BAB 1: Servis Pertama di Simpang Lima
Sabtu sore di Mall Simpang Lima Semarang. Aroma kopi dan roti panggang mengambang di udara. Suasana ramai tapi tidak gaduh. Orang-orang datang dan pergi, seperti biasa. Di salah satu sudut kafe bernuansa hangat, Malda Miura duduk sendirian. Hoodie hitam menutupi sebagian wajahnya, celana training lusuh menandakan dia tidak sedang dalam misi bergaya. Matanya fokus ke layar ponsel.
"Xiaomu Redmi Note 14, harga miring, garansi resmi... lokasi Semarang... chat sekarang atau nyesel," gumamnya, setengah yakin, setengah ragu. Ia menyipitkan mata.
"Tipikal jebakan batman. Tapi... diskonnya terlalu manis buat ditolak."
Malda menggulir layar, menimbang risiko. Sudah terlalu sering ia melihat orang tertipu barang murah di internet. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tetap duduk di sini, menunggu. Entah firasat, atau sekadar harapan.
Tak lama, seorang pria paruh baya mendekat. Kaus bulu tangkis, celana pendek, topi Adidas jadul yang sudah agak pudar warnanya. Raut wajahnya tenang, tapi semangatnya menyala. Seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan pertandingan penting, meski mungkin hanya di lapangan bulu tangkis pinggiran.
"Kamu Malda ya? Saya Yulianto, penjual handphone yang... katanya terlalu murah untuk jadi kenyataan," katanya sambil tersenyum lebar.
Malda menyipitkan mata, setengah curiga, setengah geli.
"Bapak pasti bukan penipu. Soalnya kalau nipu, nggak mungkin pakai topi Adidas jadul begini," balasnya, nada suaranya ringan.
Yulianto tertawa. Suaranya renyah, seperti kue yang baru matang.
"Wah, ini topi penuh sejarah, lho! Dulu saya pakai pas tanding antar-RT tahun ‘98. Masih juara dua... karena yang juara satu ketua RT-nya sendiri."
Malda tertawa kecil. Suasana mulai mencair. Ia mengangguk pelan.
"Oke, saya percaya sekarang. Mana handphonenya?"
Yulianto membuka ransel kecilnya dan mengeluarkan kotak ponsel dengan gerakan dramatis, seolah sedang menyerahkan trofi Thomas Cup.
"Ini dia. Masih segel. Tapi bukan segel nikah, ya. Hehe."
Malda tak bisa menahan tawa. Ia mengambil kotaknya, membuka segel pelan, dan memeriksa isinya. Matanya fokus, gerakannya cepat dan teliti. Bekas atlet, naluri kompetitifnya masih hidup.
"Kok bapak ngerti banget ya soal spek hape? Tadi di chat kayak reviewer YouTube," katanya sambil terus memeriksa.
Yulianto tersenyum bangga.
"Biasa. Saya mantan pemain bulutangkis yang terpaksa banting raket ke bisnis online. Kalau main ganda, saya pasangannya sama algoritma marketplace."
Malda tertawa keras. Obrolan yang tadinya hanya transaksi mulai berubah arah.
"Eh, saya juga mantan... mantan pelari. Atletik. Sempat ikut PON," ucapnya perlahan.
Mata Yulianto membulat, terkesima.
"Wah serius? Pantas... saya dari tadi ngerasa kamu kayak lari dari kenyataan, eh... maksudnya... lincah!"
Malda mengangkat alis, pura-pura serius.
"Itu gombal atau refleks servis cepat?"
Yulianto mengangkat tangan, seolah menyerah.
"Sumpah, itu murni... servis dadakan. Bukan flip servis lo."
Mereka tertawa bersamaan. Tawa yang tidak dibuat-buat. Bersamaan itu juga, seorang barista datang mengantar pesanan mereka—dua gelas kopi dan sepiring roti bakar.
"Kamu suka atletik, saya bulutangkis. Sama-sama olahraga, tapi kamu larinya di track, saya larinya pas dikejar tagihan cicilan," kata Yulianto, mengambil cangkirnya.
Malda yang saat itu tengah menghirup kopi pelan. Aroma robusta menyentuh hidungnya, nyaris tersendak gara-gara mendengar perkataan Yulianto.
"Untunglah kita ketemunya di tengah-tengah. Di kafe. Bukan di lapangan. Kalau di tempat lain, bisa-bisa dipikir ikutan ngambil hutang donk."
Yulianto tersenyum.
"Mungkin juga ini servis pertama... yang bukan di lapangan, tapi di hidup kita."
Malda menatapnya sejenak. Entah kenapa, kalimat itu terasa lebih dalam dari yang seharusnya. Bukan cuma candaan. Seolah hidup benar-benar memberi mereka servis pertama—awal dari pertandingan yang tak tahu akan berakhir di mana.
Ia menatap keluar jendela, melihat lalu lalang orang di pelataran mall. Tiba-tiba kenangan lama datang seperti angin sore yang menyelinap di sela pintu. Lapangan atletik, peluit, sepatu paku, dan suara riuh penonton yang dulu mengiringi langkahnya. Semua terasa jauh, seperti potongan film hitam putih yang berdebu.
"Waktu itu, saya lari bukan karena suka, tapi karena saya harus menang," gumam Malda, lebih kepada dirinya sendiri.
Yulianto meliriknya, mendengarkan tanpa menyela.
"Papa saya keras. Waktu kecil, saya cuma boleh main kalau udah latihan. Waktu remaja, saya cuma boleh refreshing kalau udah juara. Pas saya cedera, semua diam. Nggak ada yang tanya, 'kamu sakit nggak?', 'kamu capek nggak?'... yang ada cuma, 'kapan bisa balik lari lagi kapan?'"
Yulianto menaruh cangkirnya perlahan. Wajahnya tak lagi jenaka. Hanya tenang.
"Saya juga pernah begitu," katanya akhirnya. "Waktu gagal masuk pelatnas, saya ngumpet dua minggu. Bukan karena malu sama orang luar, tapi karena takut dibilang nggak cukup hebat sama orang rumah."
Mereka terdiam beberapa saat. Suasana kafe tetap ramai, tapi seperti jadi latar suara belaka.
"Terus sekarang kenapa jualan HP?" tanya Malda, memecah hening.
"Karena hidup harus tetap diservis," jawab Yulianto sambil nyengir. "Dan kadang, yang paling butuh upgrade bukan barangnya... tapi kita."
Malda mengangguk pelan. Jawaban itu anehnya masuk akal. Lucu, tapi mengena. Seperti orang ini—tua, tapi terasa segar.
Saat Malda menyeruput sisa kopinya, Yulianto mengeluarkan sesuatu dari tas. Sebuah brosur kecil yang dilipat empat. Ia menyodorkannya.
"Ini acara fun run minggu depan. Nggak jauh-jauh amat, cuma 5K. Saya ikut, sih. Walau sekarang larinya lebih banyak gaya daripada kecepatan. Kalau kamu mau, ya... siapa tahu, bisa jadi pemanasan. Bukan buat lomba, tapi buat semangat."
Malda menatap brosur itu. Kertasnya lusuh, desainnya sederhana. Tapi dadanya seperti diketuk pelan.
"Saya pikirin dulu, Pak."
"Yuli aja. Biar kayak nama panggilan di tim bulu tangkis."
Mereka tertawa lagi. Tapi di balik tawa itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Mungkin bukan cinta. Belum. Tapi rasa penasaran, rasa nyaman, dan rasa ingin tahu yang tak bisa ditolak.
Yulianto meraih ranselnya dan bersiap berdiri, tapi sebelum benar-benar pamit, ia berkata sambil setengah bercanda, "Oh iya, kalau kamu pengin nonton film—apa aja, kapan aja, di bioskop mana aja, tinggal bilang. Saya punya jalinan kerjasama sama XXI dan Cinepolis."
Malda menaikkan alis, setengah tak percaya. "Serius, Pak?"
"Iyalah. Saya ini kadang nulis resensi film. Kadang juga cuma bikin sinopsis buat web TIX ID dan kanal YouTube temen. Jadi ya, suka dikasih jatah tiket. Lumayan buat hiburan. Daripada hidup terlalu serius, nanti cepat aus," katanya sambil menyeringai.
Malda tertawa kecil. Dalam hatinya, ia membatin: Bapak ini baik banget. Terlihat jujur. Lucu lagi.
Mereka sama-sama berdiri. Tak ada janji atau rencana yang dibuat sore itu, tapi masing-masing membawa pulang satu hal yang sama: senyum.
Dan di luar kafe, matahari memang sudah tenggelam. Tapi hati mereka, seperti baru menemukan cahaya yang berbeda.