Rey tidak datang ke toko bunga hari berikutnya. Atau hari setelahnya.
Lena tidak menunggu, setidaknya tidak secara sadar. Ia tetap membuka tokonya pagi-pagi, menyiram tanaman, merangkai pesanan, dan menyapa pelanggan dengan senyum yang biasa. Tapi ada satu hal baru dalam ritmenya—telinganya jadi lebih peka pada denting bel di atas pintu. Matanya lebih sering melirik ke jalan. Dan setiap sore, saat menutup jendela etalase, hatinya sedikit mengecewakan dirinya sendiri.
Hingga pada hari kelima, Rey muncul.
Bukan di toko. Tapi di depan pagar rumahnya.
Lena baru saja memetik daun mint dari kebun belakang saat melihat sosok tinggi itu berdiri sambil memandangi pekarangan rumahnya yang dipenuhi pot gantung dan tanaman rambat.
Ia keluar, masih dengan celemek dan sarung tangan berkebun.
“Kamu...,” ucapnya sambil sedikit menundukkan kepala karena silau matahari.
Rey tersenyum. “Aku tidak ingin mengganggu di toko. Kupikir lebih baik langsung ke sumbernya.”
Lena melepas sarung tangannya. “Maksudmu... aku?”
“Dan bunga-bungamu.” Ia menunjuk pekarangan kecil yang dihiasi calendula, rosemary, dan mawar mini. “Kebunmu lebih hidup dari yang kulihat waktu pertama kali lewat.”
“Karena waktu itu belum musimnya mekar,” jawab Lena pelan. “Semua butuh waktu.”
Rey mengangguk, seolah kalimat itu punya makna lebih dalam dari sekadar kebun.
Lena membuka pagar kecil dan memberi isyarat masuk. Rey melangkah pelan, memperhatikan setiap sudut halaman seolah menyerap setiap detil. Ia berhenti di depan pot tua berisi lavender yang tumbuh miring.
“Ini favoritku,” katanya.
“Nenekku juga suka lavender. Katanya bisa menenangkan mimpi.”
“Mimpi buruk?” tanya Rey sambil menoleh.
“Atau kenangan,” jawab Lena singkat.
Keheningan turun sesaat. Bukan keheningan canggung, tapi semacam pengakuan yang tidak diucapkan.
“Kalau kamu tidak sibuk...” Rey mengangkat sesuatu dari dalam tas kanvasnya. Sebuah buku catatan bergambar bunga kering di sampulnya. “Aku ingin mencatat jenis-jenis tanaman lokal. Aku sedang mulai proyek pribadi. Tentang flora desa. Kupikir... kamu ahlinya.”
Lena tersenyum samar. “Aku bukan ahli. Hanya penyuka bunga yang kesepian.”
“Penyuka bunga tidak pernah kesepian,” balas Rey.
Lena mengangguk pelan, lalu menunjuk bangku kayu di dekat jendela rumahnya. “Kalau begitu, duduklah. Aku buatkan teh.”
Tak lama kemudian, mereka duduk bersebelahan, dipisahkan meja kecil dari kayu kelapa dan dua cangkir teh yang mengepul harum. Lena membawa catatan lama berisi jenis bunga yang pernah ia tanam, termasuk nama lokal dan manfaat tradisionalnya. Rey membuka halaman kosong di bukunya, siap menulis.
Namun percakapan mereka tidak langsung serius. Justru lebih banyak sunyi. Sesekali mereka tertawa kecil saat Lena menyebut nama bunga yang aneh, seperti “janda bolong” atau “lidah mertua.” Rey mencatat sambil mengernyit, lalu menirukan dengan logat kaku, membuat Lena tertawa.
Di sela itu, Lena melirik wajah Rey. Ia tampak lebih rileks dibanding hari pertama mereka bertemu di toko. Tapi matanya tetap memendam sesuatu—seperti seseorang yang membawa beban terlalu lama, dan baru mulai belajar meletakkannya.
“Kamu selalu bawa buku ke mana-mana?” tanya Lena.
“Sejak kecil. Aku suka merekam hal-hal kecil. Bunga, bangunan tua, percakapan di angkot. Kadang... hal kecil itu yang justru bertahan paling lama dalam ingatan.”
“Kamu masih punya kamera film itu?”
Rey tersenyum, untuk pertama kalinya terlihat benar-benar hangat. “Sudah rusak. Tapi aku simpan. Ada di kotak kayu, bersama surat-surat yang tidak pernah terkirim.”
Lena tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu, beberapa cerita lebih baik datang pelan-pelan. Seperti hujan gerimis di sore hari—tidak deras, tapi cukup untuk membasahi tanah yang kering.
Saat matahari mulai turun, Rey menutup bukunya. “Aku tidak tahu desa ini bisa terasa seperti rumah lagi.”
“Kenapa tidak?”
“Karena aku pikir semua yang kutinggalkan... sudah pergi.”
Lena berdiri, membawa cangkir ke dalam. “Tidak semuanya pergi. Beberapa hal... tetap tinggal. Diam-diam.”
Rey menatapnya lama, seolah ingin bertanya sesuatu, tapi urung.
“Sampai jumpa, Lena,” katanya akhirnya.
“Sampai jumpa, Rey.”
Dan saat Rey berjalan menjauh, Lena tahu—apa pun yang sedang tumbuh di antara mereka, itu bukan sekadar bunga musim ini.
Tapi sesuatu yang mungkin... bisa bertahan lebih lama.
Hari-hari berikutnya datang seperti embun pagi—tidak terasa, tapi selalu hadir.
Rey mulai sering muncul. Kadang pagi, kadang sore. Tidak selalu membawa alasan. Kadang hanya lewat depan toko dan melambaikan tangan. Kadang mampir membawa seikat daun kering yang ditemukannya saat berjalan kaki di pinggir sawah.
Lena tidak bertanya kenapa ia datang.
Dan Rey tidak menjelaskan.
Hubungan mereka berjalan seperti irama desa: pelan, tak tergesa, tapi pasti.
Suatu sore, hujan turun deras. Lena sedang merapikan rak bunga kering di bagian belakang toko ketika bel berdenting. Ia menoleh dan menemukan Rey berdiri basah kuyup, membawa sesuatu dalam kain lusuh yang digulung seperti bungkusan penting.
“Kamu kehujanan,” kata Lena sambil mengambil handuk kecil dari belakang kasir.
Rey hanya tertawa pelan. “Aku pikir, hujan sore ini terlalu indah untuk dilewatkan.”
Lena menyodorkan handuk. “Dan kamu pikir masuk toko bunga basah-basahan itu ide bagus?”
“Daripada bunganya basah semua di luar.”
Ia membuka kain gulungan itu. Di dalamnya ada sekumpulan bunga liar—warna-warninya tidak beraturan, daunnya sedikit sobek, dan batangnya masih basah.
“Ini semua dari tepi sungai,” katanya. “Mungkin tidak cantik, tapi aku ingin kamu lihat.”
Lena menyentuh kelopak bunga itu. Lembut, sedikit lusuh, tapi tetap indah. Ia mengenali beberapa: bunga rumput gajah, melati liar, bahkan satu tangkai kecil kenikir putih yang jarang ditemukan akhir-akhir ini.
“Kamu tahu semua nama mereka?” tanya Lena.
“Belum. Tapi aku ingin tahu. Mungkin... kita bisa pelajari bareng.”
Lena tersenyum. “Kamu selalu seperti ini sejak kecil?”
“Seperti apa?”
“Menaruh perhatian pada hal yang orang lain anggap tidak penting.”
Rey tersenyum kecil, lalu menatap bunga dalam vas. “Aku kira, itu cara terbaik buat mengalihkan diri dari yang terlalu besar untuk dihadapi.”
Lena melirik sekilas. “Dari apa?”
“Dari kehidupan di kota. Orang-orang. Beberapa... urusan yang belum selesai.”
“Kamu betah tinggal di sini lagi?”
Rey mengangguk. “Lebih tenang dari Jakarta. Tapi... kadang aku merasa kota itu masih punya sisa-sisa yang belum selesai denganku.”
Lena tidak bertanya lebih lanjut. Tapi kalimat itu menetap di kepalanya, seperti biji yang diam-diam mulai tumbuh dalam tanah pikirannya.
Hari itu, mereka menghabiskan waktu di belakang toko, merapikan bunga liar dan menuliskannya dalam catatan Rey. Tak banyak yang mereka bicarakan, tapi hening yang ada tidak terasa sepi. Mereka bekerja dalam diam yang nyaman, seolah sudah lama saling mengenal.
Sore menjelang malam. Hujan berhenti. Udara membawa aroma tanah basah yang segar dan menenangkan.
Rey berdiri di ambang pintu, siap pamit.
Tapi sebelum keluar, ia menoleh.
“Lena.”
“Ya?”
“Bolehkah aku ajak kamu ke tempat yang pernah kita datangi dulu?”
Lena mengerutkan alis. “Tempat apa?”
“Bukit kecil di belakang ladang tebu. Yang ada pohon beringin besar. Dulu kita sering ke sana sore-sore. Bawa bekal, main tebak bunga, dan kamu selalu menang.”
Lena terdiam. Kenangan itu memang masih ada, tapi sudah lama sekali tidak disentuh. Terlalu jauh. Terlalu samar. Tapi kini, suaranya kembali, dibawa oleh orang yang sama yang dulu menemaninya di sana.
“Kamu ingat semua itu?” tanyanya pelan.
“Aku mengingat apa yang aku sayangi,” jawab Rey tanpa ragu.
Hening turun sekali lagi. Tapi bukan karena canggung. Melainkan karena Lena sedang menimbang—bukan jawabannya, tapi perasaannya sendiri.
“Aku belum tahu,” katanya jujur. “Mungkin... nanti.”
Rey mengangguk pelan. “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak datang untuk mengulang masa lalu.”
Lena menatapnya.
“Aku datang untuk menjemput versi diriku yang kutinggalkan di sini,” lanjut Rey. “Dan mungkin, kalau kamu izinkan, mengenal versi dirimu yang baru.”
Pintu toko terbuka. Angin masuk perlahan. Rey melangkah keluar, tapi tidak segera berjalan. Ia berdiri sebentar, lalu menoleh sekali lagi.
“Hati-hati dengan bunga liar itu,” katanya. “Mereka lebih kuat dari yang terlihat.”
Dan dengan senyum singkat, ia pergi.
Lena berdiri di tengah toko yang kembali sepi. Tapi kali ini, sepi itu terasa seperti ruang kosong yang siap diisi—bukan kekosongan yang menyakitkan, tapi ruang yang siap menampung sesuatu yang baru.
Di meja belakang, bunga-bunga liar Rey masih tergeletak dalam vas sederhana.
Dan di hatinya, sesuatu mulai tumbuh.
Bukan cinta yang meledak tiba-tiba.
Tapi akar yang perlahan menjalar.
---
Malam itu Lena duduk di lotengnya, jendela terbuka, langit bertabur bintang samar.
Di pangkuannya tergeletak buku harian kecil—bukan yang biasanya ia pakai untuk mencatat pesanan, tapi yang sudah lama tak tersentuh. Sampulnya mulai pudar, sudut-sudutnya aus. Buku itu penuh dengan coretan masa lalu: nama-nama bunga, puisi pendek, dan sepenggal kalimat yang ia tulis di masa remaja.
Dan di salah satu halaman yang hampir sobek, ada tulisan kecil:
“Jika seseorang kembali setelah semua bunga gugur… apakah artinya dia benar-benar ingin tinggal?”
Lena membaca kalimat itu berulang kali.
Rey telah kembali. Tapi apakah itu berarti ia ingin tinggal?
Ia menarik napas dalam, lalu menutup buku itu. Hatinya belum sepenuhnya yakin, tapi juga tidak menyangkal rasa yang mulai muncul. Bukan rasa tergesa, bukan degup keras seperti jatuh cinta saat muda. Tapi rasa hangat yang merambat pelan—seperti matahari pagi yang menembus jendela setelah malam panjang.
Keesokan paginya, toko kembali hidup seperti biasa. Pelanggan datang dan pergi. Seorang anak kecil memilih bunga untuk ibunya. Seorang pemuda memesan buket sederhana untuk minta maaf pada kekasihnya. Seorang ibu tua memesan bunga untuk tabur makam suaminya.
Setiap bunga membawa cerita.
Dan Lena mulai sadar, mungkin hidup pun demikian—rangkaian cerita, satu demi satu, yang harus diterima apa adanya.
Menjelang siang, pintu toko terbuka lagi. Tapi kali ini bukan Rey.
Seorang wanita masuk. Wajahnya tidak familiar. Ia mengenakan kemeja linen putih dan celana krem, rambutnya diikat rapi, dan tatapannya tajam tapi tenang.
“Halo,” katanya. “Saya mencari... Rey.”
Lena mengerutkan alis. “Dia tidak di sini.”
Wanita itu mengangguk. “Saya pikir mungkin dia ke sini. Dia belum jawab pesanku sejak kemarin.”
Lena tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu dalam nada wanita itu yang terasa… akrab. Bukan suara kekasih, tapi juga bukan orang asing.
“Anda siapa, kalau boleh tahu?” tanya Lena hati-hati.
“Saya Rani. Dulu satu kantor sama dia. Waktu dia masih di Jakarta.”
“Oh.”
“Dia pindah tiba-tiba. Hanya bilang ingin kembali ke desa masa kecil. Aku cuma ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Lena mengangguk. “Dia baik. Dia tinggal di rumah tua dekat toko roti.”
Rani tersenyum. “Terima kasih.” Lalu ia menatap toko sejenak. “Tempat ini… cantik. Seperti dia juga sedang merawat dirinya lewat bunga.”
Lena hanya tersenyum tipis. Ia tidak tahu harus merasakan apa.
Setelah Rani pergi, Lena berdiri lama di depan etalase. Pandangannya menerawang.
Masa lalu Rey tidak akan pernah kosong. Ada cerita-cerita yang tidak ia tahu. Ada luka, ada orang-orang, ada kehidupan yang tak pernah diceritakan. Tapi bukankah itu juga berlaku untuk dirinya sendiri?
Sore itu, Lena pergi ke belakang toko. Ia memetik beberapa bunga dari kebunnya: lavender, rosemary, dan satu batang bunga kenikir yang Rey bawa kemarin.
Ia memasukkan semuanya ke dalam vas kecil. Lalu menaruhnya di pojok rak, di bawah cahaya jendela.
Ia menulis label kecil:
> Untuk apa yang sedang tumbuh, tanpa tergesa, tanpa harapan dipaksakan.
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Lena tersenyum bukan karena pelanggan, bukan karena bunga, tapi karena sesuatu di dalam dirinya sendiri.
Ia tidak tahu apakah Rey akan kembali sore ini.
Tapi jika ia datang, Lena akan menyambutnya.
Dan jika tidak, Lena tetap akan merawat bunganya.
Karena beberapa hal memang butuh waktu untuk mekar.
Dan Lena… sudah bersiap menunggu.