Jaden menampilkan raut bahagia seharian ini, membuat beberapa orang disekitarnya mengerutkan dahi seakan tak percaya bahwa sang iblis bisa menampilkan senyum manisnya. Suara bising radio yang sengaja dibunyikan keras-keras meredakan suara mereka, beberapa pria tersebut menatap aneh pada orang yang baru masuk ke ruangan.
Ruangan? Ya, tempat tersebut adalah markas dari pria-pria itu. Sebuah bangunan seperti rumah yang sengaja dibuat untuk mereka ber-quality time berdiri kokoh dengan sederhana, karena tak ingin mencolok dimata orang-orang sekitar.
“Darimana? Senyummu membuat siapapun yang melihatnya bergidik ngeri, kau tak pantas tersenyum.” Celoteh seorang pria yang sedang meniup asap rokok di udara.
Jaden yang merasa dibicarakan hanya diam saja, ia tidak tertarik dengan pembicaraan tersebut.
“Aku mempunyai kabar terbaru dari Profesor Eden.” Sebuah suara menceletuk di antara keheningan yang ada.
Sontak ucapan tersebut langsung mendapat perhatian dari pria-pria disana, mereka menatap sang empunya dengan tajam dan penasaran. Bahkan kini Jaden mengganti raut wajahnya yang tadinya cerah kembali muram.Sepertinya ia tidak terlalu tertarik dengan hal yang dimaksud 'kabar' tersebut.
“Langsung saja, Joan.” Ujar seorang pria bernama Wiliam.
Joan menjentikkan jari-jarinya, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku celananya.
“Temuan terbaru Profesor Eden, cairan ini bisa sedikitnya menekan hasrat kalian-- terutama dirimu, Nial." Joan menggoyangkan botol itu tepat dihadapan pria bernama Nial.
Nial yang merasa terpanggil tersenyum miring, Joan melempar botol itu tepat mengenai genggaman Nial. Tanpa babibu Nial mengambil jarum suntik di wadah yang sudah tersedia, mengisi spuit tersebut dengan cairan dalam botol lalu menusukannya kedalam lengan. Mereka yang ada disana hanya diam melihat reaksi cairan yang di berikan Joan, selanjutnya Nial mendesis pelan saat efek dari cairan tersebut sudah bereaksi.
Panas dingin bisa Nial rasakan, sekujur tubuhnya bergetar ringan seperti orang menggigil kedinginan. Wajahnya memucat pertanda menahan rasa sakit yang semakin menjalar, pria-pria disana masih diam memperhatikan. Bahkan tubuhnya sampai terpental dari sofa lalu jatuh ke lantai, matanya menatap ke atas langit-langit sambil menahan rasa sakit.
“Tahan aku!” Teriak Nial keras-keras.
Jika sudah seperti ini maka beberapa pria tersebut akan bertindak, mereka memegang tangan Nial kuat-kuat agar tidak memberontak. Semakin banyak efek cairan tersebut, maka semakin baik pula bagi pemakainya.
Keringat menetes dari dahi lalu memenuhi wajah Nial, bisa Jaden perhatikan bahwa temannya itu benar-benar diambang kesakitan luar biasa. Nial berteriak bagaikan orang kesurupan, kakinya menendang apapun kesana kemari. Ia merasakan sakit luar biasa pada kepalanya, matanya terpejam sesaat setelah puing-puing memori diotaknya mulai memproses.
“ARGHHHH!!!!” Teriakan nyaring berasal dari Nial, untung saja bangunan itu kedap suara. Tidak akan ada yang curiga mengenai aktivitas apa yang dilakukan.
Setetes cairan merah pekat mengalir turun dari hidung Nial, ia mengusap dengan kasar. Setelahnya napasnya memburu dengan cepat, kepalanya terasa berdenyut pelan. Berusaha bangkit dari duduknya, pria itu meraih tangan yang berada disekitarnya untuk menjadi penopang.
"Hah..." Desah Nial, ia mencoba mendongak menatap teman-temannya.
“Sudah merasa baikan?” Tanya Jaden pada Nial, ia penasaran dengan reaksi cairan tersebut.
Nial mengangguk pelan, tubuhnya memang lelah tapi pikirannya terasa segar dan enteng.
“Sam, bawakan air minum untuk Nial.” Ujar sebuah suara.
Pria bernama Sam segera mengambilkan segelas air putih untuk Nial, Jaden menuntun Nial untuk minum secara perlahan. Kondisi pria itu terlihat kacau, keringatnya bahkan membanjiri rambutnya sampai basah kuyup.
Nial terkikik padahal tidak ada hal lucu, sambil sendawa beberapa kali. Hal itu sudah lumrah terjadi, tidak ada yang perlu di khawatirkan.
“Obat sudah bekerja dengan baik, tidak salah aku memilih Eden menjadi pekerja khusus untukku.” Joan tersenyum bangga.
“Ada lagi dari kalian yang mau mencoba?” Tawar Joan dengan senyuman miring andalannya. Benda yang ada didalam botol itu adalah cairan yang bisa membuat seseorang berhalusinasi dan terasa ringan hidupnya, sifatnya terkesan candu bagi pemakainya.
Seorang pria mengangguk tertarik, baru saja ia ingin membuka mulutnya tapi terlebih dahulu dipotong oleh sebuah suara.
“Kau masih kecil, Sam. Anak kecil tidak boleh bermain-main dengan obat ini, tunggu usiamu sudah dewasa.” Wiliam, dia adalah kakak dari pria bernama Samuel.
Sam mengerucutkan bibirnya, ia merasa tidak terima oleh ucapan sang kakak.
“Aku sudah besar, Will. Aku bahkan diterima bergabung dengan kalian, kurang apa aku dimatamu hah?” Teriak Sam menggebu.
Jika sudah begini maka perang mulut antara kakak beradik tidak bisa terelakkan, Will memijat kepalanya pelan, harus dengan apa menjelaskan ini dengan adiknya yang masih polos.
“Sam, kau harus tahu bahwa dirimu berbeda. Aku tidak suka jika harus membahas ini, tapi demi menjelaskan pada dirimu agar mengerti maka aku terpaksa mengatakannya.” Ujar Wiliam sembari menatap adiknya.
Sam menatap tajam Will. “Apa? Apa bedanya aku dengan kalian semua?”
“Sam, Will. Sudahlah!” Ucap Joan menengahi.
"Tidak, Jo. Biarkan kakakku menjelaskan, aku sudah pernah dibeda-bedakan oleh orangtuaku tapi kini aku tidak mau dipandang sebelah mata lagi, aku ingin menjadi seperti kalian. Kenapa? Kenapa kau selalu melarangku ini dan itu.” Samuel semakin menggebu lalu menunjuk-nunjuk Wiliam dengan tatapan benci.
“Sam, berhenti membenci kakakmu." Gerald datang berupaya meredam emosi Sam, ia adalah salah satu orang yang paling tahu mengenai permasalahan keluarga besar Samuel dan Wiliam.
Samuel merupakan anak dengan kelainan mental atau sering dikenal sebagai autisme yang membedakan dirinya dengan pria-pria lain seumurannya, pria itu masih polos seperti bayi. Bahkan jika ditipu pun Sam akan menurut begitu saja, dunia ini sangat kejam untuk ditinggali orang seperti Sam yang polos.
Masih menangis tergugu, ia bagaikan anak kecil yang tidak diberikan permen oleh orangtuanya.
“Kalian selalu membelanya, tapi tidak denganku. Aku benci kalian semua!” Samuel berlari keluar rumah dengan tatapan penuh amarah yang masih melekat di dalam matanya, meninggalkan kelima pria yang terbengong di tempat masing-masing.
Gerald menatap Wiliam yang tengah menghela napas kasar, ia tahu sisi lain Wiliam yang selembut sutra bagi adiknya.
Wiliam tidak ingin Samuel merasa dibedakan, tapi orangtuanya lah yang membeda-bedakan kasih sayang untuk anak-anaknya. Wiliam selalu dituruti apapun kemauannya, berbeda dengan adiknya yang bahkan tidak dianggap di dalam keluarga.
Samuel yang polos tidak pernah membenci orang-orang yang meremehkan dirinya, bahkan Samuel kecil selalu melakukan apapun untuk menarik perhatian keluarganya. Tapi semua berakhir sia-sia, saat orangtua mereka tak menginginkan Samuel dan membuangnya bagaikan sampah.
Samuel meraung meminta maaf pada orangtuanya jika ia memiliki kesalahan, tapi orangtua kolot itu tetap tak mengindahkan tangisan Sam kecil. Hanya karena mental Sam yang berbeda dengan kebanyakan, membuat mereka jijik dengan darah dagingnya sendiri.
Wiliam tentu membela adiknya, rasa sayangnya begitu besar pada Sam hingga rela ikut dibenci oleh keluarga. Wiliam sangat dekat dengan Samuel bahkan melebihi kedekatan dengan orangtuanya, orangtua mereka begitu sibuk hingga melupakan anak-anaknya. Memang Wiliam selalu mendapatkan apa yang ia mau, tapi ia jauh dari kata kehangatan keluarga.
Keduanya memilih menjauh dari rumah saat berusia belasan tahun, hingga membawanya bertemu dengan Gerald yang menawarkan mereka untuk bergabung dengan yang lain.
“Will, kejar adikmu. Ia masih sangat polos dan rentan terhadap dunia luar, kau bertanggung jawab untuk menjaganya.” Jaden menepuk pelan pundak Wiliam.
Seakan tersihir oleh kata-kata Jaden, detik berikutnya Wiliam berlari keluar mencari Samuel yang sepertinya sudah jauh di depan. Ia mengumpat pelan, seharusnya ia bisa menahan emosinya tadi. William tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika adiknya ada apa-apa, hatinya merasa tercubit mendengar keluhan Samuel yang selama ini tidak pernah dilontarkan.
“Sam, maafkan aku." Lirih Wiliam, ia menatap nanar kepergian sang adik.
Jaden, Nial, Joan, Samuel, Wiliam dan juga Gerald. Ke enam pria dewasa yang membentuk sebuah circle pertemanan yang memiliki ciri sifat dan kehidupan yang hampir sama satu sama lain, yakni sama-sama menjalani kehidupan hitam nan gelap. Namun, meski begitu beberapa dari mereka tetap memiliki latar belakang yang berbeda.