“Mas, sampai kapan kamu mau terus begini?” suara Bening pecah, parau, seolah keluar dari d a da yang penuh sesak. Tangannya meremas gagang pintu di belakangnya, begitu kuat sampai buku-buku jarinya memutih. “Kita udah nikah, tapi kamu nggak pernah sekalipun nganggep aku ini istri.” Di ranjang, Banyu menutup map perlahan. Suara kertas yang bergesek sejenak terdengar jelas di antara hening kamar. Ia tidak terburu-buru, seolah setiap gerakannya sudah terlatih untuk tenang. Setelah map menutup, matanya singkat mengarah ke Bening. Sorot itu hanya sekilas, datar, lalu kembali ke tembok kosong di hadapannya. “Aku capek, Bening. Besok kita sama-sama kerja lagi.” Suaranya rendah, datar, tanpa riak. “Jangan alihin pembicaraan, Mas!” bentak Bening, langkahnya maju terburu-buru. Suara sandal rumahn

