Tak Marsha sangka, Tuhan begitu baik padanya. Di saat sebagian orang-orang yang mengenalnya menyakitinya, Tuhan menghadirkan orang-orang baru dan baik untuk membantunya. Catherina dan Marcel, kehadiran keduanya seperti malaikat.
Seminggu sudah berlalu sejak hari itu. Tinggal di apartemen ini, ia seolah ratu. Marcel begitu memanjakannya dengan dalih kehamilan muda nya.
Berbicara tentang kehamilan, Marsha belum memberanikan diri berbicara pada Mommynya. Ia takut, Mommynya akan mengecapnya sebagai wanita tak baik. Mommynya memang tahu tentang perlakuan keluarganya pada dirinya. Yang Mommynya tidak tahu, perlakuan orang itu padanya.
Marsha membelai perutnya. Sejak tadi ia termenung di balkon kamar. Sementara Marcel sudah pergi bekerja pagi-pagi tadi. Rencananya pria itu akan kembali ke Jakarta besok.
Marcel menyiapkan banyak hal untuknya. Isi kulkas yang penuh akan sayuran, buah, ikan, ayam, daging dan sebagainya sudah tersedia di sana. Marcel tidak ingin, dirinya kerepotan berbelanja. Jangan harap ia terima begitu saja, debat tentu saja menjadi hal yang lumrah baginya. Sayangnya, ia tidak pernah menang.
Baru akan mau meninggalkan balkon kamar, Bel apartemen berbunyi. Marsha mengambil langkah lebar keluar kamar dan untuk menuju pintu utama.
Karena dirinya baru tinggal di sini, Marsha mencoba memastikan dulu siapa yang datang sebelum membuka pintu. Takutnya itu orang asing yang tak dikenalnya tapi Marcel kenal atau malah tidak kenal. Ia sudah putuskan, jika penampilan orang di balik pintu sana berpenampilan baik dengan wajah yang tidak menunjukkan keseraman, pintu ini akan suka rela ia buka. Itu pasti.
Mengintip melalui lubang kecil di pintu. Setelah dapat terlihat sosok di balik sana, Marsha menegakkan tubuhnya. Alangkah terkejutnya ia, orang yang hadir adalah ...
"Mommy!"
... Yap, Mommynya sendiri ternyata.
***
"Mommy mengejutkanku," ujar Marsha dari arah dapur setelah mengambilkan minuman untuk Mommynya itu.
"Yah, bukan kejutan jika Mommy memberitahu mu 'kan?" Balas Catherina seraya memperhatikan Marsha yang kini duduk di sampingnya.
"Kejutan yang luar biasa, Mom."
"Satu Minggu berpisah denganmu, rindu Mommy sudah tak terbendung lagi. Kelamaan kalau menunggu izin darimu, nanti."
Marsha tertawa. "Aku tidak mau Mom kelelahan kalau harus bolak balik ke sini."
"Usia boleh tua, tapi jiwa Mom jiwa muda. Jakarta - Yogyakarta tidak akan bisa membuat Mom capek."
Marsha menutup sepasang matanya, menikmati elusan lembut di puncak kepalanya. "Mom tahu dari mana alamatku."
"Tentu saja dari pemiliknya sendiri. Jika dia tidak memberi alamat mu, kau tidak akan Mom izinkan tinggal di sini."
"Marsha pikir, Marcel orang baik, Mom. Orang jahat tidak mungkin sampai repot-repot membantu Marsha sampai sejauh ini."
Catherina mengangkat bahunya. "Kita tidak bisa menilai seseorang sejak pertama bertemu. Awal yang baik belum tentu baik. Awal yang buruk belum tentu buruk. Tidak ada salahnya hati-hati dan waspada. Demi anak satu-satunya, Mom ini."
Hati Marsha mendengarnya. Selama ini tidak ada yang mengkhawatirkan dirinya, tidak peduli sedang apa, bagaimana dirinya. Ia merasa sendirian. Merasa dunia tidak menginginkannya untuk sekedar menapak bumi. Tampak sekali menyedihkan.
Tak buang waktu lama, Marsha berhambur ke pelukan Catherina. Memeluk Mommy nya erat, dengan hati yang terus memanjatkan syukur.
"Aku bersyukur bertemu denganmu, Mom."
Catherina membalas pelukan Marsha sama eratnya. Jujur, dirinya bukan orang yang bisa menerima orang dengan mudah. Tidak. Hanya pada anak ini, ia tidak merasa keengganan untuk mendekat. Hatinya terasa nyaman, pun dirinya terasa lengkap.
"Mom, juga bersyukur bertemu kamu, Nak. Sangat-sangat bersyukur."
Bibir Marsha tak tahan untuk tersenyum. Namun itu hanya sesaat, senyum itu hilang saat satu rahasia yang ia sembunyikan mampir di ingatan. Mommynya belum tahu tentang kehamilannya.
Haruskah ia jujur sekarang? Apa ini waktu yang tepat?
"Mom, ada yang ingin aku bicarakan denganmu?"
Catherina mengerutkan dahinya. "Apa?"
Menyembunyikan hal penting terlalu lama terutama dari wanita paruh baya yang sangat baik ini, bukanlah sesuatu yang bagus. Bagaimana pun Mommynya harus tahu, apapun risikonya harus di terima. Kemarahan sekalipun harus ia hadapi.
"Sebulan lalu, sebelum aku bertemu denganmu di taman. Seseorang--" Marsha menggigit bibir bawahnya, tidak sanggup menceritakan peristiwa pahit itu.
"Seseorang apa?" Penasaran Catherina.
"Seseorang telah memperlakukanku buruk, Mom. Orang itu--"
Marsha memandang Catherina, air mata sudah di pelupuk mata. Siap tumpah kapan saja. Dan benar, saat Catherina menyentuh pipinya, air mata itu jatuh.
"Menyentuhku, Mom. Dan sekarang ... " Marsha mencengkram erat pinggiran sofa yang ia duduki. Menutup kedua matanya, tak mau melihat raut wajah Catherina nanti setelah ia jujur. Kecewa, itu pasti. "... aku tengah berbadan dua. Aku hamil, Mom!"
Tangan Catherina di pipi Marsha melemas. "Kau bercanda, Nak?"
"Aku serius, Mom." Marsha memalingkan muka dari Catherina. "Saat aku baru sampai di Yogya dan pingsan kala itu, karena aku sedang mengandung, Mom."
"Maafkan aku, Mom. Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu. Tetapi jika kondisiku ini hanya bisa membuatmu malu. Mommy bisa lupakan aku, anak sepertiku tidak pantas menjadi anak Mom--"
Perkataan Marsha terpotong oleh pelukan tiba-tiba Catherina. "Tidak, sayang. Kau tidak salah. Jangan salahkan dirimu."
"Mom."
"Mom, tidak akan meninggalkan mu. Kau harus tenang."
"Maaf tidak memberi tahu mu dari awal Mom. Aku takut mengecewakanmu."
Catherina melepaskan pelukannya, ia ganti menangkup kedua belah pipi anaknya seraya menghapus airmata di sana. "Siapa yang melakukannya? Biar Mom--"
"Jangan, Mom!" Marsha menggelengkan kepalanya cepat. "Aku tidak ingin berurusan dengannya. Dia ... aku tidak ingin mengganggu keluarganya, Mom."
"Dia sudah menikah."
Marsha mengangguk.
"Ya Tuhan, Nak."
"Biar aku yang merawat anakku sendiri, Mom. Aku pasti bisa, Mom. Selama ada Mom di sampingku. Aku tidak butuh siapapun."
"Astaga, setelah aku banyak membantumu. Kau sama sekali tidak menganggap ku, Marsha. Dasar ratu tega!"
Sosok yang baru hadir itu mampu mengembalikan senyum Marsha kembali.
"Siapa itu?"
"Dia Marcel, Mom. Dia banyak membantuku juga."
"Hai, Mom!" Sapa Marcel.
"Mom ... Mom, kau bukan anakku!"
"Yak, tidak di telepon, tidak bertemu. Kau selalu menyalahkan ku."
"Bodoh!"
"Aku tidak bodoh, Mom!"
"Heh, aku bukan Ibumu!"
"Oke, Tante-tante." Marcel menyeringai melihat wajah memerah Catherina. Lucu sekali menggoda tante-tante. eits, pahami ya. Meski begitu dirinya tidak menyukai Tante-tante. Lebih baik menyukai anaknya yang cantik dan manis itu.
"Heh, aku memang Tante-tante. Tidak usah diperjelas. Aku tidak butuh!"
"Yak, salah lagi." Marcel menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Kali ini, senyuman Marsha terlihat Natural. Marcel menyukai hal itu. Tak apa ia selalu di salahkan, senyum itu mampu menguatkan dirinya.
Marsha merasa beruntung sekali, di pertemukan oleh dua orang ini. Hal yang selalu ia syukur sampai detik ini hingga ucapannya berulang. Jangan bosan ya.