Gereja Katedral St. Antonius Padua pagi itu dipenuhi cahaya yang jatuh melalui kaca patri, memantulkan warna-warni lembut ke dinding-dinding batu tua. Udara terasa hangat meski angin pagi menyelusup dari celah-celah jendela tinggi. Lonceng gereja berdentang tiga kali—pertanda bahwa ritus sakramen pernikahan akan segera dimulai. Tamu-tamu telah memenuhi bangku-bangku panjang. Ada yang datang dari luar negeri, ada pula yang datang dengan bus kecil. Namun tak satu pun dari mereka tampak asing. Semuanya tersenyum, seolah ikut memiliki hari itu. Yulianto berdiri di depan altar dengan setelan jas abu lembut dan pin berbentuk pena emas di dadanya—simbol perjalanannya sebagai penulis dan saksi kehidupan. Tangannya gemetar ringan, bukan karena gugup, tapi karena kehadiran seseorang yang tak perna

