Dua hari menjelang pernikahan, keluarga besar Emyr sibuk mempersiapkan segalanya. Gedung megah sudah dipesan, undangan sudah tersebar, dekorasi hampir rampung. Semua tampak berjalan sempurna—hingga kabar buruk itu datang.
Malam itu, Emyr menerima telepon dari asistenya yang memberi tahu kan kalau Greta tidak ada di apartemen nya.
“tuan Emyr, Greta… dia menghilang. Kami sudah cari ke apartemennya, kantor, bahkan tempat-tempat yang biasa dia kunjungi. Tapi dia nggak ada.”
Emyr terdiam, darahnya serasa membeku.
“Apa maksudmu menghilang? Dua hari lagi dia akan jadi istriku!”
Sementara itu, Emyr sendiri diliputi campuran emosi—marah, cemas, dan takut. Ia teringat sikap Greta yang akhir-akhir ini semakin aneh: sering melamun, menerima telepon diam-diam, bahkan pernah meminta menunda pernikahan.
"Apa dia sengaja lari dariku? Atau ada sesuatu yang ia sembunyikan?" Batin Emyr
Di sudut rumah, Ruth mendengar kabar itu dengan tatapan penuh perhitungan. Ia tahu hilangnya Greta bisa menjadi bom waktu yang mengguncang nama besar keluarga mereka. Namun di dalam hatinya, ia yakin—Greta tidak sekadar menghilang, ada rahasia yang jauh lebih kelam di balik ini.
Emyr melangkah cepat ke garasi, tangannya bergetar saat membuka pintu mobil. Matanya merah, bukan hanya karena marah tapi juga cemas. Greta—wanita yang dalam dua hari lagi seharusnya jadi istrinya—hilang tanpa jejak.
Ia menyalakan mesin, pedal gas diinjak dalam, dan mobil meluncur keluar meninggalkan halaman rumah besar keluarga Hadiwijaya
"Greta, jangan main-main denganku. Kalau kau hanya ingin menguji keseriusanku, ini bukan waktunya. Dua hari lagi, Greta… dua hari lagi kita akan menikah." Gumam Emyr di balik kemudi.
Tujuan pertamanya adalah apartemen Greta. Satpam yang biasa ramah kini terlihat gugup.
“Apa Greta ada di atas? Atau kau lihat dia keluar?”
Satpam itu terlihat gugup dan bingung “Tuan Emyr… nona Greta sudah tiga hari tidak terlihat. Biasanya dia selalu pamit kalau pergi lama, tapi kali ini… tidak ada.”
Emyr menendang tiang dekat pos satpam, membuat semua orang yang lewat menoleh kaget.
Malam semakin larut, namun Emyr terus menyusuri kota. Dari café tempat Greta biasa nongkrong, butik langganannya, sampai rumah sahabat-sahabatnya. Hasilnya nihil.
Akhirnya ia menepi di tepi jalan, menyalakan rokok, tapi tangannya bergetar hebat.
“Greta… kau di mana sebenarnya? Apa yang kau sembunyikan dariku?”
Di matanya, bayangan Greta tersenyum samar, seolah ada rahasia besar yang tak pernah ia ceritakan. Dan untuk pertama kalinya, Emyr merasakan ketakutan—bukan kehilangan Greta, tapi kemungkinan bahwa ia tidak pernah benar-benar mengenal wanita itu.
Emyr akhirnya pulang menjelang dini hari. Mobilnya berhenti di halaman rumah besar keluarga Hadiwijaya, lampu-lampu masih menyala terang meski waktu sudah larut. Dari balik kaca, ia bisa melihat siluet neneknya duduk di ruang tamu, tegak dengan aura dingin yang selalu membuat siapa pun gentar.
Ketika Emyr masuk, Nenek nya menatap tajam suara nya tegas, dan bergetar marah.
“Bagaimana? Kau temukan calon istrimu?”
Emyr menggeleng pelan, wajahnya kusut, mata merah penuh letih.
“Tidak ada, Nek. Apartemen, kantor, sahabatnya… semua tidak melihat ataupun bertemu dengan Greta "
“Dua hari lagi pernikahan digelar, undangan sudah tersebar ke pejabat, pengusaha, semua orang penting! Apa kau mau mempermalukan keluarga kita di depan publik?!”
Emyr mengepalkan tangan, menahan diri.
“Aku akan terus mencari Greta. Sampai ketemu. Aku janji, Nek.”
Ruth menatap nya tajam.
“Janji? Waktu kita hanya dua hari, Emyr. Kalau sampai hari itu dia tak kembali, ini bukan hanya urusan cintamu, tapi nama besar keluarga Hadiwijaya yang akan jatuh.”
Emyr berdiri, menatap neneknya dengan sorot mata penuh tekad namun juga luka.
“Kalau Greta memang punya rahasia, aku sendiri yang akan mengungkapnya. Tapi jangan paksa aku berhenti, karena aku harus tahu kebenarannya.”
Ia lalu melangkah pergi ke kamarnya, meninggalkan ruang tamu yang penuh dengan kecemasan.
***
Hari itu, rumah Jefry terasa jauh lebih ringan bagi Alyssa. Biasanya ia harus bolak-balik ke kamar pribadi Jefry, menyiapkan sarapan, atau membereskan tumpukan dokumen yang berserakan. Tapi kali ini, karena tuannya sedang pergi, ia hanya membantu kepala pelayan mengatur ruang makan dan memastikan dapur berjalan lancar.
"Akhirnya… sedikit lega. Tidak ada tatapan tajam itu. Tidak ada perintah mendadak. Hanya rutinitas sederhana yang bisa kujalani." Gumam Alyssa dengan senyum tipisnya.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari arah pintu utama, suara langkah sepatu berat terdengar. Seorang pria berbadan tegap dengan setelan hitam masuk—ia adalah pengawal pribadi Ruth. Semua anak buah Jefry otomatis terdiam, bahkan kepala pelayan ikut menunduk memberi hormat.
Pria itu berhenti tepat di depan Alyssa. Membuat nya bingung sekaligus cemas.
“Nona Alyssa, Nyonya Ruth meminta Anda untuk datang menemuinya. Sekarang.” ucapan pengawal itu membuat Alyssa bertanya tanya -sadar hal apa lagi yang akan terjadi padanya.
"Ma..maaf tapi saya tidak mengenal siapa nyonya Ruth...," ucap Alyssa dengan polosnya, membuat kepala pelayan menyikut tangannya, Alyssa menoleh menatap nya heran.
"Maaf tuan, dia gadis yang baru bekerja," pelayan itu tampak sedikit gugup. Kemudian berbisik pada Alyssa " nyonya Ruth adalah ibunya Jefry, nyonya besar keluarga Hadiwijaya"
Alyssa tampak terkejut mendengar nya, napasnya tercekat.
“S-sekarang? Tapi… Tuan Jefry—”
“Ini perintah Nyonya Ruth. Tidak ada penolakan.” ucap pengawal itu dingin.
Tanpa diberi kesempatan bertanya lebih jauh, Alyssa diarahkan keluar. Sebuah mobil hitam mewah sudah menunggu di halaman. Anak buah Jefry hanya bisa saling pandang, sebagian merasa iba, sebagian lagi penasaran—apa yang diinginkan Ruth dari gadis muda itu?
Sepanjang perjalanan, Alyssa hanya bisa menatap keluar jendela. Jalanan kota terasa asing, dan perutnya mual oleh kecemasan. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan besar nan megah: kediaman keluarga Hadiwijaya. Pilar-pilar putih menjulang, halaman luas dihiasi air mancur, menunjukkan betapa berkuasanya keluarga itu
Pengawal membukakan pintu, dan dengan suara berat berkata:
“Nyonya Ruth sudah menunggu. Mari ikut.”
Alyssa melangkah pelan, dadanya bergemuruh. Ia sadar—apapun alasannya, pertemuan ini bisa mengubah nasibnya.
Alyssa berdiri kaku di hadapan Ruth, menunduk dalam-dalam. Ia menanti nada dingin atau pertanyaan tajam yang akan di ucapkan nya, tapi yang terdengar justru berbeda.
Ruth tersenyum tipis, Nada suaranya lebih hangat, membuat Alyssa bingung harus bereaksi bagaimana.
“Tenanglah, Alyssa. Kau tidak perlu ketakutan seperti itu. Duduklah.”
Alyssa sedikit terkejut ketika mendengar namanya disebut, padahal ia dan nyonya Ruth baru bertemu.
Pengawal memberi isyarat, dan Alyssa pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Ruth. Tangannya masih meremas ujung gaun sederhana yang ia kenakan, tapi sedikit demi sedikit rasa gentar itu berkurang.
Ruth menatapnya lama, seolah sedang membaca setiap gerakan kecilnya.
“kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tahu namamu..." Ucap Ruth sambil menatap Alyssa Aku pernah melihatmu di rumah Jefry… di halaman belakang, waktu kau menolong seekor kucing yang terjebak di pohon. "
Alyssa terperanjat, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak pernah menyangka akan di perhatikan oleh nyonya besar keluarga Hadiwijaya.
“jefry bilang kamu tinggal disana karena kesepakatan… kesepakatan apa yang sebenarnya kamu buat dengan putraku?? Mengapa dia, yang biasanya tidak mengizinkan siapa pun masuk ke ruang pribadinya, justru memilihmu untuk mengurus segala keperluannya?”
Alyssa menunduk, menggigit bibir bawahnya. Pertanyaan itu seperti membuka luka yang ia coba sembunyikan. Ada rasa ingin jujur, tapi juga rasa takut pada reaksi Ruth—apalagi jika Jefry mengetahui ia membocorkan rahasia.
Suasana ruangan itu terasa semakin sunyi. Jam antik berdetak pelan, sementara Ruth menunggu jawaban dengan sabar, tatapannya tidak lagi menghakimi, melainkan penuh rasa ingin tahu.
Alyssa menarik napas panjang, lalu menunduk lebih dalam. Suaranya bergetar ketika akhirnya ia berani membuka mulut.
“Nyonya… saya… tidak tinggal di rumah Tuan Jefry karena kemauan saya sendiri. Semua ini berawal dari hutang ayah saya. Hutang itu menumpuk… dan kami tidak punya jalan lain untuk membayarnya.”
Ruth menatapnya tanpa menyela, seolah ingin mendengar sampai habis.
Alyssa melanjutkan ucapannya dengan pelan “Tuan Jefry memberi saya pilihan. Jika saya tidak bisa melunasi hutang itu dalam waktu yang ditentukan, saya harus bekerja untuknya… di rumahnya. Sebagai pelayan. Itulah sebabnya saya ada di sana, Nyonya. Bukan karena ambisi apa pun.”
Air mata mulai berkaca-kaca di mata Alyssa, tapi ia buru-buru menyekanya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Ruth.
Ruth terdiam sejenak, lalu menghela napas perlahan. Ada sesuatu di wajahnya yang sulit ditebak—antara iba dan rasa kagum pada keberanian Alyssa mengungkapkan hal itu.
“Jadi itu alasannya… kamu menanggung beban keluargamu sendiri. Kamu bahkan rela masuk ke dalam hidup Jefry dengan segala resikonya, hanya demi menebus hutang ayahmu.”
Alyssa menunduk makin dalam.
“Saya hanya ingin melindungi keluarga saya, Nyonya. Itu saja. Tidak lebih.”
Untuk pertama kalinya, tatapan Ruth melunak sepenuhnya. Ia meraih cangkir tehnya, menyesapnya pelan, lalu berkata dengan nada yang hampir seperti seorang ibu kepada anaknya:
“Kau gadis yang kuat, Alyssa. Jauh lebih kuat daripada yang kau kira. Sekarang aku mengerti mengapa Jefry memilihmu.”
Alyssa mendongak, terperangah dengan kalimat itu. Ada kehangatan yang tidak ia duga sama sekali.
Ruth meletakkan cangkir tehnya, lalu menatap Alyssa dengan sorot mata yang tajam namun penuh perhitungan. Keheningan yang panjang membuat Alyssa semakin gelisah.
“Alyssa… kau ingin keluargamu bebas dari hutang, bukan? Kau ingin ayahmu tidak lagi terbebani oleh kesalahan nya”
Alyssa terdiam, matanya melebar.“Tentu, Nyonya… itu keinginan terbesar saya.”
Ruth mencondongkan tubuh, suara lembutnya kini berubah menjadi tawaran yang mengguncang. “Kalau begitu, bantu aku. Menjadi pengantin wanita untuk cucuku "
Alyssa terperangah, darahnya serasa berhenti mengalir.
"M-menjadi… pengantin?,, Maaf nyonya saya sama sekali belum terfikirkan untuk menikah ”
Ruth menyela dengan suara lebih tegas, tapi tetap lembut.
"Aku ingin meminta bantuanmu. Cucuku, Emyr, harus menikah dua hari lagi. Namun mempelai wanitanya… menghilang.”
Alyssa menahan napas, jantungnya berdegup kencang.“M-menghilang? Lalu… apa maksud Nyonya memanggil saya ke sini…?”
Ruth mencondongkan tubuh, jemarinya yang berhiaskan cincin berkilau menyentuh tangan Alyssa sejenak.
“Aku ingin kau menggantikannya. Berdiri di pelaminan sebagai pengantin wanita untuk cucuku.”
Alyssa membeku, matanya membelalak.
Alyssa: “A-apa? Itu tidak mungkin! Saya hanya seorang—”
Ruth menyela dengan suara mantap “Bukan hanya pelayan. Aku sudah melihatmu, Alyssa. Kau punya hati yang tulus, wajah yang anggun, dan keberanian yang tak dimiliki banyak wanita. Dengan sedikit polesan, semua orang akan percaya kau adalah mempelai yang seharusnya ada di pelaminan itu.”
Ruth menatap Alyssa penuh harap “Sebagai imbalannya, aku akan melunasi seluruh hutang ayahmu pada Jefry. Kau dan keluargamu bebas. Tidak ada lagi beban. Yang kuminta hanya satu: kau berdiri di altar, bersama cucuku”
Keheningan membungkus ruangan. Hanya suara detak jam tua yang terdengar. Alyssa menunduk, air matanya jatuh ke pangkuan. Tawaran itu terdengar seperti jalan keluar, tetapi juga seperti mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan.
Alyssa dengan suara bergetar “Nyonya… saya tidak bisa. Saya… saya takut. Bagaimana kalau Tuan Jefry tau? Dia akan marah karena saya sudah mengkhianati kesepakatan nya apalahi Sampai dia tahu saya menikah dengan cucu Anda, mungkin dia akan…”
Suara Alyssa tercekat, tubuhnya sedikit gemetar membayangkan Jefry.
Ruth menghela napas panjang, berkata tegas tapi lembut.
“Dengar baik-baik, Alyssa. Jefry mungkin keras, mungkin menakutkan, tapi ia adalah putraku. Selama aku yang berbicara, ia tidak akan berani macam-macam padamu. Kau berada di bawah perlindunganku.”
Alyssa mengangkat wajahnya perlahan, matanya berkaca-kaca, masih penuh keraguan.
“Tapi… pernikahan ini… bukankah itu berarti saya akan selamanya terikat…?”
Ruth tersenyum tipis, ia kembali menatap Alyssa.
“Tidak, Nak. Aku bukan orang kejam. Aku tahu hidupmu masih panjang. Karena itu, aku sudah menyiapkan kontrak khusus. Pernikahan ini hanya berlangsung satu tahun. Setelah itu, kau bebas. Tidak ada ikatan lagi, tidak ada kewajiban lagi. Dan selama setahun itu, keluarga ayahmu akan bebas dari hutang.”
Alyssa membeku. Kata-kata itu seperti petir. Hanya satu tahun. Hanya itu. Namun, satu tahun dalam kebohongan dan sandiwara besar.
“Satu tahun…”
Ruth menatapnya tajam namun penuh perhitungan.
“Ya. Kau hanya perlu bertahan setahun. Anggap saja ini pengorbanan kecil untuk membebaskan hutang keluargamu. Dan aku berjanji, tidak akan ada yang berani menyentuhmu tanpa izinku. Bahkan Jefry sekalipun.”
Air mata Alyssa jatuh. Antara takut, pasrah, dan sedikit lega karena ada batas waktu dalam perjanjian itu.
Ruth menyuruh pengawal nya untuk membawakan surat perjanjian pernikahan Emyr dan Alyssa.
“Di sini jelas tertulis. Pernikahanmu dengan cucuku hanya berlangsung satu tahun. Setelah itu, kau bebas. Tidak ada ikatan, tidak ada tuntutan. Dan sebagai gantinya, hutang ayahmu pada Jefry dianggap lunas.”
Alyssa menatap kertas itu dengan pandangan bergetar. Kata-kata di atasnya terasa berat, seakan setiap huruf menjerat lehernya.
“Apa benar… setelah satu tahun, semuanya akan selesai?”
Ruth mengangguk pelan. "Aku tidak pernah bermain-main dengan janji. Kau hanya perlu bertahan. Setelah itu, keluargamu bebas.”
Pengawal di samping nya menyerahkan pena ke tangan Alyssa. Gadis itu menatap pena tersebut lama sekali, seolah benda sederhana itu akan menentukan seluruh nasib hidupnya.
Dengan napas yang tercekat, Alyssa akhirnya meraih pena itu. Tangannya gemetar saat mulai menuliskan namanya di atas kertas. Setiap goresan tinta terasa seperti luka di hatinya.
Ruth tersenyum tipis, puas melihat tanda tangan itu. Ia menepuk tangan Alyssa lembut, seolah memberi kekuatan.
“Bagus, Nak. Mulai hari ini, kau bukan lagi sekadar pelayan. Kau calon pengantin keluarga Hadiwijaya.”
Ruangan itu terasa berat, seakan udara ikut menahan napas bersama Alyssa. Sejak detik itu, hidupnya berubah selamanya.