Bening menempelkan ponsel di telinganya, berdiri kaku di lorong pengadilan yang sunyi. Udara di sana jadi begitu dingin. Dari balik pintu ruang sidang, suara hakim dan gemerisik kertas masih samar terdengar, tapi telinganya sudah tak bisa fokus lagi. Seluruh perhatiannya tertarik pada suara yang panik di ujung sana. “Mbak Bening, ini saya, Rina,” suara Mbak Rina terdengar tergesa, terbata, seakan berusaha menahan napasnya yang memburu. Ada getar jelas dalam intonasinya, seperti orang baru saja melihat sesuatu yang tak masuk akal. Bening spontan meremas tali tas di bahunya. Jemarinya kaku, matanya menatap kosong ke lantai marmer yang mengilap. “Mbak Rina? Ada apa? Suaranya kok… panik gitu?” Hening sepersekian detik di seberang sana membuat jantung Bening berdegup makin kencang. Lalu suar

