part 3

1134 Kata
Alyssa baru saja pulang dari pekerjaannya menjadi seorang pelayan di sebuah restoran. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya terus dihantui oleh perjanjian Hutang ayahnya dengan Jefry. Di kamarnya yang sempit, Alyssa menatap selembar kertas yang di berikan Jefry tempo hari—daftar utang yang harus segera dibayar. Ia menghela napas panjang. “Kalau hanya mengandalkan gaji dari pekerjaannya… sampai kapan pun tidak akan cukup,” gumamnya lirih. Keesokan harinya, Alyssa mulai berkeliling mencari pekerjaan tambahan. Ia mendatangi sebuah kafe kecil, berharap bisa menjadi pelayan paruh waktu. “Maaf, kami sudah penuh,” kata manajer kafe dengan wajah sopan, tapi menutup pintu harapannya. Ia mencoba di restoran cepat saji, lalu di toko buku, bahkan menawarkan diri untuk membantu di kios sayur milik tetangga. Tapi jawabannya selalu sama: tidak ada lowongan. Dengan langkah berat, Alyssa akhirnya mencoba menghubungi beberapa temannya. Malam itu, ia duduk di bangku taman, ponselnya digenggam erat. “Lia, bisa nggak… aku pinjam uang sebentar? Aku janji akan balikin begitu gajian.” Jawaban dari seberang terdengar ragu. “Alyssa, aku juga lagi susah. Maaf ya.” Satu per satu ia hubungi. Ada yang menolak halus, ada yang hanya diam, ada pula yang pura-pura sibuk. Hingga akhirnya, ia menghubungi Tiwi, sahabat kecilnya. Suaranya bergetar saat meminta bantuan. “TiWi, aku tahu ini memalukan. Tapi kalau bisa… aku butuh pinjaman, sekecil apa pun.” Di ujung telepon terdengar keheningan sejenak, lalu suara lembut Tiwi menjawab, “Alyssa, aku juga tidak punya banyak. Tapi aku bisa kirim sedikit malam ini. Jangan merasa sendiri, ya.” Air mata Alyssa jatuh tanpa bisa ia tahan. “Terima kasih, Tiwi… sekecil apa pun, itu sangat berarti untukku.” Malam itu, Alyssa menerima kiriman uang dalam jumlah tidak seberapa. Tapi baginya, itu seperti cahaya kecil di tengah kegelapan. Ia mencoba mengumpulkan uang itu meski dirasa sangat mustahil akan terkumpul dalam satu bulan untuk melunasi hutang ayahnya. Tapi Alyssa tetap berusaha. Rumah sederhana mereka hanya diterangi lampu redup. Alyssa baru saja pulang, Wajahnya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum, berusaha menenangkan keluarganya. Ayahnya, Pak Hendri, duduk bersandar di kursi ruang tamu. Matanya menatap Alyssa lama, sebelum akhirnya ia berkata dengan suara serak, “Nak… maafkan Ayah.” Alyssa mengangkat kepala, heran. “Kenapa Ayah minta maaf?” Pak Hendri menunduk, kedua tangannya saling menggenggam, bergetar. “Karena seharusnya bukan kau yang menanggung semua ini. Kau masih muda, seharusnya menikmati hidupmu… bukan bekerja sampai larut, bukan berkeliling mencari pinjaman dari teman-temanmu. Semua ini… semua kesulitan ini… adalah tanggung jawab Ayah.” Alyssa mendekat, duduk di samping ayahnya, lalu menggenggam tangannya. “Ayah, jangan bicara begitu. Aku melakukan ini bukan karena terpaksa. Aku ingin membantu Ayah, aku ingin kita tetap bersama.” Air mata menitik di sudut mata Pak Hendri. Dengan suara bergetar ia berkata, “Ayah sudah mencoba menjual toko itu. Kau tahu, satu-satunya peninggalan kakekmu… tapi tidak ada yang mau membeli. Semua orang tahu keadaan kita. Mereka menawar dengan harga yang sangat rendah, bahkan ada yang menghina. Ayah merasa gagal, Alyssa. Gagal sebagai ayah, gagal menjaga keluarga.” Alyssa menggeleng cepat, memeluk ayahnya erat. “Jangan bilang begitu, Ayah. Bagiku, Ayah adalah yang terbaik. Tidak peduli toko itu laku atau tidak, yang penting Ayah tetap ada bersama kami. Aku bisa kerja lebih keras. Kita pasti bisa melewati semua ini.” Pak Hendri membalas pelukan putrinya dengan lemah, matanya terpejam, menahan tangis yang tak ingin ia tunjukkan. Di sudut ruangan, ibu tiri Alyssa terdiam menatap mereka, matanya juga berkaca-kaca. Ia tahu, keluarga ini sedang di ujung jurang… dan beban terbesar kini ada di pundak seorang gadis muda yang terlalu polos untuk menanggung dunia yang kejam. *** Siang itu, ruang kantor Emyr dipenuhi kesibukan. Tumpukan berkas proyek baru berjejer di meja, layar laptop menyala dengan grafik keuangan, sementara suara ponsel terus bergetar dengan notifikasi rapat. Emyr duduk bersandar di kursinya, dasinya sedikit longgar, wajahnya penuh konsentrasi. Ia baru saja menandatangani dokumen ketika ponselnya kembali berdering. Kali ini bukan dari rekan bisnis, melainkan dari ayahnya. Nama “Dad” tertera jelas di layar. Emyr terdiam sejenak sebelum mengangkatnya. “Halo, Ayah?” Suara di seberang terdengar berat dan serius. “Emyr, kita harus bertemu. Ada hal penting yang ingin Ayah bicarakan. Ini tentang apa yang Nenekmu katakan padaku kemarin.” Kening Emyr berkerut. Ia langsung menegakkan tubuh. Ia sudah tahu pasti neneknya sudah memberi tahu ayahnya mengenai hubungan nya dengan Greta “apa itu untuk membicarakan hubungan ku dengan greta” “hmmm ya.. dan kita tidak bisa membicarakannya lewat telepon,” jawab sang ayah tegas. “Datanglah ke rumah malam ini. Kita harus bicara empat mata.” Emyr menarik napas panjang, menoleh ke arah berkas-berkas yang menumpuk. Meski malas untuk bertemu sang ayah. “Baiklah, Aku akan datang,” jawabnya akhirnya. Sambungan telepon berakhir, meninggalkan keheningan sesaat. Emyr menatap keluar jendela kaca tinggi kantornya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tahu, jika ini menyangkut Nenek dan hubungannya dengan Greta. Mobil Emyr melaju membelah jalanan kota menuju kediaman ayahnya. Lama ia tidak berkunjung ke rumah masa kecilnya yang mengingatkan nya pada sang ibu. Di balik kemudi semua kenangan bersama ibunya kembali terlintas. Tidak terasa di hati kecilnya, Emyr merindukan ibunya. Emyr tiba di rumah besar keluarganya. Lampu-lampu kristal di ruang tamu menyala lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding. Suasana sepi, hanya terdengar detak jam antik yang menggema. Ayahnya, Martin sudah menunggu di ruang kerja. Seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa, namun malam itu wajahnya terlihat letih. Di meja kayu mahoni, dua gelas kopi sudah terhidang. “Duduklah,,” ujar Martin pelan. Emyr menuruti, lalu menatap ayahnya dingin “nenek sudah memberi tahumu, jadi aku tidak perlu menjelaskan nya lagi " Martin menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “kau masih tidak berubah, kau tidak ingin meminta restu ku" Emyr langsung mengencangkan rahangnya. Ia tahu pasti hubungan ini juga mengusik ayahnya dan Emyr tidak yakin apa ayahnya akan bereaksi sama seperti neneknya -menentang hubungan nya dengan Greta. Martin menatapnya lekat, nadanya berat. “Nenekmu sudah tahu banyak hal, lebih dari yang seharusnya. Dia tidak menyetujui hubunganmu dengan Greta. " Hening sejenak, hanya suara jam dinding yang terdengar. Emyr menatap ayahnya dalam-dalam. “Dan Apa Ayah juga tidak menyetujui hubungan ku dengan greta?” Martin menunduk sebentar, lalu menghela napas berat. “Sebagai ayahmu… aku ingin kau bahagia. Kalau Greta memang wanita yang kau cintai, Ayah tak akan melarang. Tapi ingat bagaimana perasaan nenekmu " Emyr berdiri, kursinya bergeser keras ke belakang. “selama ini aku selalu menuruti apapun permintaan nenek. Dan sekarang aku ingin melakukan hal sesuai keinginanku. " Martin menatap anaknya dengan sorot bangga bercampur cemas. Ia tahu tekad itu keras, tapi juga tahu betapa dinginnya hati Ruth ketika menginginkan sesuatu. “Ayah hanya ingin kau tetap berhati-hati, Emyr. Kau mungkin bisa melawan nenekmu, tapi kau belum tentu bisa melawan kerasnya dunia" “aku tahu apa yang kulakukan " Emyr melangkah pergi meninggalkan ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN