Malam turun perlahan ketika mobil yang ditugaskan Ruth mengantar Alyssa kembali ke kediaman Jefry. Lampu-lampu kota berkelebat di kaca jendela, namun Alyssa tak melihat apa pun. Tatapannya kosong, pikirannya masih terperangkap pada tinta tanda tangan yang kini sudah mengikat dirinya dalam pernikahan pura-pura selama setahun.
Begitu tiba, rumah besar itu tampak sama: megah, dingin, dan penuh bayangan. Alyssa melangkah masuk dengan langkah berat. Para anak buah Jefry menatapnya sekilas, seakan tak tahu apa yang baru saja terjadi.
Di dalam kamarnya, Alyssa akhirnya duduk di tepi ranjang. Gaun sederhana yang ia kenakan terasa menyesakkan. Ia memeluk bantal, tubuhnya bergetar
“Semuanya sudah diputuskan… satu tahun… aku harus bertahan demi Ayah, Ibu, dan Qiana…”
Ia tahu dalam hati nya kenapa ia memilih menyetujui tawaran pernikahan itu, karena ia tidak ingin terus berada di bawah perintah Jefry yang tidak jelas kapan akan berakhir. Tapi rasanya Alyssa seperti keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa. Membuat nya ingin berteriak sekuat tenaga meratapi kehidupannya. Namun ia kembali pasrah karena semua itu adalah keputusan nya.
Malam itu, Alyssa tak bisa tidur. Ia hanya duduk diam, memeluk dirinya sendiri, menunggu hari baru yang akan membawanya semakin dekat ke pernikahan yang tak pernah ia bayangkan.
Hari itu, seluruh kota seakan ikut merayakan. Taman luas di halaman kediaman keluarga besar dipenuhi bunga putih dan emas, kursi-kursi berbalut kain satin berderet rapi, dan musik klasik mengalun dari orkestra yang berdiri di sisi panggung. Para tamu undangan berdatangan—para bangsawan, pengusaha, pejabat—semua ingin menyaksikan pernikahan cucu keluarga Hadiwijaya.
Namun di balik jas hitamnya yang mewah, Emyr berdiri kaku. Senyumnya tidak pernah benar-benar terukir, matanya sayu, dan hatinya terasa kosong. Di ruang tunggu pengantin pria, ia memberanikan diri untuk terakhir kalinya berbicara dengan neneknya.
“Nenek…” suara Emyr parau, tangannya mengepal. “Kumohon, batalkan semua ini. Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang bahkan tidak aku kenal.”
Ruth menoleh perlahan, mengenakan gaun hitam elegan, tongkat berlapis perak di genggamannya. Sorot matanya tajam dan dingin.
“Emyr,” suaranya tegas, tidak memberi ruang untuk perdebatan, “ini bukan tentang perasaanmu. Ini tentang keluarga. Tentang nama besar yang tidak boleh tercoreng hanya karena seorang wanita bernama Greta.”
Emyr menunduk, mencoba menahan amarah yang membuncah. “Tapi aku mencintainya…”
Ruth mengetukkan tongkatnya ke lantai marmer. “Cinta tidak akan menyelamatkan nama keluarga kita dari skandal. Kau tidak perlu tahu siapa gadis itu. Yang perlu kau tahu, dia akan menjadi istrimu, dan dia akan menjaga nama baik kita. Itu saja.”
Emyr terdiam. Napasnya berat, dadanya terasa sesak. Ia sadar semua sudah direncanakan terlalu jauh. Undangan telah tersebar, tamu sudah hadir, media sudah menunggu.
Perlahan, ia menutup matanya. Rasa pasrah menelan seluruh dirinya. Dalam hati ia berbisik, Greta… maafkan aku.
Di sebuah ruangan mewah namun terpisah dari hiruk pikuk tamu, Alyssa duduk di kursi rias. Wajahnya yang biasanya polos kini perlahan berubah di bawah sentuhan kuas para perias profesional. Gaun putih gading menjuntai anggun di sampingnya, siap dikenakan.
Namun, meski penampilannya kian sempurna, hati Alyssa justru berantakan. Kedua tangannya gemetar di pangkuan, bibirnya pucat.
“Apa yang sudah kulakukan? Bagaimana kalau… tuan Jefry tahu, aku sudah mengkhianati kesepakatan nya,." Gumamnya dalam hati..namun kelebat ucapan nyonya Ruth kembali menenangkan nya,
Seorang perias tersenyum lembut padanya, “Nona… kau terlihat cantik sekali. Semua orang pasti akan terpesona.”
Alyssa hanya mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ia tahu semua ini bukan mimpinya, melainkan beban yang harus ia pikul demi keluarganya.
Pintu ruangan berderit terbuka, menampakkan sosok Ruth. Sang nenek bangsawan itu berdiri dengan anggun, matanya mengamati Alyssa dari ujung kepala hingga kaki.
“Bagus… kau lebih cantik dari yang kubayangkan. Ingat, Alyssa… hari ini kau bukan hanya dirimu sendiri. Kau adalah pengantin Hadiwijaya. Kau harus berdiri tegak, tidak peduli apa yang orang katakan.”
Alyssa menunduk, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.
“Nyonya… saya takut.”
Ruth mendekat, lalu dengan jarinya mengangkat dagu Alyssa agar menatapnya.
“Takut itu wajar. Tapi percayalah… kau jauh lebih kuat dari yang kau kira. Dan ingat janjiku—keluargamu akan bebas.”
Dalam pantulan cermin besar, Alyssa hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Seorang gadis sederhana, kini berubah menjadi pengantin yang anggun. Namun di balik kecantikan itu, hatinya tetap bergetar hebat menunggu saat ia harus berjalan menuju altar… menemui pria yang bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya.
Musik organ mengalun megah ketika pintu besar aula pernikahan terbuka perlahan. Semua kepala menoleh, para tamu berdiri memberi hormat. Dari balik cahaya yang masuk, sosok Alyssa muncul—terbungkus gaun putih panjang, langkahnya kecil namun pasti, diiringi pengiring pengantin.
Di altar, Emyr berdiri kaku. Ia tidak pernah tahu siapa gadis yang dipilih neneknya. Pandangannya tajam, wajahnya tegang, tetapi dalam dadanya hanya ada satu rasa: penolakan.
Namun saat Alyssa semakin dekat, kerudung tipis menutupi wajahnya membuatnya tampak asing, misterius. Emyr menahan napas, mencoba membaca siapa sebenarnya gadis itu.
Alyssa, di sisi lain, berusaha keras menegakkan punggungnya. Setiap langkah menuju altar terasa seperti menapaki jalan menuju takdir yang tidak bisa ia hindari. Buket bunga di tangannya basah oleh keringat, dan jantungnya berdebar tak karuan.
Ketika akhirnya ia sampai di hadapan Emyr, dunia seolah berhenti.
Salah seorang petugas pernikahan mengucapkan doa pembuka, sementara Emyr melirik sekilas ke arah pengantin wanitanya. Tatapan matanya bertemu dengan mata Alyssa yang samar terlihat di balik kerudung. Ada getar aneh yang tak bisa ia jelaskan—antara keterkejutan, ketidakpercayaan, dan rasa iba yang samar.
Alyssa menunduk, tidak berani menatap balik terlalu lama. Ia tahu pria di hadapannya adalah orang asing yang kini, dalam sekejap, akan menjadi suaminya.
Suara penghulu terdengar lantang, “Apakah Anda, Tuan Emyr Hadiwijaya, bersedia menerima wanita ini sebagai istri Anda, dalam suka dan duka, hingga maut memisahkan?”
Semua mata tertuju pada Emyr. Ia terdiam beberapa detik terlalu lama, hingga tamu-tamu mulai berbisik. Sorot tajam Ruth dari barisan depan menusuknya, memaksanya membuat keputusan.
Dengan suara berat, Emyr menjawab, “Ya, saya bersedia.”
Alyssa menggigil, lalu ketika gilirannya tiba,
"Apakah anda, nona Alyssa Nirmala, bersedia menerima pria ini sebagai suami anda, dalam suka dan duka, hingga maut memisahkan?"
ia pun mengucapkan janji yang sama dengan suara gemetar "ya, Saya bersedia"
Ketika kerudungnya perlahan diangkat, barulah Emyr melihat wajah Alyssa untuk pertama kalinya. Sesaat ia terpaku melihat kecantikan Alyssa yang alami. Namun Emyr segera sadar gadis di depan nya Bukan Greta yang ia impikan, melainkan seorang gadis asing dengan mata teduh yang penuh ketakutan—namun sekaligus menyimpan keberanian untuk berdiri di sana.
Sejenak, waktu seakan berhenti.