Sebulan berlalu sejak pertemuan Alyssa dengan Jefry. Hari itu ia kembali melangkahkan kaki ke rumah megah dengan kaca tinggi yang memantulkan bayangannya. Langkahnya berat, seolah setiap anak tangga menuju ruangan Jefry menekan dadanya.
Di dalam tas kecil yang ia genggam erat, hanya ada sejumlah uang yang berhasil ia kumpulkan. Hasil dari kerja freelance sebagai pengantar makanan, sedikit dari les privat anak tetangga, ditambah pinjaman dari teman yang akhirnya bersedia membantu. Tapi jumlahnya masih jauh dari yang diminta Jefry.
Ketika masuk ke kantor itu, hawa dingin dari pendingin ruangan menusuk kulitnya, kontras dengan keringat dingin yang membasahi pelipisnya.
Jefry duduk di balik meja besar berlapis kaca, jas hitam rapi membungkus tubuhnya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, tapi tatapan matanya tajam, membuat Alyssa merasa seperti burung kecil yang terperangkap.
“Alyssa, kau tepat waktu. Bagus. Jadi, mana uangnya?”
Alyssa dengan suara bergetar, mengeluarkan amplop “Ini… semua yang bisa aku kumpulkan untuk saat ini.”
Jefry membuka amplop itu, menghitung dengan jari-jari tenangnya. Hening. Hanya suara kertas bergesekan. Hingga akhirnya ia mendongak.
“Kurang jauh dari yang aku minta. Sangat jauh.”
Alyssa menunduk, jari-jarinya menggenggam erat roknya.
"Aku sudah berusaha, Pak. Aku benar-benar mencoba. Tolong beri aku waktu lagi…”
Senyum Jefry melebar, tapi ada sesuatu yang berbahaya di baliknya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu berkata dengan nada tenang tapi menusuk:
“Aku sudah memberi waktu sebulan. Sekarang pilihannya sederhana, Alyssa. Bayar penuh… atau penuhi syarat kedua dari perjanjian kita.”
Alyssa mendongak, matanya melebar. Ia tahu syarat itu. Bukan uang, melainkan sesuatu yang menyangkut hidupnya sendiri.
Alyssa menggigit bibirnya. Ia tahu kata-kata itu akan keluar. Sejak awal, ia sudah menyadari kemungkinan terburuknya.
“Jadi… apa yang harus aku lakukan?”
Jefry menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya meneliti wajah Alyssa seakan menikmati kegelisahannya. Lalu dengan nada datar tapi tegas, ia menjawab:
“Sesuai kesepakatan. Kau akan bekerja untukku. Mulai hari ini, kau adalah pelayan di rumahku.”
Kata-kata itu menghantam Alyssa seperti palu. Bagian dari dirinya ingin protes, ingin berteriak, “Bukan ini yang aku mau!”. Tapi lidahnya kelu, teringat kondisi keluarga nya dan kenyataan bahwa tidak ada pilihan lain.
“Baik… kalau itu jalan satu-satunya. Aku akan lakukan.”
Senyum tipis melintas di wajah Jefry, senyum yang membuat Alyssa makin sulit membaca maksudnya.
"Tapi izinkan aku pamit pada keluarga ku dan resign dari tempat ku bekerja"
“Baiklah... Aku akan memberimu waktu 2 hari setelah itu orang orang ku akan menjemputmu. Dan ingat—aku tidak menyukai pengkhianatan. Jadi pastikan kauberfikir bagaimana caranya untuk kabur dari ku.”
Alyssa menghela nafas dalam "yaa.. aku mengerti"
Ketika keluar dari ruangan itu, langkah Alyssa gontai. Hatinya dipenuhi pergulatan: antara rasa lega karena masih ada cara untuk melunasi hutang, dan rasa perih karena harga dirinya dipaksa tunduk pada lelaki yang kini memegang kendali penuh atas hidupnya.
etelah menjalani hari-hari yang berat Alyssa duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang menghadap taman. Hatinya masih bergejolak—malu, lelah, juga perasaan asing yang muncul setiap kali bertemu Jefry.
Ketukan lembut terdengar di pintu. Pintu terbuka Risma, ibu tirinya sedang berdiri di ambang pintu.
“Alyssa… apa kamu baik baik saja?”
Ibunya masuk dan duduk di samping Alyssa, Alyssa menunduk seolah ia tidak ingin menceritakan semua hal yang akan membuat ibunya khawatir. “aku baik baik saja bu. Hanya saja aku sedikit takut. Aku tidak tahu apakah aku bisa menjalani semua ini. Aku merasa seperti terjebak.”
Ibunya menggenggam tangan Alyssa erat-erat.
“Alyssa, dengarkan Ibu. Kau adalah anak yang kuat. Dari kecil kau sudah terbiasa berjuang, bahkan saat hidup menekan kita. Jangan biarkan keadaan ini membuatmu merasa kecil. Ingat, kau melakukannya bukan untuk dirimu sendiri, tapi juga untuk keluarga mu"
Alyssa menunduk, suaranya bergetar
“Aku hanya takut, Bu… takut kehilangan diriku sendiri di tengah semua ini.”
Ibunya mengusap rambutnya dengan lembut, tatapannya penuh keyakinan.
“Kau tidak akan kehilangan dirimu, Nak. Selama kau masih ingat siapa dirimu, selama kau tetap memegang hatimu sendiri, tidak ada seorang pun yang bisa mengambil itu darimu. Bertahanlah, Alyssa. Semua ini hanya sementara.”
Kata-kata itu membuat Alyssa merasa tenang dan merasakan kekuatan baru yang perlahan mengisi hati nya.
Keesokan harinya, sebelum benar-benar menetap di rumah Jefry, Alyssa menyempatkan diri datang ke restoran tempatnya bekerja paruh waktu. Seragam cokelat muda masih melekat di tubuhnya, dan aroma kopi yang akrab segera menyambutnya begitu ia masuk.
Teman-temannya yang sedang sibuk menyapu dan menata meja tertegun melihatnya.
“Alyssa? Kok tumben pagi-pagi sudah datang? Kau masuk shift siang kan?” tanya salah seorang rekan kerjanya
Alyssa tersenyum hambar, mencoba menutupi kegelisahan yang mengganjal di dadanya. Ia melangkah ke arah manajer restoran, seorang pria paruh baya yang sudah lama mengenalnya.
“Pak… saya ingin bicara sebentar.”
“Tentu, Alyssa. Ada apa?”
Di ruang belakang yang sempit, Alyssa menundukkan kepala.
“Saya… ingin mengundurkan diri. Mulai hari ini.”Manajer terdiam, wajahnya kaget.
“Mengundurkan diri? Kenapa begitu mendadak? Kau pekerja rajin, pelanggan banyak yang suka padamu. Apa ada masalah di sini?"
Alyssa menggeleng, senyumnya getir.
“Tidak, Pak. Semua orang di sini sudah seperti keluarga untuk saya. Tapi… ada urusan pribadi yang harus saya jalani. Saya tidak bisa membagi waktu lagi.”
Air mata hampir jatuh, tapi ia menahannya. Teman-temannya berdiri di pintu, ikut mendengar. Beberapa tampak terkejut, ada juga yang menunduk sedih.
“Alyssa… kau yakin? Kalau butuh bantuan, bilang saja.” rekan yang lain menimpali.
Alyssa tersenyum lemah. “Terima kasih. Tapi kali ini… aku harus melakukannya sendiri.”
Manajer akhirnya mengangguk, meski jelas berat melepasnya.
“Kalau begitu… semoga jalanmu lancar, Alyssa. Ingat, pekerjaan ini selalu terbuka kalau suatu saat kau ingin kembali.”
Alyssa menunduk hormat, lalu berjalan keluar dengan langkah berat. Semua tawa teman dan pelanggan, —semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Di luar restoran, ia berhenti sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik pada dirinya sendiri “Mulai sekarang, hidupku benar-benar berubah.”
Senja merayap pelan, cahaya jingga menembus jendela rumah sederhana itu. Di ruang tamu, Alyssa berdiri dengan wajah tegar meski hatinya remuk. Sebuah tas kecil sudah siap di samping kakinya.
Ayahnya duduk di kursi, wajah keras namun matanya sayu. Ibunya berdiri di dekat dapur, menahan isak, sementara Qiana—adik kecil Alyssa—berlari menghampiri kakaknya sambil memeluk erat pinggangnya.
Qiana mengeratkan pelukan “Kak Alyssa jangan pergi… Qiana nggak mau tidur sendirian.”
Alyssa tertegun, air mata langsung membasahi pipinya. Ia berjongkok, meraih wajah kecil adiknya dengan kedua tangan.
Alyssa dengan suara bergetar “Sayang… Kakak nggak pergi untuk selamanya. Kakak cuma harus kerja di tempat lain. Qiana harus jadi anak baik, temani Ibu sama Ayah ya.”
Qiana menggeleng keras, suaranya pecah.
“Tapi Kakak selalu baca dongeng buat Qiana sebelum tidur… kalau Kakak nggak ada, siapa yang bacain?”
Alyssa tersenyum pahit, menahan tangisnya. Ia mencium kening adiknya lama-lama, seolah ingin mengukir kenangan itu dalam-dalam.
Ayahnya akhirnya bersuara, suaranya berat tapi berusaha tegas.
“Alyssa… kau yakin dengan keputusan ini? Ayah tahu kau melakukannya demi keluarga, tapi Ayah merasa seperti membiarkan anak Ayah berkorban sendirian.”
Alyssa menunduk, tangannya menggenggam erat jemari ayahnya.
“Ayah… tolong jangan salahkan diri sendiri. Aku sudah besar. Aku sanggup menanggung ini. Selama Ayah, Ibu, dan Qiana bisa tetap tinggal di rumah ini, semua pengorbanan Alyssa tidak sia-sia.”
Ibunya akhirnya tak kuasa menahan tangis, ia langsung memeluk Alyssa erat.
“Nak… apa pun yang terjadi di sana, jangan biarkan mereka merendahkan hatimu. Ingat, keluargamu selalu menunggumu pulang.”
Alyssa menutup mata, merasakan hangatnya pelukan itu. Setelah melepaskan, ia mengusap kepala Qiana sekali lagi, lalu memanggul tas kecilnya.
Langkahnya menuju pintu terasa begitu berat. Di belakangnya, ayah, ibu, dan Qiana berdiri dengan mata berkaca-kaca, melambaikan tangan.
“Aku pergi bukan karena ingin… tapi karena harus. Demi kalian, aku akan bertahan.”
Dengan tekad itu, Alyssa melangkah keluar menuju kehidupan barunya di rumah Jefry.