Alyssa, yang melihat Emyr keluar dari pelaminan, ragu sejenak sebelum mengikuti. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, gaun putihnya menyapu lantai.
“tunggu…” suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara pesta di balik pintu.
Pria itu menoleh. Tatapannya tajam, penuh letih. “Kau tidak perlu mengikutiku. Kembalilah. Mereka masih menunggumu di sana.”
Alyssa menggenggam gaunnya erat-erat. “Aku… aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”
Emyr terkekeh sinis, tanpa senyum. “Baik-baik saja? Kau pikir aku bisa baik-baik saja saat dipaksa menikahi seseorang yang bahkan tidak kuinginkan?”
Ucapan itu menohok hati Alyssa, tapi ia mencoba tetap tegar. “Aku pun tidak menginginkan ini. Aku tidak meminta berdiri di sampingmu malam ini. Tapi… aku tidak bisa menolak.”
Emyr menatapnya tajam, seolah mencari kebohongan. “Kenapa? Apa yang bisa membuatmu rela terjebak dalam pernikahan seperti ini?”
Alyssa terdiam lama. Lalu dengan suara nyaris bergetar, ia berbisik, “Karena....
Belum sempat bicara... seseorang di belakang memanggil nya.
"Alyssa..."
Alyssa menoleh dan mendapati seseorang berdiri tersenyum padanya.
Di sana, Ruth berdiri anggun dengan gaun hitam elegan, tongkat peraknya berkilau di bawah cahaya lampu kristal.
Ruth melangkah perlahan mendekat, setiap hentakan tongkatnya terdengar lantang di lantai marmer. Tatapannya beralih pada Alyssa. “Kau seharusnya kembali ke pelaminan. Para tamu mencarimu. Tidak sopan meninggalkan pesta hanya karena… percakapan kecil.”
Alyssa menunduk dalam, jantungnya berdegup kencang. “M-maaf, Nyonya…”
Emyr mendengus, menahan amarah. “aku hanya butuh udara segar …”
Namun Ruth menatap Cucun “Emyr. Malam ini Semua mata sedang tertuju pada kalian. Apa kau ingin membuat keluargamu terlihat lemah di depan publik?”
Tatapan tajam itu menancap pada Emyr, membuatnya mengatupkan rahang. Ia tahu tidak ada gunanya membantah di hadapan neneknya.
Ruth lalu menepuk lembut lengan Alyssa, senyumnya kembali muncul, “Ayo, menantuku. Tamu-tamu kita sedang menunggu. "
Dengan langkah ragu, Alyssa akhirnya mengikuti Ruth kembali ke aula. Sedangkan Emyr, masih berdiri di tempatnya, menatap punggung neneknya dengan api kemarahan yang terpendam.
Lampu kristal aula pernikahan mulai meredup. Para tamu satu per satu berpamitan, musik orkestra pun berhenti. Aroma bunga segar bercampur dengan sisa parfum para undangan masih menggantung di udara.
Alyssa duduk tenang di kursi pelaminan, buket bunganya sudah layu di pangkuan. Lelah dan gugup bercampur, sementara Emyr berdiri di sisi lain ruangan, sibuk menyalakan rokok meski tatapan para pelayan mencoba mengingatkan sopan santun.
Langkah Ruth terdengar mantap saat ia menghampiri mereka.
“Acara sudah selesai,” ucap Ruth datar. Matanya menyapu ruangan, lalu beralih pada cucunya. “Sekarang waktunya kau membawa istrimu pulang.”
Alyssa menoleh pelan, jantungnya kembali berdegup kencang. Kata pulang terdengar asing, karena bukan rumah orang tuanya yang dimaksud, melainkan rumah Emyr—rumah yang bahkan belum pernah ia masuki.
Emyr menghembuskan asap rokok, bibirnya melengkung sinis. “Nenek, setidaknya beri aku waktu—”
Ruth mengetukkan tongkatnya ke lantai, matanya menyipit. “Tidak ada waktu. Pernikahanmu sudah sah, semua orang sudah melihatnya. Mulai malam ini, Dia istrimu. Dan tempatnya ada di sisimu.”
Keheningan menelan ruangan. Alyssa menunduk, menggenggam gaunnya erat-erat, sementara Emyr mengepalkan tangan, jelas menahan amarah.
Ruth mendekat, suaranya lebih rendah “Jangan mempermalukan keluargamu lagi, Emyr. Sekarang Bawa dia pulang. ”
Emyr menatap neneknya lama, lalu membuang rokoknya ke lantai marmer, menginjaknya dengan geram. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan ke arah Alyssa.
“Ayo,” ucapnya pendek.
Alyssa berdiri perlahan, melirik Ruth yang tersenyum tipis dan mengangguk seolah berkata -jangan khawatir kau akan baik baik saja - Dengan langkah ragu, ia mengikuti Emyr keluar dari aula, meninggalkan cahaya pesta dan memasuki malam yang dingin—menuju rumah yang belum tentu bisa ia sebut rumah.
Malam telah larut. Jalanan kota mulai sepi, hanya lampu-lampu jalan yang berpendar di balik jendela mobil mewah berwarna hitam. Suasana di dalam mobil begitu hening, hanya suara mesin yang terdengar stabil, seolah ikut menekan udara yang berat di antara mereka.
Alyssa duduk di kursi belakang, gaun pengantinnya memenuhi hampir seluruh ruang. Tangannya sesekali meremas gaunnya untuk menghilangkan rasa gugup. matanya menatap keluar jendela, berusaha menghindari bayangan Emyr yang duduk di sampingnya.
Emyr bersandar dengan wajah tegang, jasnya sedikit terbuka, dasi longgar, tatapannya lurus ke depan. Dari ekspresinya, jelas ia tidak ingin berada di sana.
Beberapa menit terlewati tanpa percakapan, hingga akhirnya Alyssa memberanikan diri. Suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh dengungan mesin.
“Aku… minta maaf.”
Emyr menoleh sekilas, alisnya terangkat. “Maaf? Untuk apa?
Alyssa menggigit bibirnya, menunduk. “Karena pernikahan ini. Aku tahu kau tidak menginginkannya. Aku juga tidak… tapi—”
“Cukup.” Emyr memotong dingin, nada suaranya tajam. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Yang harus kau ingat jangan bertingkah melewati batasan mu"
Alyssa terdiam. Kata-kata itu menohok, membuat ya seakan tidak memiliki harga diri.
"Hmm.. kau jangan khawatir, aku tahu batasan ku"
Mobil melaju melewati jalanan yang mulai sepi. Hening kembali menelan mereka, kali ini lebih menyesakkan. Alyssa meremas gaunnya lebih erat, mencoba menahan perasaan takut sekaligus pasrah.
Emyr menghela napas dalam-dalam, lalu menambahkan dengan suara rendah, tanpa menoleh.
“Mulai malam ini, kau tinggal di rumahku. Tapi jangan berharap lebih. Ini hanya… pernikahan di atas kertas.”
Alyssa menutup matanya sejenak, menerima kenyataan pahit itu. Ia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai—dan akan jauh dari kata mudah.