, tengah duduk di kursi kayu kecil di dekat jendela, merangkai buket mawar untuk pesanan ulang tahun seorang ibu muda. Jari-jarinya cekatan, wajahnya tenang, tapi pikirannya entah di mana. Sudah tiga tahun sejak ia kembali ke desa ini. Tiga tahun sejak ia meninggalkan kehidupan lamanya di kota apartemen mewah, tunangan dari keluarga berada, dan pekerjaan tetap di toko bunga milik calon mertuanya. Tapi semua itu terasa sempit. Dipuji karena keterampilan merangkai bunga tidak bisa menghapus kenyataan bahwa cinta yang ia jalani terasa seperti kurungan kaca: indah dari luar, hampa di dalam. Ia tak lagi menjadi dirinya sendiri saat itu. Lena merasa hidupnya seperti bunga artifisial rapi, cantik, tapi tidak hidup. Maka ia kembali ke desa tempat ia menghabiskan masa kecil bersama keluarganya. Rumah tua peninggalan keluarga itu nyaris runtuh ketika ia tiba, tapi Lena merenovasinya sedikit demi sedikit. Ia hidup dari tabungan, menjual beberapa barang, dan membuka kembali toko bunga yang dulu dikelola ayah dan neneknya. Dan di sinilah ia sekarang. Menjalani hari-hari sederhana yang tak mewah, tapi memberi ruang untuk bernapas. “Terakhir,” gumamnya pelan sambil menyelipkan pita satin ke buket. Ia berdiri, menata bunga di keranjang pengantaran, lalu menatap langit senja melalui jendela toko. Senja selalu memberinya rasa tenang warna langit yang hangat, suara burung yang kembali ke sarang, dan langkah kaki anak-anak yang pulang dari sawah. Namun ketenangan itu pecah saat bel di atas pintu berdenting. Lena menoleh, agak terkejut. Jam dinding menunjukkan pukul 17.43. Biasanya, tidak ada pelanggan datang selarut ini. Seorang pria melangkah masuk. Tingginya menjulang, tubuhnya dibungkus jaket panjang warna abu tua, dan ia membawa koper kecil beroda yang sedikit kotor di bagian bawah. Wajahnya terlihat lelah bukan hanya lelah perjalanan, tapi lelah seperti seseorang yang membawa beban bertahun-tahun. “Permisi,” katanya pelan. Suaranya serak tapi hangat, seperti seseorang yang jarang bicara tapi berpikir terus-menerus. “Toko ini masih buka?” tanyanya. Lena mengangguk, berdiri pelan dari kursinya. “Masih. Tapi saya akan tutup sebentar lagi.” Pria itu tersenyum samar, lalu mulai berjalan perlahan di antara rak bunga. Matanya menyapu deretan pot dan vas seolah mencari sesuatu. Tapi tatapannya bukan milik turis yang kagum, melainkan seseorang yang mengenal tempat ini—atau setidaknya, mengingatnya. Langkahnya terhenti di depan vas besar berisi baby’s breath. Bunga kecil putih yang sering dianggap pelengkap dalam buket pengantin. Ringan, sederhana, hampir tidak terlihat... tapi Lena tahu, bunga itu punya makna tersendiri. Pria itu membungkuk sedikit, memperhatikan setiap kelopak seolah sedang membaca isi hatinya sendiri. “Aku mau ini,” katanya pelan. “Berapa banyak?” “Hanya satu tangkai.” Lena terdiam sejenak. “Hanya satu?” “Iya,” katanya, masih menatap bunga itu. “Satu saja sudah cukup.” Ia mengambil satu tangkai dengan hati-hati, menyerahkannya pada Lena seolah itu benda paling rapuh di dunia. Lena membungkusnya pelan dengan kertas cokelat daur ulang dan mengikat pita putih tipis di ujungnya. Tangannya berhenti sejenak sebelum menyerahkan bunga itu. “Untuk siapa?” tanyanya, bukan karena penasaran, tapi karena sesuatu dalam dirinya terdorong untuk tahu. Pria itu memandangi bungkus sederhana itu cukup lama. Tatapannya menembus, dalam, dan kosong sekaligus. “Untuk seseorang yang dulu menungguku,” jawabnya. “Aku pernah janji akan kembali. Tapi aku datang sepuluh tahun terlambat.” Lena tidak berkata apa-apa. Hening menggantung di antara mereka, tapi bukan hening yang aneh melainkan semacam pengakuan diam-diam, semacam pemahaman bahwa luka lama tak selalu perlu dijelaskan. Pria itu menyelipkan bunga kecil itu ke saku jaketnya, lalu mengeluarkan dompet kulit usang dari saku lainnya. Ia menyerahkan sejumlah uang tanpa berkata apa-apa, dan Lena menerimanya tanpa banyak tanya. Tapi saat ia menyerahkan kembali uang kembalian, jari mereka sempat bersentuhan. Singkat, tapi cukup untuk membuat Lena terdiam sejenak. Sentuhan itu... asing, tapi tidak sepenuhnya. Ada sesuatu yang mengganggu memorinya seperti bau tanah setelah hujan yang terasa familiar, tapi tak bisa diingat dari mana. Pria itu melangkah ke arah pintu. Tapi sebelum pergi, ia menoleh dan berkata, “Aku tinggal di rumah tua di ujung jalan, dekat toko roti. Yang rumah besar dengan jendela bulat.” Lena mengerutkan alis. “Rumah Pak Wiryo?” “Iya. Aku menyewanya dari anaknya.” Lena mengangguk pelan. Rumah itu sudah lama kosong. Banyak orang yang pernah menempatinya hanya bertahan beberapa bulan. Terlalu sunyi, katanya. Terlalu besar untuk sendiri. Tapi pria ini tampak tidak terganggu oleh sunyi. “Kalau butuh bunga,” ujar Lena pelan, “aku buka setiap hari. Kecuali Minggu.” Ia mengangguk, menatap Lena sejenak. Matanya… mata itu membuat d**a Lena terasa aneh. Seperti ada sesuatu yang ditinggalkan dan kini kembali perlahan, merayap masuk lewat celah waktu. Tanpa kata lain, pria itu keluar. Bel di atas pintu berdenting sekali. Udara sore menyusup masuk sebelum pintu kembali tertutup. Lena berdiri membisu. Tokonya kembali sepi. Hanya suara kipas angin yang berdengung pelan dan aroma bunga yang perlahan kembali mengisi ruang. Tapi pikirannya tidak lagi di tempat itu. Ia memandangi rak bunga yang barusan dipilih pria itu. Baby’s breath. Bunga mungil berwarna putih, sering dianggap pelengkap, bukan pemeran utama. Tapi ia tahu, bunga itu punya arti yang dalam: kemurnian, pengharapan yang tak tergoyahkan, janji yang tak terucap. Dan saat itulah Lena ingat sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang. Kenangan itu datang seperti kabut tipis—pelan, lembut, tapi menyelimuti semuanya. Ia melihat dirinya di masa kecil, duduk di depan toko bersama seorang anak lelaki. Mereka bermain tanah, merangkai bunga-bungaan liar, dan tertawa karena hal-hal sederhana. Anak itu punya kamera kecil, kamera film yang usang. Ia suka memotret bunga, terutama baby’s breath. Ia bilang bunga itu mirip kabut pagi, yang datang diam-diam dan pergi tanpa pamit. Anak itu bilang akan kembali suatu hari nanti. Tapi ia tak pernah kembali. Atau mungkin, baru sekarang ia menepati janjinya. “Bisa jadi dia…” Lena bergumam, tapi tak menyelesaikan kalimatnya. Terlalu berani untuk yakin. Terlalu sakit kalau salah. Ia mematikan lampu etalase, lalu mengambil teko teh dan mematikan kompor kecil di belakang kasir. Langkahnya pelan, tapi pikirannya kacau. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, sesuatu mengusik ketenangan yang selama ini ia rawat seperti tanaman dalam pot kaca. Malam itu, Lena berbaring di tempat tidurnya di loteng atas toko. Tempat itu kecil, tapi cukup nyaman. Jendela bulat di atas tempat tidurnya menampilkan langit malam dengan bintang-bintang redup yang tak seberapa terang. Di luar, jangkrik bersahut-sahutan, dan angin meniup daun-daun di pohon mangga tua di belakang rumah. Tapi Lena tidak memejamkan mata. Bayangan pria itu terus muncul di kepalanya. Suara beratnya. Tatapannya yang dalam. Cara ia memegang bunga seolah itu satu-satunya hal yang tersisa di dunia. Dan terutama… rasa yang ia bawa. Rasa yang Lena pikir sudah mati sejak lama. — Keesokan paginya, Lena membuka toko seperti biasa. Tapi ia lebih diam dari biasanya. Gerakannya sedikit melambat, pikirannya seperti tertinggal di malam sebelumnya. Bahkan saat pelanggan pertama datang ibu-ibu tetangga yang hendak membeli bunga untuk syukuran cucunya Lena hanya tersenyum tipis dan tak banyak bicara. Siang itu, hujan turun sebentar. Langit mendung membuat toko terlihat lebih temaram dari biasanya. Lena memutuskan menyeduh teh jahe dan duduk di dekat jendela sambil membaca catatan pesanan minggu depan. Tapi pikirannya sulit fokus. Pukul 3 sore, bel berdenting lagi. Lena menoleh, setengah berharap. Tapi bukan dia. Yang datang hanya kurir desa yang ingin menitipkan selebaran iklan pasar malam. Lena tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri. Sejak kapan ia menunggu seseorang? Sejak kapan ia berharap? Sore berganti malam. Pelanggan datang dan pergi. Tapi bayangan pria kemarin tetap tinggal. Dan Lena tahu, apa pun yang terjadi… hidupnya tidak akan sama lagi. Tiga hari berlalu. Pria itu tidak muncul lagi. Lena pura-pura sibuk, tapi hatinya seperti terus menoleh ke pintu. Setiap denting bel, setiap bayangan lewat jendela, selalu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Tapi setiap kali itu hanya pelanggan biasa, tukang sayur, atau anak-anak yang mampir untuk sekadar melihat bunga matahari. Ia mencoba mengabaikan, tapi ada bagian dalam dirinya yang terus mengulang kata-kata pria itu. "Aku janji akan kembali, tapi aku datang sepuluh tahun terlambat." Sampai suatu sore, saat hujan turun gerimis dan langit berwarna kelabu lembut, bel toko berbunyi lagi. Lena menoleh. Ia tidak tahu harus merasa apa. Tapi kali ini, pria itu benar-benar muncul lagi. Tanpa koper, tanpa jaket panjang, hanya mengenakan kemeja linen dan celana hitam. Rambutnya basah oleh gerimis, dan ada senyum samar yang membuatnya terlihat… damai. “Halo,” katanya pelan. Lena mengangguk, berdiri dari kursinya. “Kembali lagi?” “Kalau kamu masih mengizinkan,” jawabnya. Ia berjalan pelan ke arah meja rangkai, matanya menyapu bunga-bunga di rak. Tapi kali ini, dia tidak langsung memilih. Ia hanya berdiri, diam, seolah menunggu Lena bicara lebih dulu. “Aku belum tahu namamu,” kata Lena akhirnya. Pria itu tersenyum. “Kamu lupa, ya?” Lena terdiam. Hatinya berdegup cepat. “Harusnya aku ingat?” “Kita dulu teman kecil. Kamu sering ngumpet di bawah meja kasir waktu nenekmu sibuk. Aku yang selalu bawa kamera butut dan motret bunga baby’s breath.” Lena membeku. Ingatan itu menyeruak seperti ombak suara tawa masa kecil, aroma sabun cuci nenek, dan suara klik kamera film. “Rey?” Pria itu mengangguk. “Akhirnya kamu ingat.” Lena menghela napas, antara syok dan geli. “Aku kira kamu pindah ke luar negeri.” “Aku memang pindah. Tapi aku balik ke Indonesia dua bulan lalu. Baru sempat datang ke sini.” “Kenapa baru sekarang?” Ia menunduk, menyentuh satu kelopak bunga. “Butuh waktu buat berani. Buat kembali ke tempat yang menyimpan banyak janji yang dulu kubuat, tapi tak kutepati.” Lena tak langsung menjawab. Ia menatap Rey. Pria itu memang berubah. Lebih dewasa, lebih tenang. Tapi ada sesuatu yang tetap sama. Caranya menatap dunia dengan pelan, dalam, dan jujur. “Kamu tinggal di rumah Pak Wiryo sendirian?” “Iya. Untuk sementara. Aku butuh… jeda.” Lena mengangguk. Ia mengerti. Kadang, dunia terlalu bising. Dan desa ini, dengan sunyinya, jadi tempat yang paling pas untuk menyembuhkan diri. “Kamu akan menetap di sini?” tanyanya. Rey menatap Lena. “Kalau kamu izinkan.” Lena terdiam. Di luar, hujan masih turun ringan. Di dalam, aroma bunga, tanah, dan sesuatu yang baru mulai tumbuh di udara. Bukan cinta yang meledak-ledak. Tapi sesuatu yang pelan, hangat, dan jujur. Seperti akar yang mulai menjalar diam-diam di dalam tanah. Lena tak menjawab. Ia hanya berjalan ke belakang rak, mengambil satu vas kecil, lalu meletakkan bunga baru di depan Rey. “Ini,” katanya, “bunga pertama yang mekar dari kebun belakang setelah aku rawat sendiri.” Rey menerima vas itu seolah menerima warisan masa lalu. Ia tersenyum kecil, lalu berkata, “Kalau begitu… biarkan aku jadi pelanggan tetap toko ini.” Lena menatapnya, lalu tersenyum. Bukan karena ucapan Rey lucu, tapi karena ada bagian dalam dirinya yang… lega. Seolah satu lubang kecil yang lama menganga, akhirnya menemukan penutupnya. Bukan untuk dilupakan. Tapi untuk disembuhkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN