Sejak pertemuan dengan Rani, Lena tidak bisa sepenuhnya tenang.
Ia tidak marah. Tidak juga cemburu. Tapi ada kegelisahan kecil yang menyelinap pelan, seperti kabut pagi yang tak diundang tapi enggan pergi. Mungkin karena Rani datang dengan tenang, dengan nada bicara yang jelas mengenal Rey lebih dalam dari apa pun yang Lena tahu sekarang. Mungkin juga karena tatapan mata Rani saat menyebut nama Rey—bukan tatapan kekasih, tapi ada sesuatu di dalamnya. Perhatian. Kekhawatiran. Bekas.
Dan Lena tidak tahu harus menaruh perasaan itu di mana.
Pagi itu, Lena menyiram bunga seperti biasa. Tapi gerakannya tidak serileks biasanya. Tangannya sedikit lebih cepat, pikirannya lebih sibuk.
“Kenapa kamu gelisah karena hal yang bahkan belum kamu miliki?” gumamnya sendiri.
Tapi pertanyaan itu tak membuat gelisahnya pergi.
Rey datang siang itu, membawa pot kecil berisi tanaman herbal. “Aku pikir kamu suka ini,” katanya sambil meletakkan pot itu di dekat kasir.
Lena menatap pot itu—daunnya hijau pucat, sedikit menggulung. “Daun mint jenis baru?”
“Spearmint. Katanya aromanya lebih ringan.”
Lena mengangguk. “Terima kasih.”
Mereka bicara seperti biasa. Tentang bunga. Tentang hujan. Tentang kopi di toko seberang yang menurut Rey terlalu pahit tapi tetap ia beli karena baristanya ramah.
Tapi Lena sadar: hari ini, ia lebih diam dari biasanya.
Dan Rey pun menyadarinya.
“Kamu terlihat jauh,” katanya.
Lena menatapnya. “Tidak, aku hanya… lelah.”
Rey tidak mendesak. Ia hanya duduk di kursi dekat jendela dan memutar-mutar pena di jarinya.
Beberapa menit berlalu dalam sunyi. Di luar, angin meniup daun kering di sepanjang jalan. Di dalam, hanya terdengar dengung kipas tua dan sesekali gesekan kertas dari buku catatan Rey.
“Kamu sering diam kalau sedang berpikir, kan?” tanya Rey akhirnya.
Lena mengangguk. “Dan kamu terlalu peka kalau orang sedang diam.”
“Sudah sejak kecil,” kata Rey. “Kamu dulu juga sering begitu. Diam, lalu menulis sesuatu di kertas bungkus permen.”
Lena tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka kamu masih ingat semua itu.”
Rey tidak menjawab. Tapi sorot matanya menjelaskan semuanya—bahwa ia mengingat jauh lebih banyak daripada yang ia ceritakan.
Lena berdiri, mengambil teko teh dari belakang.
“Rey,” katanya sambil menuang ke cangkir. “Kamu datang ke sini untuk tinggal... atau hanya singgah?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja.
Sunyi mengental.
Rey menatapnya lama. “Aku... belum tahu.”
Lena mengangguk. Ia tak kecewa. Hanya ingin tahu. Tapi mungkin justru karena jawaban itu jujur, hatinya terasa lebih berat.
“Aku tidak ingin kamu merasa harus menjawab sesuatu yang kamu sendiri belum yakin,” katanya pelan.
Rey menunduk. “Aku mengerti. Tapi aku juga tidak ingin kamu menunggu sesuatu yang belum pasti.”
Lena memegang cangkirnya erat. Hangat teh meresap ke telapak tangan, tapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya.
“Aku tidak menunggu,” jawabnya. “Aku hanya tidak ingin jadi orang yang kembali luka karena berharap terlalu banyak.”
Rey berdiri. Langkahnya pelan, seolah hati-hati agar tidak mengusik suasana yang rapuh.
“Lena,” katanya, “aku mungkin belum tahu apa yang akan terjadi. Tapi setiap hari aku datang ke toko ini bukan karena bunga, atau buku, atau proyekku. Aku datang... karena kamu.”
Lena menatapnya, dan untuk sesaat, matanya berkaca. Tapi ia menahan.
“Aku tidak butuh janji apa pun, Rey,” ucapnya pelan. “Aku hanya ingin tahu... apakah kamu akan tetap datang saat bungaku tidak mekar.”
Rey tersenyum kecil. “Mungkin saat bungamu tidak mekar, justru saat kamu paling butuh teman.”
Dan dengan itu, ia pergi.
Lena tidak mengejarnya. Ia hanya berdiri di balik etalase, menatap hujan tipis yang turun pelan.
Di dadanya, ada rasa yang tumbuh.
Tapi bersama rasa itu, juga tumbuh... ragu yang tidak bernama.
Rey tidak datang ke toko selama dua hari.
Lena mencoba bersikap biasa. Toko tetap buka seperti biasa. Bunga tetap dipangkas, pesanan tetap dicatat, pelanggan tetap disambut dengan senyum tipis yang sama.
Tapi ada ruang kosong yang tidak bisa ia isi.
Setiap kali bel pintu berdenting, matanya otomatis menoleh—lalu menyesali harapannya sendiri. Setiap langkah kaki terdengar di trotoar, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—lalu melambat kembali dalam sunyi.
Di malam kedua, Lena duduk di meja belakang toko sambil memandangi potongan kertas bekas pembungkus bunga. Di satu sudut, ada coretan kecil tulisan tangan Rey—catatan tentang nama bunga yang pernah mereka pelajari bersama.
Lena menyentuhnya pelan. Hanya tinta di atas kertas, tapi terasa lebih hidup daripada banyak hal lain yang ada di sekelilingnya.
Kenapa ia gelisah karena seseorang yang belum benar-benar ia miliki?
Kenapa ia merasa ditinggalkan, padahal tak ada janji yang dilanggar?
Pertanyaan itu terus berputar, seperti angin yang menyusup dari celah jendela.
---
Pagi ketiga, toko masih sepi. Langit mendung. Dan Lena memutuskan untuk berjalan kaki ke ladang kecil di belakang rumahnya.
Di sana, tanah masih basah, dan rumput masih menyimpan sisa embun malam. Ia duduk di atas tikar tua yang dulu biasa ia gunakan saat merangkai bunga di luar ruangan. Di sekelilingnya, rerumputan liar tumbuh tanpa aturan. Tapi di matanya, itu bukan semak—melainkan taman yang belum diberi nama.
Dan di sanalah ia mendengarnya.
Langkah kaki pelan di antara rumput.
Lena menoleh.
Rey berdiri di ujung ladang, menenteng sesuatu dalam tas kain lusuh.
“Aku pikir kamu butuh teman,” katanya pelan.
Lena tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat agar Rey duduk di tikar yang sama.
Sunyi di antara mereka bukan karena tak ada yang ingin dibicarakan—tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.
“Aku butuh waktu sendiri,” akhirnya Rey berkata. “Bukan karena ingin pergi dari kamu. Tapi karena aku harus jujur pada diriku sendiri dulu sebelum bisa jujur ke orang lain.”
Lena menatapnya. Kali ini tak ada kemarahan, hanya ketenangan yang mengambang seperti kabut tipis.
“Apa yang kamu cari sebenarnya, Rey?”
Rey menunduk. Tangannya membuka tas kain dan mengeluarkan sebuah bingkai foto kecil—berisi gambar anak kecil laki-laki dan perempuan yang tertawa lepas di bawah pohon.
“Itu kita?” tanya Lena, nyaris berbisik.
Rey mengangguk. “Ibuku menyimpannya. Aku baru menemukannya dua hari lalu saat membereskan gudang rumah lama.”
Lena menyentuh foto itu. Mereka begitu muda, begitu bebas. Dunia mereka hanya seukuran kebun dan pohon tua.
“Dulu, semua terasa sederhana,” katanya.
Rey mengangguk. “Tapi sekarang aku tahu, aku tidak bisa mengulang masa lalu. Aku hanya ingin tahu... apakah aku masih bisa menanam sesuatu yang baru di tempat yang dulu pernah kutinggalkan.”
Lena menatap rumput liar di sekeliling mereka. “Mungkin tidak semua ladang bisa ditanami ulang.”
“Mungkin,” kata Rey. “Tapi beberapa bunga tumbuh justru dari tanah yang pernah retak.”
Kata-kata itu menggema lama di kepala Lena.
Ia tak tahu apakah yang tumbuh di antara mereka adalah cinta, atau hanya perasaan terikat karena masa lalu. Tapi ia tahu, Rey tidak datang hanya untuk singgah. Setidaknya, tidak dengan niat yang ringan.
Rey mengeluarkan satu lagi benda dari tasnya: buku catatan cokelat tua.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya.
Ia membuka halaman yang penuh coretan, lalu membalik ke halaman kosong.
“Mulai hari ini, aku ingin mencatat ulang semuanya. Bunga yang kita temui. Cerita orang-orang di sekeliling kita. Dan... apa pun yang kamu mau tulis juga.”
Lena mengernyit. “Kenapa aku?”
“Karena ini tidak akan berarti kalau hanya aku yang menyimpan.”
Lena mengambil pena yang Rey sodorkan. Tangan mereka bersentuhan sesaat—singkat, tapi cukup untuk membuat d**a Lena bergetar.
Di halaman pertama, ia menulis:
> “Hari ini, rumput liar menjadi taman. Dan seseorang kembali, bukan untuk menjelaskan—tapi untuk tinggal.”
Rey membaca tulisan itu, lalu menutup bukunya perlahan.
“Jadi,” katanya sambil menatap Lena, “kita mulai dari sini?”
Lena tidak menjawab dengan kata. Ia hanya mengangguk. Tapi dalam anggukan itu, ada harapan yang perlahan merekah.
Dan sore itu, langit yang mendung pun perlahan membuka celah.
Sore itu mereka berjalan pulang berdua, pelan-pelan, menyusuri jalan setapak di antara kebun sayur dan semak liar. Langit mulai berganti warna—dari biru pucat menuju oranye keemasan. Dan di sela langkah, Lena mendengar suara hati Rey lebih jelas dari sebelumnya.
“Aku tinggal di Jakarta hampir sepuluh tahun,” ucap Rey pelan. “Kota itu cepat sekali. Segalanya berjalan sebelum kau sempat berpikir.”
Lena menoleh sejenak, lalu kembali menatap jalan.
“Awalnya kupikir aku cocok di sana. Sibuk. Produktif. Tidak sempat berpikir tentang... yang lain.”
“Yang lain?” tanya Lena tanpa menoleh.
Rey mengangguk. “Hal-hal yang dulu kutinggalkan. Termasuk desa ini. Termasuk kamu.”
Lena tidak menjawab. Hanya suara sandal mereka yang terdengar menapak tanah lembap.
Rey melanjutkan, “Lalu aku mulai kehilangan arah. Aku kerja terus. Sampai lupa rasanya tidur tanpa mimpi buruk.”
Kata-katanya menggantung. Lena menoleh, dan kali ini menatap langsung.
“Mimpi buruk?”
Rey tertawa kecil. Pahit.
“Orang tuaku cerai tahun keempat aku di Jakarta. Kakakku pindah ke luar negeri. Aku tinggal sendiri. Dan... aku kehilangan seseorang yang penting.”
Lena merasa dadanya mengencang. Ia tahu ini bukan tentangnya, tapi mendengarnya tetap terasa berat.
“Teman dekat?” tanyanya hati-hati.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Rey. “Kami kerja bareng. Tapi aku terlalu sibuk buat benar-benar hadir. Aku sering bilang aku peduli, tapi buktinya nggak pernah sampai. Sampai akhirnya... dia pergi.”
Lena menelan ludah. Rani?
“Namanya Rani?” tanyanya tanpa sadar.
Rey menoleh, sedikit terkejut. “Kamu tahu?”
“Dia datang ke toko. Mencari kamu.”
Rey terdiam. Langkahnya melambat.
“Aku gak marah,” kata Lena cepat. “Aku hanya ingin tahu, apakah... kamu kembali karena luka itu, atau karena—”
“Aku kembali karena aku kehilangan arah, Lena,” potong Rey. “Dan aku sadar, satu-satunya tempat yang bisa jadi kompasku adalah tempat ini.”
Lena menunduk. Ada getaran di hatinya yang tak bisa ia jelaskan.
“Aku tidak datang untuk mengulang cinta lama. Aku tidak datang untuk menggantikan orang lain. Tapi kalau kamu datang... untuk membangun sesuatu dari nol, aku akan diam dan dengar,” katanya pelan.
Rey berhenti berjalan.
“Kamu tahu, Lena?” katanya. “Aku belum selesai dengan diriku sendiri. Tapi anehnya... saat bersamamu, aku merasa bisa pelan-pelan membereskan kekacauan itu. Bukan karena kamu menyembuhkan. Tapi karena kamu tidak menuntutku jadi sembuh.”
Lena terdiam.
Hatinya tidak meledak karena kata-kata itu. Tapi justru bergetar pelan. Seperti permukaan air yang disentuh ujung jari.
“Kalau aku menerima itu semua,” katanya pelan, “aku tidak mau setengah.”
Rey menatapnya. “Aku tahu.”
“Aku bukan tempat singgah, Rey. Bukan pot bunga sementara.”
Rey tersenyum tipis. “Dan aku bukan angin yang berembus lalu pergi.”
---
Malam itu, Lena duduk di meja tokonya sendirian. Di hadapannya, pot kecil spearmint dari Rey—daunnya mulai tumbuh, meski sempat layu.
Ia menyiramnya perlahan, lalu menaruh catatan kecil di bawah pot:
> “Yang butuh waktu tumbuh, akan punya akar paling dalam.”
Pikirannya masih penuh, tapi tidak kacau. Dadanya masih sesak, tapi bukan karena kecewa. Rasanya seperti membiarkan diri berdiri di ambang pintu—belum masuk, belum juga pergi.
Rey bukan jawaban. Tapi mungkin... ia adalah prosesnya.
Dan Lena siap berjalan pelan-pelan. Bersama. Atau sendirian.
Yang penting, langkahnya tetap jujur.