7 tahun kemudian.
"Mama." Terdengar teriakan dari lantai atas, mengagetkan seorang wanita yang tengah asik membersihkan dapur.
"Ada apa, Sayang?" teriak wanita itu juga.
"Di mana stik drum ku?"
Wanita itu tersenyum, ia kemudian mematikan kompor. Kebetulan juga masakannya telah matang. Melepas appron yang sedari tadi melekat ditubuhnya lalu menaiki tangga menuju kamar sang anak berada.
Belum benar-benar turun, wanita itu dikejutkan oleh anaknya yang sepertinya akan turun kelantai dasar.
"Mama, tadi aku mau menemui Mama."
Senyum kembali terukir dibibir orang yang di panggil Mama. "Ada apa, Sayang?" Wanita itu menundukkan sedikit tubuhnya, mencium pipi sang anak.
"Biola ku di letakkan Om Marcel di atas lemari. Aku tak sampai, Mama."
"Ya udah, ayo kita ambil. Sekalian bantu adik Izy ya, dia kesusahan mencari stik drumnya."
Anaknya itu merengut, lucu. "Dia pelupa, Ma. Dia sendiri yang meletakkannya."
"Emang, kakak Cio tahu. Di mana adik Izy meletakkan stik drumnya?"
Anak kecil bernama Cio itu mengangguk. "Kemarin Izy buru-buru ke toilet, dia melempar sembarangan stik drum di kotak mainannya, Ma. Di pojok kamar dekat lemari," jelas Cio pada sang Mama.
"Mama, kak Cio, kenapa berdiri di tangga?"
Suara lembut dan cadel mengagetkan dua orang tadi.
"Tidak apa, Sayang. Mama dan kak Cio mau ke kamar kak Cio dan kak Izy."
"Kalau gitu, Ala ikut," ujar bocah perempuan kecil itu seraya menggenggam kedua tali tas ranselnya.
"Ya sudah, ayo!" ajak orang yang di panggil dua anak kecil itu Mama.
Dia adalah Marsha, Acio, Arizy dan Adara. Acio, Arizy dan Adara, mereka kembar tiga. Marsha sendiri terkejut atas perkataan dokter waktu itu ketika pemeriksaan rutin kehamilan. Tapi siapa yang tak senang. Di kelahiran pertama, dapat sekaligus melahirkan tiga buah hati walau ia harus melahirkan dengan operasi. Ya, meski tanpa seorang suami.
Masa kehamilan sampai melahirkan, Marsha masih berada di Yogyakarta. Tetap tinggal di tempat Marcel dan bekerja pula di tempat pria itu. Di restauran cabang baru milik Marcel. Sesuai perjanjian, setiap bulan ia rajin membayar tempat tinggalnya, 300 ribu perbulan. Sisa gajinya ia simpan untuk lahiran dan makan sehari-hari. Membeli bahan makan sih tidak terlalu sering. Setiap makan malam selalu makan di restoran. Dengan memasak bahana makanan sisa, yang nantinya jika di simpan kembali akan membusuk. Jadi lebih baik di olah untuk makan bersama pekerja lainnya.
Bicara tentang pekerjaan. Selama dua Minggu awal Marsha bekerja, semua tampak baik-baik saja. Para pekerja di sana cukup baik menyambut ke datangannya. Mereka sangat ramah dan pekerja keras. Keharusan membuat mereka berlaku demikian. Ya, sebagai tulang punggung keluarga, apapun akan di lakukan seperti dirinya dulu.
Hal yang Marsha kira, akan berjalan lancar pun baik. Ternyata tidak. Memang sejak awal kedatangannya, ia di perkenalkan sebagai pekerja baru. Ada salah satu pekerja menatapnya tidak suka. Marsha biarkan saja, karena memang interaksi dirinya dan pekerja tersebut tidak terlalu sering.
Namun, semua itu berubah di Minggu ke tiga. Entah pekerja itu tahu dari mana tentang kehamilannya. Seenaknya menyebarkan hal buruk tentangnya. Kata-kata pedas yang dulu Marsha takutkan pun terjadi. Para pekerja yang tadinya baik padanya, menjaga jarak darinya. Bagai badai menghantam saat itu. Datang tepat sekali saat ia sendiri di Yogya. Marcel berada di Jakarta, dan Mommynya tidak bisa berkunjung. Ia sendirian dengan ketakutan yang besar serta air mata, tak henti mengalir.
Syukurnya, badai buruk itu hanya terjadi tiga hari. Marcel kembali saat Marsha tak sadarkan diri sepulang dari bekerja. Bekerja yang tak benar-benar bekerja. Tidak ada yang mau membagi pekerjaan padanya. Bahkan saat ia akan melayani pembeli, seorang pekerja yang tak menyukainya itu membicarakan aibnya di depan pengunjung. membuat cerita secara berlebihan. Hingga beberapa pengunjung ikut menghinanya. Melontarkan kata-kata menyakitkan yang tak ia harapkan.
Datangnya Marcel membuat Marsha menjadi sedikit lebih tenang. Ia diharuskan bedrest di rumah sakit. Kandungan yang lemah dan kelelahan.
Entah, apa yang terjadi selama ia di rumah sakit. Suasana di restauran tampak berbeda saat ia kembali. Pekerja di sana datang menghampirinya, mengucap maaf. Kebingungan Marsha terjawab, ketika Marcel melakukan hal yang sama. Dari situlah Marsha tahu, pegawai yang membencinya itu telah di pecat. Sementara pegawai lain di sana, tidak lagi menghakiminya. Semua kembali seperti di awal. Hubungan baik terjalin sampai sekarang.
Marsha tahu, ia kuat bersama orang-orang yang menyayangi dan mengerti dirinya. Rasa syukur pada Tuhan selalu terucap, karena telah menghadirkan orang-orang baik di tengah cobaan yang ada.
Kini sudah hampir satu bulan ia kembali ke Jakarta bersama ketiga anak kembarnya.
Tinggal di belakang rumah besar milik Catherina dan kembali pada pekerjaan yang sama sebelum ia menikah. Editor. Di tempat berbeda. Tempat kerjanya kali ini milik teman baik Marcel. Rio.
Sekembalinya ia di Jakarta, ia dapat membeli sebuah rumah minimalis berlantai dua. Rumah yang cukup di tinggali empat orang dan yang paling penting berada di belakang rumah besar milik Catherina atas keinginan Catherina sendiri tentunya. Yaps, mereka satu perumahan hanya beda blok saja.
Jejeran blok Catherina adalah rumah-rumah besar untuk orang berduit. Ya, maklum saja. Orang kaya bebas melakukan apa saja dengan uangnya sendiri. Termasuk, membobol pagar batas antara rumah satu dengan rumah lain, seperti yang dilakukan Catherina. Membobol tembok pembatas antara rumahnya dan rumah anaknya -Marsha-, hal itu ia lakukan karena sang anak tidak ingin tinggal bersamanya. Supaya berkunjung juga jadi lebih mudah.
Bahkan Marsha sendiri sudah menduga dari awal, pastinya Mommynya akan melakukan sesuatu demi kesenangannya. Dugaannya benar. Semua itu terjadi. Pasalnya, rumah yang ditempatinya sekarang pilihan Catherina. Memang terbaik Mommynya itu. Best.
Marsha mengendarai mobil yang terpaksa ia beli atas paksaan Catherina juga, yang katanya berguna untuk mengantar anak-anak ke sekolah agar tidak kehujanan dan kepanasan. Benar juga sih. ia jadi tidak terlalu repot.
Emang dasarnya Marsha yang perhitungan, lebih memilih membeli mobil nano, mobil yang kisaran harganya dibawah 50 juta, daripada mengikuti saran Catherina untuk membeli mobil mewah. No! Kebutuhan anak-anak masih banyak. Alangkah baiknya di tabung.
Marsha mengkursuskan anaknya di salah satu tempat kursus musik di Jakarta. Kursus di sore hari dengan jadwal seminggu tiga kali. Kenapa kursus musik? karena memang ketiga anaknya ingin meniru teman mereka dulu di Yogyakarta, yang pandai bermain musik. Keinginan untuk ikut kursus musik hadir dari mereka sendiri. Marsha tidak bisa menolak, hal itu tentu sangat bagus untuk perkembangan sang anak. Semoga bisa berlanjut seterusnya.
Tentunya, mereka juga masih bersekolah umum. Taman kanak-kanak swasta di Jakarta. Baru memasuki ajaran baru seminggu lalu, berada di tingkat dua. Sebut saja TK besar. Di usia mereka 5 tahun jalan 6 tahun beberapa tiga bulan lagi. Anggap saja masih 5 tahun ya. Biar mudah.
Tidak ada hal lain bagi orang tua, selain mendukung setiap keinginan anak-anaknya, selama itu baik, bukan? Yang penting pendidikan di sekolah formal juga berjalan dengan baik.
"Mama antar sampai sini ya. Nanti mama jemput, kalian tunggu di pos penjaga sampai Mama datang. Ingat jangan ke mana-mana sebelum Mama datang, oke," nasehat Marsha pada ketiga anaknya.
"Baik, Ma," ujar ketiganya kompak.
"Ya sudah, masuk sana!"
Senyum Marsha mengembang melihat semangat ketiga anaknya. Senyum itu luntur ketika mengingat anaknya tidak memiliki akte kelahiran. Hanya surat kelahiran atas namanya sebagai ibu saja. Sedangkan nama ayah, kosong. Marsha tidak ingin menuliskan nama pria itu di sana. Pria itu pasti tidak akan terima. Sudah lama tidak mendengar kabar pria itu, terakhir surat kabar dihebohkan dengan pernikahan pria itu bersama temannya. Itupun beberapa tahun yang lalu. Sekarang, ia menghindari kabar tentang temannya, begitu pula tentang pria itu. Luka lama, memang harus di tutup.
Getar ponsel mengagetkan Marsha dari lamunan sejenaknya, nama Marcel tertera di sana.
"Hallo."
"Hallo, Mama cantik. Jadi ke sini?"
Marsha tersenyum mendengar panggilan Marcel untuknya sejak ia melahirkan.
"Jadi dong, aku tidak akan melewatkan makan gratis di restauran anda tuan Marcel yang terhormat," canda Marsha.
"Tentu saja, apa yang tidak untukmu." Di seberang sana Marcel tertawa ringan. "Kau harus mencicipi resep terbarunya, Mama cantik. Kau tahu, kau yang pertama."
"Wah, jadi tersanjung. Seperti tamu kehormatan saja. Aku akan ke sana sebentar lagi."
"Kau selalu memiliki kehormatan dariku, di posisi teratas. Kau tahu itu." Marsha tersenyum masam, pembicaraan ini tak enak di hatinya. Marcel orang baik, harus mendapat wanita yang lebih baik. Bukan seperti dirinya. Ia merasa tak pantas.
Luka yang pernah ada terus membayanginya bagai mimpi buruk, tentang jalinan hubungan dan pernikahan. Menerima orang baru sebagai pendamping tidaklah semudah itu. Apalagi ia tak lagi sendiri. Ada tiga buah hatinya. Mereka lebih penting daripada pasangan hidup.
Dan menolak Marcel, keputusan yang benar menurutnya. Ia belum siap. Ia masih dalam kebimbangan.
"Marcel."
"Baik-baik aku mengerti. Aku tidak akan bicara lagi. Kau tak perlu bersedih, oke. Aku menunggumu, Mama Cantik. Bye."
"Bye."
Panggilan itu terputus. Marsha menghela nafasnya kemudian masuk ke dalam mobil, mengendarai mobilnya menuju restoran milik Marcel.