part 5

1033 Kata
Mobil hitam yang menjemput Alyssa berhenti tepat di depan gerbang besi tinggi yang terbuka perlahan. Di baliknya, berdiri rumah megah bergaya modern dengan kaca-kaca besar yang berkilauan diterpa matahari pagi. Alyssa sudah beberapa kali datang seharusnya semuanya tidak terlalu asing baginya. Jefry dan Beberapa anak buah nya sudah berada di depan pintu. Mereka saling bertukar pandang saat melihat Alyssa turun dari mobil. Tidak biasa nya Jefry menyambut seseorang apalagi seorang pelayan yang akan bekerja di rumah nya. “Mereka pasti bertanya-tanya, siapa aku? Kenapa aku ada di sini?” pikir Alyssa sambil meremas tas kecilnya. Seorang kepala pelayan perempuan, berusia sekitar lima puluhan, mendekat dan membungkuk hormat pada Jefry “Selamat datang nona Alyssa, Apakah ini… orang yang Anda maksud?” Jefry menjawab singkat “Ya. Mulai hari ini dia akan tinggal di sini. Perlakukan dia sesuai instruksiku.” Kepala pelayan mengangguk, tapi matanya meneliti Alyssa dengan tatapan penuh pertanyaan. Alyssa lalu diarahkan ke sebuah kamar sederhana di lantai dua. Tidak semewah kamar-kamar lain di rumah itu, tapi tetap jauh lebih layak dibandingkan rumah sederhana nya. Ia menaruh tas, lalu menghela napas panjang. Tak lama, kepala pelayan datang lagi. “ Alyssa, tugas Anda khusus. Hanya Anda yang diperbolehkan masuk ke kamar pribadi Tuan Jefry. Anda yang harus merapikan kamar, menyiapkan pakaiannya, dan memastikan sarapan beliau tersedia setiap pagi.” Kata-kata itu membuat d**a Alyssa berdebar. Ini pertama kalinya ia tinggal bersama orang lain dan menjadi pelayan nya. "Hmmm.. buu.. apa tidak bisa saya bekerja di dapur saja, saya tidak terbiasa..." "Itu perintah tuan Jefry " potong kepala pelayan itu dengan wajah judes, lalu pergi Alyssa hanya menghela nafas dalam. Pagi itu juga, ia diminta menyiapkan sarapan pertama untuk Jefry. Tangannya gemetar saat menuang kopi hitam ke dalam cangkir, memastikan roti panggang tidak gosong, telur mata sapi masih hangat. Saat ia mengetuk pintu kamar utama, jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya. Pintu terbuka, dan Jefry berdiri di sana dengan kemeja santai, rambut sedikit berantakan. Senyum tipisnya membuat Alyssa merasa semakin terpojok. “Selamat pagi, Alyssa. Mulailah biasakan dirimu. Ini baru permulaan.” Alyssa menunduk, menyajikan sarapan di meja kecil dekat ranjang. Perasaannya berkecamuk: malu, takut, marah, tapi juga—entah mengapa—Alyssa seperti merasa sikap Jefry sangat berbeda terhadap nya. **** Siang itu rumah megah Jefry terasa lengang. Ia baru saja selesai rapat daring ketika suara pintu utama terbuka. Langkah berwibawa terdengar, dan hanya ada satu orang yang berani masuk tanpa pemberitahuan: Ruth, ibunya. Ruth—wanita elegan dengan balutan gaun sederhana namun anggun—masuk dengan tatapan tajam. Usianya memang tidak muda lagi, tapi wibawanya tetap memancar kuat. Jefry tertegun lalu bangkit melihat ibunya datang “Ibu? Kenapa tidak memberi kabar dulu?” Ruth dengan wajah datar langsung duduk “Tidak perlu. Aku datang karena ada hal penting yang harus kau lakukan.” Jefry merengut, menutup laptopnya. Jefry: “Apa lagi kali ini?” Ruth menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas. “Emyr, keponakan mu, tidak bisa berangkat ke luar negeri. Dia sibuk menyiapkan pernikahannya. Jadi kau yang akan menggantikannya.” Kata-kata itu membuat Jefry terdiam. Ia bersandar di kursi, menatap ibunya dengan mata penuh keberatan. Sejak dulu ia tidak suka dengan keponakanya yang selalu merebut semua perhatian bahkan kasih sayang ibunya. Emyr dan Jefry tidak terlalu dekat bahkan keduanya terlihat bersaing. “Aku? Kenapa harus aku? Aku punya urusan di sini, Bu. Perusahaan, proyek—bahkan ada hal pribadi yang sedang aku tangani.” Ruth mencondongkan tubuh, nada suaranya tegas. “Justru karena itu kau harus pergi. Kau terlalu lama bersembunyi di balik kesibukanmu di sini. Keluarga kita butuh wakil, dan sekarang giliranmu membuktikan dirimu.” Jefry terdiam. Di balik sikap dinginnya, ada api kecil yang berkobar. Ia tidak suka diperintah, bahkan oleh ibunya sendiri. Tapi ia juga tahu, ketika Ruth sudah bicara dengan nada seperti itu, berarti keputusannya tak bisa diganggu gugat. “Baiklah. Kalau itu maumu. Aku akan berangkat.” Ruth tersenyum tipis, seolah puas dengan jawabannya. Ruth bangkit dari kursi dan berjalan ke arah jendela besar di ruang kerja Jefry. Ia berniat melihat taman belakang untuk menenangkan pikirannya. Namun sesuatu menarik perhatiannya. Di halaman, tampak Alyssa berdiri di bawah pohon mangga besar. Wajahnya cemas menatap seekor kucing kecil yang terjebak di salah satu dahan tinggi. Alyssa tampak lirih dan melambai ke atas “Ayo turun, Nak… jangan takut. Kau bisa.” Tapi kucing itu justru semakin mengeong panik. Tanpa pikir panjang, Alyssa menggeser kursi taman ke bawah pohon, lalu dengan hati-hati mulai memanjat, meski jelas ia ragu dan agak takut ketinggian. Gaun rumah sederhana yang ia kenakan tersibak oleh gerakan terburu-buru, namun tatapannya penuh tekad. Akhirnya ia berhasil meraih tubuh kecil kucing itu. Alyssa tersenyum lega “Nah, sudah aman. Lain kali jangan naik setinggi ini lagi, ya.” Ia turun perlahan, mendekap kucing itu ke dadanya, lalu membelainya penuh kasih. Senyum tulus mengembang di wajahnya, meski rambutnya berantakan dan lengannya sedikit tergores ranting. Ruth memperhatikan semua itu dari balik kaca. Ekspresi nya yang biasa keras dan kaku terlihat mulai melunak. Ada sesuatu dalam diri Alyssa yang membuatnya terhenti: ketulusan, keberanian, dan kelembutan yang jarang ia lihat di lingkungan keluarga besarnya yang penuh intrik dan gengsi. Ruth menutup tirai perlahan, lalu berbalik ke arah putra bungsunya yang masih sibuk dengan dokumen di meja. Nada suaranya tenang, namun mengandung ketajaman yang khas. “Jefry, siapa gadis itu??” Jefry sempat terdiam, penanya berhenti menari di atas kertas. Ia menoleh sebentar, lalu kembali menunduk seolah tidak mau membahasnya. “Itu Alyssa. Hanya… pekerja di rumah ini.” Ruth menyipitkan mata. “Pekerja, ?? Kau tidak biasanya mempekerjakan seorang gadis muda?” Jefry menegakkan punggungnya, jelas tersinggung tapi juga enggan membantah ibunya secara langsung. “Itu urusanku, Bu. Dia bekerja di sini sesuai kesepakatan. Tidak lebih.” Ruth menatap putranya dalam-dalam. Ada sesuatu di mata Jefry—entah rasa tertarik, atau sekadar kepercayaan yang tidak biasa ia berikan pada orang lain. Ruth mengenal betul watak anaknya yang dingin dan selalu menjaga jarak. Alyssa jelas berbeda. Dengan nada dingin namun penuh perhitungan, Ruth melanjutkan: “Baiklah, Aku tak akan ikut campur… ” Ruth lalu berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Jefry yang menatap kosong ke arah pintu. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa ibunya telah menemukan sesuatu yang bisa menjadi titik lemah baginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN