Matahari pagi baru saja menyelinap dari ufuk timur, menembus celah tirai tipis jendela kontrakan sederhana di Semarang Barat. Yulianto membuka mata dengan berat, seolah semalam tubuhnya tidur tapi pikirannya terus berjaga. Kantung matanya tampak menghitam, rambutnya acak-acakan, dan ada kerutan kecil di dahi yang menandai betapa tidak nyenyaknya ia semalam. Di meja kecil samping ranjang, sebuah rosario masih tergeletak, terlilit di jari-jari tangannya yang belum benar-benar rileks. Ia menatapnya sebentar, menarik napas panjang, lalu duduk bersandar di ranjang. Pagi ini seharusnya seperti pagi biasa: minum kopi, membaca berita, lalu berangkat ke Perpustakaan Daerah Jawa Tengah untuk ikut acara pembekalan literasi. Tapi entah mengapa, dadanya masih terasa penuh sesak. "Kenapa perasaan ini

