part 9

836 Kata
Mobil hitam berhenti perlahan di depan sebuah mansion megah yang menjulang anggun di tengah halaman luas. Lampu-lampu taman menyala temaram, menerangi dinding marmer putih dan pilar-pilar tinggi yang membuat rumah itu tampak seperti istana. Alyssa menelan ludah. Ia tidak pernah membayangkan akan menginjakkan kaki di tempat semewah ini, apalagi sebagai “penghuninya.” Namun, bukannya merasa disambut, hatinya justru ciut. Rumah itu terlalu megah, terlalu dingin… tidak ada kehangatan sedikit pun. Pintu mobil dibuka oleh seorang sopir. Alyssa melangkah turun dengan hati-hati, gaun panjangnya menyapu lantai. Emyr keluar tanpa bicara, wajahnya tetap kaku. Begitu mereka berjalan ke arah pintu utama, beberapa pengawal sudah berbaris rapi menyambut. Mereka membungkuk, namun tatapan mereka penuh selidik, seolah menilai siapa gadis asing yang tiba-tiba masuk ke rumah tuannya. “Selamat datang di rumah, Tuan Muda… Nyonya.” Ucap seorang pelayan yang berusia sekitar 40 an. bagi Alyssa, kata Nyonya justru membuat dadanya semakin sesak. Emyr hanya mengangguk singkat. Ia lalu melangkah masuk tanpa menoleh, seakan melupakan Alyssa yang tertinggal beberapa langkah di belakang. Alyssa menarik napas panjang dan mengikuti. Begitu melewati ambang pintu, matanya langsung terpaku pada interior rumah: chandelier kristal raksasa menggantung di langit-langit tinggi, lantai marmer berkilau, lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding. Semua tampak indah, tapi juga… asing. Tidak ada tawa, tidak ada sapaan hangat. Hanya keheningan yang menggema di ruangan luas itu. Alyssa menggenggam gaunnya erat-erat, merasa dirinya seperti orang luar yang tersesat di dunia yang bukan miliknya. Emyr berhenti sejenak di tangga besar yang berkelok naik ke lantai atas. Ia menoleh sebentar, tatapannya dingin. “Kamar pengantin sudah disiapkan. Kau bisa tanya pada pelayan tadi” Alyssa mengangguk kecil, lalu melangkah pelan di belakangnya. Setiap langkah menuju kamar terasa semakin berat, seolah ia sedang menapaki jalan menuju takdir yang tak pernah ia pilih. "Nyonya..." Alyssa menoleh dan mendapati pelayan tadi memanggil nya.. dengan senyum ramah ia mendekati Alyssa. "Saya bibi Sari, saya akan mengantar nyonya ke kamar" Melihat senyum ramah bi sari membuat Alyssa teringat ibunya. "Bibi.. jangan panggil aku nyonya.. panggil Alyssa saja" ucap Alyssa. "Baik non..ehh.. Alyssa..ayo ikut saya" Alyssa tersenyum lalu melangkah pelan mengikuti bi sari. Kamarnya berada di lantai atas tempat di samping kamar Emyr. "Ini kamar anda, dan di samping ini kamar tuan Emyr" jelas bi sari "jika butuh sesuatu, Alyssa bisa panggil saya " Alyssa mengangguk " terimakasih bibi" Bi sari tersenyum lalu pergi. Pintu kamar tertutup perlahan, meninggalkan Alyssa sendirian. Ruangan itu luas, jauh lebih besar dari seluruh rumah orang tuanya. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, tirai panjang menjuntai hingga lantai, dan ranjang berukuran king yang tertutup seprai putih bersih. Semuanya tampak sempurna… tapi terasa begitu asing. Alyssa duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam gaun pengantin yang masih ia kenakan. Bayangan pesta, tatapan orang-orang, serta kata-kata Emyr terus berputar di kepalanya. “Kau pikir aku bisa baik-baik saja saat dipaksa menikahi seseorang yang bahkan tidak kuinginkan?” Hatinya perih. Ia tahu, dirinya bukan pilihan. Ia hanya pion dalam permainan yang lebih besar—kesepakatan, hutang, dan ambisi keluarga. Pelan-pelan ia melepaskan mahkota di kepalanya, lalu menaruhnya di meja rias. Wajahnya yang memantul di cermin tampak lelah, matanya merah karena menahan tangis. Ia melepaskan gaun dan membasuh tubuhnya alyssa memakai pakaian tidur nya. Ia mendesah pelan. “Apa yang sudah aku lakukan…?” bisiknya pada diri sendiri. Alyssa lalu berbaring, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Ranjang itu terlalu luas untuk ditiduri sendirian, membuatnya merasa semakin kesepian. Air mata akhirnya jatuh, membasahi bantal. Malam pertamanya sebagai seorang istri bukanlah malam penuh kebahagiaan, melainkan malam yang sunyi, penuh luka, dan pertanyaan tanpa jawaban. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela besar ruang makan. Meja panjang dengan taplak putih sudah dipenuhi sarapan lengkap—roti, buah, sup hangat, dan kopi. Alyssa duduk kaku di kursinya, jemarinya meremas sendok tanpa berani bersuara lebih dulu. Emyr, dengan kemeja putih dan dasi yang sudah rapi, menyesap kopinya sebelum akhirnya membuka percakapan. “Mulai hari ini, ada beberapa aturan yang perlu kau tahu.” Alyssa mengangkat wajahnya pelan, menatap dengan hati-hati. “Aturan…?” Emyr meletakkan cangkir dengan tenang, suaranya datar tapi tegas. “Pertama, selama kau tinggal di rumah ini, jangan pernah ikut campur dalam urusan pribadiku. Kedua, jika ada acara keluarga, kau wajib hadir sebagai istriku. Di luar itu, kau bebas melakukan apapun yang kau mau.” Alyssa menelan ludah, merasa kata-katanya berat. “Baik… aku mengerti.” Emyr menyandarkan diri ke kursi, lalu mengeluarkan sebuah kartu ATM dari saku jasnya dan meletakkannya di meja, mendorongnya ke arah Alyssa. “Ini untukmu. Ada cukup uang di dalamnya. Anggap saja sebagai…nafkah mu" Alyssa tertegun, menatap kartu itu. Jemarinya ragu menyentuhnya, Emyr menatapnya singkat dan dingin. “terserah padamu, aku tidak memaksa mu menerima nya. " Keheningan menyusul. Alyssa akhirnya meraih kartu itu, menggenggamnya erat. “Terima kasih…” “Ingat aturan-aturan itu. Jangan membuatku menyesal lebih dari ini.” Ia lalu berdiri mengambil jasnya dan melangkah pergi, meninggalkan Alyssa sendiri di meja makan, dengan kartu ATM di genggaman. Alyssa menunduk, hatinya penuh campuran rasa—tersakiti, tapi juga terikat pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN