"Kau sudah tahu ke mana tujuan mu, Marsha?" Tanya Marcel. Saat ini keduanya berada di depan rumah sakit. Menunggu jemputan dari Gocar pesanan Marcel. Yang akan mengantar dirinya dan Marsha.
"Rencana awal aku datang ke sini, aku akan memesan hotel. Setelah itu mencari tempat tinggal untuk aku menetap. Kos-kos an, mungkin."
"Kondisimu sedang tidak baik untuk di hotel sendirian. Ikut denganku, ada kamar kosong di apartemenku," tawar Marcel.
"Kita tidak ada hubungan apapun untuk--"
"Kau tidak perlu khawatir, di lantai apartemenku hanya ada dua apartemen saling berhadapan. Dan tetanggaku itu jarang berada di apartemen. Setahun bisa tiga sampai empat kali tinggal di sana," potong Marcel. Ia menatap Marsha dengan senyum di wajahnya. "Tidak maksud menyindir mu, di kondisimu sekarang. Apartemen lebih baik daripada kos-kos an. Di sana, tidak akan ada tetangga yang akan menyakiti hatimu."
Marsha menunduk, menatap sepasang kaki berbalut sepatu miliknya. Dirinya baru mengenal Marcel tapi pria itu sangat baik padanya. Memikirkan yang tidak ia pikirkan.
"Marsha."
Marsha mengangkat kepalanya, ia membalas senyum Marcel tadi. "Kau begitu baik padaku, Marcel. Padahal, kita baru berapa jam lalu saling menyebut nama. Maaf, aku harus merepotkan mu sekali lagi."
"Tidak, kau tidak merepotkan ku sama sekali. Aku senang, memiliki teman baru. Lagi pula, aku tidak selalu pulang ke apartemen. Biasanya aku akan tidur di kantor. Sayang kalau apartemen itu tidak digunakan."
"Apa gunanya kau membeli apartemen?"
"Sekedar singgah, Marsha. Pekerjaanku mengharuskan ku bolak balik Jakarta-Yogyakarta. Setidaknya sebulan, ada seminggu aku di sini."
Marsha mengangguk paham.
"Jadi bagaimana? Mau ya?"
"Aku mau jika kau mengizinkanku membayar setiap bulan untuk tempat tinggal mu."
"Kau tidak per--"
"Iya, atau aku memilih cari tempat tinggal sendiri," potong Marsha cepat. Tak enak bukan jika harus tinggal secara gratis.
"Baiklah."
"Kau harus menentukan perbulannya."
"300 per bulan."
Marsha melotot. Harga yang tidak masuk akal. Mana ada sekelas apartemen di bayar 300 per bulan. "Jangan bercanda Marcel. Aku tahu biaya apartemen itu tidak murah, biaya perawatan pun bukan suatu yang murah."
"Jika kau bisa memberiku pilihan, maka aku juga bisa memberimu pilihan. 300 perbulan atau gratis." Wajah Marcel menunjukkan kemenangan.
"Kau licik, Marcel."
Marcel tertawa. "Sekarang bukan waktunya berdebat, Marsha. Jemputan kita sudah sampai."
***
Sampai di tempat tinggal barunya, Marsha tercengang melihat kondisi apartment Marcel. Cukup rapi dan luas. Antara dapur dengan meja bar mini, ruang makan serta ruang tengah multifungsi, bisa digunakan untuk ruang tamu dan ruang menonton televisi, di antara ruang-ruang itu memang tidak memiliki sekat. Terlihat nyaman untuk ditinggali.
"Lihat, hunian mu! Ini bukan apartment yang pantas untuk sewa 300 per bulan, Marcel."
Seolah tuli, Marcel melewati Marsha. Di tangan pria itu membawa kantong kresek berukuran sedang, berlogo salah satu supermarket ternama di negara ini.
"Marcel!"
Marcel membalikkan badannya. "Aku mau membuatkan sesuatu untukmu. Lebih baik kau duduk manis di sana." Mata Marcel mengarah pada sofa-sofa berjajar di ruang tengah. "Ingat, kehamilan mu masih muda. Itu cukup rentan, Marsha."
"Tapi Marcel--"
"Dan satu lagi, aku tidak ingin berdebat soal itu lagi. Harga sudah ku putuskan. Jika kau ingin membayar, bayarlah sesuai yang aku inginkan."
Marsha menggeleng pelan, pria itu terlalu baik atau memang keras kepala sih. Atau, bisa juga kebaikan pria itu nantinya akan sama seperti orang-orang yang dikenal sebelumnya. Meminta balas budi, yang akan menyakitinya. Tidak. Dirinya tidak boleh menyamaratakan orang dengan kondisi yang pernah dialaminya. Itu tidak adil untuk mereka nanti. Orang-orang yang hadir di kehidupan barunya.
Menurut, Marsha memutuskan untuk duduk di panjang di dekatnya. Kebetulan, ponsel di tangannya bergetar. Itu pasti dari Mommynya. Ia lupa untuk menghubungi setelah sampai di tempat tujuan.
"Hallo, Mom."
"Sudah sampai, Nak?" Suara diseberang sana menjawab dengan pertanyaan.
"Sudah, Mom."
"Ini lebih dari dua jam dari waktu seharusnya kau sampai di Yogya loh. Lupa ya, menghubungi Mommy ini." Marsha meringis, ia merasa tersindir. Sindiran yang tepat dan benar.
"Maafkan aku, Mom."
"Baiklah akan, Mom maafkan kali ini. Tapi tidak untuk lain kali ya. Kau ingat kau punya Mom yang selalu mengkhawatirkan mu. Mom takut terjadi apa-apa denganmu tahu."
"Marsha ini untukmu."
Marsha melihat Marcel sudah berada di dekatnya sembari membawa nampan berisi segelas s**u dan roti.
"Suara siapa itu, Marsha? Kau di mana? Kenapa ada suara laki-laki?"
Marsha memukul keningnya sendiri.
"Marsha jawab, Mom!"
Ketegasan suara di sana, membuat Marsha menghela nafasnya. "Dia orang baik, yang sudah membantuku mendapatkan tempat tinggal, Mom."
"Oh ya, bukannya rencana mu tinggal di hotel dulu ya?"
"Niat awal memang seperti itu, Mom. " Marsha menggigit bibir bawahnya, ia bingung. Haruskah ia jujur pada orang yang sudah dianggapnya ibu. Atau memilih berbohong dan menimbulkan kecurigaan. "Mom, sebenarnya sampai di stasiun aku kehilangan kesadaran."
"Kau pingsan , Nak?"
"I-iya, Mom."
"Oh astaga. Kenapa bisa, Sayang? Terus kondisimu sekarang bagaimana?"
"Syukurnya, Marsha baik-baik saja, Mom. Orang yang menolong Marsha, meminta Marsha tinggal di sini, Mom."
"Penolong mu laki-laki?"
Marsha sontak menganggukkan kepalanya. Hal yang tentunya tidak dapat dilihat oleh Catherina.
"Marsha."
"Iya, Mom."
"Serahkan ponselmu ke dia. Mom mau bicara."
"Mom."
"Serahkan, Marsha."
Marsha melirik Marcel. Pria itu sudah kembali ke dapur dan berkutat di sana. Menghembuskan nafas kasar, mau tidak mau Marsha menghampiri Marcel.
"Marcel." Marcel pun menghentikan pekerjaannya memotong wortel. Entah, pria itu dapatkan dari mana.
"Ada apa? Kau butuh sesuatu?"
"Ibuku ingin berbicara denganmu."
Marsha menyodorkan ponselnya. Namun sebelum itu, ia mendekatkan diri ke arah Marcel. Berbisik sesuatu ke telinga Marcel, "Tolong jangan katakan mengenai hal itu. Aku akan mengatakannya sendiri."
Marcel mengangguk mengerti. Wajah Marsha menunjukkan kelegaan. Kemudian, memilih kembali ke ruang tengah. Meninggalkan Marcel berbicara dengan Mommy nya. Tidak menampik, jika dirinya percaya pada Marcel. Hatinya menetapkan, bahwa Marcel itu pria baik. Sangat baik.
Senyum Marsha terukir. Di ambillah s**u dan roti selai di depannya. Lalu kemudian memakannya. Tidak menyangka sama Marcel. Pria itu tadi, meminta berhenti di depan supermarket. Ternyata membelikannya s**u ibu hamil dan roti untuk ia makan. Tak sengaja matanya menangkap hal itu di pantry dapur tadi.
Dengan mata berkaca, Marsha habiskan makanan dan minuman di tangannya sekarang. Menghargai apa yang telah Marcel berikan untuknya.
"Duh, aku seperti berhadapan dengan mertua. Deg-deg an, takut di kebiri."
Marsha tersenyum mendengar gerutuan Marcel, rambut pria itu tampak acak. Entah, apa yang Mommynya bicarakan hingga membuat Marcel tampak sefrustasi itu.
"Mommy ku bicara apa?"
"Tidak ada. Dia hanya memperingatkan ku untuk tidak macam-macam kepada putrinya yang cantik," jawab Marcel, sedikit gombalan diselipkan di sana.
Mendengar itu, Marsha kembali tersenyum.
"Wah, parah. Aku senang kau tersenyum. Tapi senyummu itu bahaya untukku."
"Hemm?"
"Senyummu membuat jantungku rasanya mau copot."
"Gombal!" kata Marsha. Senyum tak luntur dari wajahnya.
Marcel pun ikut mengumbar senyum. Hatinya menghangat. "Jujur, aku lebih suka kau tersenyum dari pada melihat sorot sedih di matamu."
Sepasang mata Marsha menyendu. Ia tak memungkiri kemalangan dirinya. Dan kehadiran sosok di depannya, mungkin akan sedikit memberi warna dalam hidup barunya ini. Yang akan ia mulai.
"Terima kasih untuk semua bantuan mu, Marcel."
"Kau harus sehat, Marsha. Jaga kandunganmu. Entah kenapa, aku menyayangi anakmu sebelum dia lahir. Aku merasakan sensasi seolah aku bahagia mendapat kabar bahwa aku akan jadi seorang ayah. Aku jadi tidak sabar menunggu dia lahir. Jadi Marsha, seberat apapun itu. Jangan sungkan untuk meminta atau menerima bantuan dariku. Aku akan ikut menjaga mereka bersamamu."
Marsha menangis, ia terharu. Bibirnya pun bergetar dengan tak henti-hentinya mengucapkan kata terima kasih.