8

1777 Kata
Lili tersenyum hangat saat melihat anak-anak didepannya sedang bermain dengan ceria, sepetak tanah yang dijadikan taman bermain dengan beberapa ayunan sudah cukup menjadi penghibur bagi anak-anak panti asuhan. Terdengar menyedihkan memang, tapi lihatlah raut wajah bahagia yang ditunjukkan mereka, anak-anak polos yang ditinggalkan oleh orangtuanya secara sengaja maupun anak yang memang sudah tidak memiliki orangtua. Mereka adalah anugerah kecil yang Tuhan berikan untuk menghibur dunianya, Lili sangat menyayangi anak kecil. Bahkan jika bisa, ia ingin kembali menjadi anak kecil yang hanya memikirkan tentang bermain dan bermain, bukan kehidupan dewasa yang penuh dengan lika-liku. Seorang pria datang mendekati tempatnya duduk, Lili sudah mengenal baik pemilik langkah pelan itu. "Hai, ku kira kau tidak datang karena tumben sampai di jam seperti ini."  "Yah! Mobilku sedang dipakai, aku harus menunggu bus lebih lama untuk ke sini." Ujar Lili tak sepenuhnya berbohong, ia hanya memotong kejadian Jaden yang mengantarkannya sampai kesini. Orang itu menganggukkan kepala mengerti. "Lalu, bagaimana kabarmu selama di luar kota kemarin?" Tanyanya. "Semua baik-baik saja serta berjalan dengan lancar, aku berhasil menggagalkan niat investor yang akan menggusur panti ini." Jawab pria itu sambil menyunggingkan senyumnya. "Kau hebat, Shawn. Andai saja aku bisa ikut denganmu maka sudah ku pastikan orang-orang itu akan ku tendang wajahnya sampai rata, seenaknya saja mau menggusur panti demi kelancaran bisnis mereka. Oh Tuhan! Apa mereka tidak berpikir bagaimana nasib anak-anak ini kedepannya, demi kekayaan mereka tega membuat anak-anak yatim kehilangan tempat tinggal." Lili melemparkan tatapan geramnya. Sejak beberapa hari yang lalu, Panti ini memang sedang berada dalam masalah karena akan digusur oleh investor. Mati-matian Shawn dan Lili mempertahankan Panti agar berdiri tegak untuk melindungi anak-anak yang kurang beruntung, puncaknya adalah kemarin saat Shawn berhasil memenangkan debat dan ia mendapatkan kembali panti asuhan ini. Pria bernama Shawn terkekeh geli mendengar gerutuan Lili, gadis itu benar-benar unik. "Kau bisa melakukannya jika mereka datang ke sini, tapi semoga saja ia sudah kapok dengan gertakanku." Lili mengangguk dengan semangat, kembali ia memperhatikan anak-anak yang masih bermain. Ia harus memastikan bahwa anak-anak tidak ada yang terluka, jatuh ataupun saling bertengkar karena masing-masing berebut mainan. Sedangkan Shawn lebih tertarik melihat senyuman Lili, gadis itu sungguh menarik dimatanya. Ada secercah harapan agar ia bisa mempunyai kesempatan untuk dekat dengan Lili, namun ia paham siapa dirinya dan apa posisinya. Lili memiliki kesempurnaan bagai tolak ukur perempuan, ia juga memiliki jiwa sosial yang tinggi dan sangat perhatian pada sekitar. Gadis seperti itu sangat langka, jika pun ada maka akan menjadi rebutan pria di berbagai tempat. Shawn tersenyum kecut saat ia tak sengaja melihat Lili yang diantar oleh seorang pria dan memberinya ciuman dipucuk kepala, tentu saja Shawn berpikir bahwa Lili sudah memiliki kekasih dan sebagai kode bahwa dirinya tak boleh mengharapkan Lili lagi. Sudah bisa dekat dan menjadi teman pun, Shawn sudah sangat bersyukur. Dari arah gerbang yang terbuka terlihat seorang pria sedang berlarian menuju ke arah taman, sontak membuat anak kecil yang berada disana ketakutan. Lili menengok ke arah Shawn yang juga sedang menatapnya, mata keduanya membelalak terkejut. "Shawn, kau mengenalnya?" Lili bertanya pada Shawn. Shawn menggeleng keras. "Tidak, aku asing terhadap wajahnya." "Baik, kau bawa anak-anak masuk kedalam panti. Biar aku yang menangani pria itu, dia juga sedang menangis tergugu." Tukas Lili. Shawn merasa keberatan jika dirinya harus pergi, ia adalah seorang pria dan sudah menjadi kewajiban bahwa Shawn lah yang melindungi Lili serta anak-anak panti. "Kau lihat jika pria itu terlihat err-- tidak waras, dia bisa membahayakanmu." Shawn berkata dengan penuh keraguan, ia memincingkan mata melihat pria yang agak setengah bermasalah itu. "Shawn, percayakan padaku! Kasihan anak-anak sudah menangis ketakutan." Lili menganggukkan kepala pelan untuk memberi Shawn pengertian. Mau tak mau akhirnya Shawn mengiyakan, dengan berat hati ia membawa anak-anak masuk ke dalam bangunan panti asuhan. Sedangkan Lili mendekati pria asing itu, ia menatapnya dari atas hingga kebawah meyakinkan bahwa pria itu tidak membawa senjata berbahaya. Dari tampilannya, Lili yakin bahwa pria itu bukan orang gila ataupun tuna wisma. Pakaian dengan brand ternama melekat ditubuhnya, jangan lupakan jam tangan mewah yang melingkar dipergelangan tangan kanannya. Pria itu duduk di ayunan, dengan wajah sembab dan masih menangis mengeluarkan air mata. Lili mengerutkan keningnya, pria dihadapannya terlihat dewasa namun bertingkah seperti anak kecil saja. "Maaf, kau siapa?" Ujar Lili hati-hati. Pria itu mengadahkan kepala melihat Lili yang juga menatapnya, buru-buru ia mengelap air mata yang hampir keluar dari matanya. "A-aku Sam, kau bisa memanggilku Sam. Maaf telah membuat kalian takut, aku tidak berniat jahat kok." Sam berkata sambil memainkan jari-jarinya dengan takut-takut, ia tidak sadar ketika berlari hingga membawanya ke tempat ini. Saat melihat gerbang terbuka dan terdapat taman dengan bunga-bunga indah serta tempat bermain anak-anak refleks membuat dirinya tertarik, apalagi dipenuhi dengan warna-warna mencolok khas kesukaan anak kecil. Lili tersenyum mengerti, sekarang ia paham kenapa pria itu bersikap seperti anak kecil. "Tidak perlu takut, aku juga tidak marah. Oh ya, namaku Lili." Lili mengulurkan tangannya kepada Sam. Sam melirik takut-takut pada jabatan tangan Lili, tapi akhirnya pria itu mau menjabatnya walau dengan ragu. "Senang berkenalan denganmu, Sam." Lili melemparkan senyuman manisnya, sangat menenangkan. Sam membalas senyuman Lili, bahkan pria itu kini berbinar menatap gadis dihadapannya. "Kau tidak jijik padaku? Kau tidak menjauhiku?" Tanya Sam pada Lili dengan polosnya. Lili mendudukkan dirinya pada ayunan yang berada tepat di sebelah Sam, ia menengok kearah Sam yang masih setia menatapnya sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kenapa begitu?" Tanya Lili balik. Lama tak ada suara hingga mulai terdengar isakan kecil. Lili terkejut melihat Sam yang terisak, ia merasa tidak enak. "Eh- maafkan aku Sam, apa aku menyakitimu?" Lili meringis kecil. Sam menggeleng kuat-kuat. "Kau adalah orang pertama yang mau berkenalan denganku dan juga duduk di sampingku, aku selalu dikucilkan serta dijauhi oleh semua orang." Lili hanya mendengarkan ucapan Sam, ia tidak berniat memotongnya apalagi pria itu masih menunduk sedih membayangkan kehidupannya. "Apalagi ketika mereka yang menjauhiku, mencemoohku sebagai anak tidak waras. A-aku sedih mendengarnya, tapi aku tidak bisa membenci mereka, karena mereka adalah orangtuaku." Ucap Sam dengan nada sedih kentara. Hati Lili mencelos mendengar penuturan Sam, tak jauh berbeda nasib Sam dengan anak-anak panti yang sengaja di terlantarkan oleh orangtua kandungnya. Sam sendiri tidak tahu kenapa dengan mudahnya bercerita pada orang asing, ia hanya ingin mencurahkan isi hatinya yang selama bertahun-tahun dipendam sendiri. Mungkin ini yang dinamakan 'titik terendah dalam hidup', ia ingin mempunyai teman yang mau mendengar keluh kesahnya. Selama bertahun-tahun tidak ada yang benar-benar mendengarkan kesedihannya, termasuk Will sekalipun. Wiliam hanya menjaga Samuel agar tidak keluar dari penjagaan, memerintahkan agar dirinya selalu berada didalam rumah sedangkan Wiliam sendiri pergi entah kemana, tidak pernah sekalipun Wiliam duduk berdua bersamanya lalu saling bertukar pikiran masing-masing. "Keluarkan semua beban yang mengganjal dihatimu, Sam. Kau perlu melakukannya agar dirimu menjadi tenang." Lili berujar. Sam menatap Lili, disela-sela tangisannya ia tersenyum tulus. "Maukah kau menjadi temanku, Lili?" Lili mengangguk antusias. "Tentu saja, Sam." Keduanya saling menautkan jari kelingking, Lili terkekeh dalam hatinya karena ia merasa berkelana dimasa kanak-kanak. "Berapa usiamu?" Tanya Lili membuka percakapan agar tidak terasa garing. "Kata Will, usiaku sekarang dua puluh tahun." "Ohh, aku lebih tua satu tahun darimu." Tiba-tiba Sam berteriak kecil dengan heboh. "Kalau begitu aku akan menganggapmu sebagai kakak ku, kau mau kan?" Bagaimana Lili tidak terbius dengan puppy eyes ala Sam, bahkan sekarang pria itu mengedipkan mata dengan penuh harap. "Of course, my lil brother." Lili mengusap puncak kepala Sam, rambut pria itu bahkan lebih halus dibandingkan rambutnya. "Jika aku boleh bertanya, mengapa kau bisa sampai disini dan menangis?" "Aku bertengkar dengan kakakku. Will selalu berkata bahwa menyayangiku, tapi ia melarangku keluar rumah dan menyuruh penjaga agar menjagaku. Will bisa bebas bepergian kemanapun dan melakukan apapun, tapi aku tidak." "Sungguh aku membencinya!" Lanjut Sam dengan wajah memerah, masih diingatnya dengan segar pertengkaran mereka tadi. Sekarang Lili mengerti. "Sam, bisa saja Will melakukannya demi kebaikanmu. Ia tidak ingin terjadi apa-apa denganmu, ia menyayangimu dengan caranya sendiri." "Benarkah begitu, Sister?" Sam menatapnya dengan pandangan khas anak kecil, membuat Lili tersenyum lebar. "Ya, jadi kau harus menuruti ucapannya karena -- " ucapannya terpotong saat mendengar suara gemerisik dari arah gerbang. Di sana terdapat beberapa pria yang mengenakan seragam khas bodyguard, Lili tahu betul karena ia juga sering melihat pengawal berkeliaran di hidupnya. Salah seorang pria mengenakan pakaian yang berbeda dari lainnya, pria itu mendekat kearahnya. "Itu Tuan Sam." Teriak salah satu bodyguard. Sam yang mendengarnya mulai kelimpungan ia kembali ketakutan dan terisak seperti tadi, bahkan kini jaket Lili ditarik-tarik seolah meminta perlindungan. Sam benar-benar polos layaknya anak kecil! "Sister, help me! Itu adalah Will, dia pasti murka terhadap ku." Samuel bahkan benar-benar menangis ketakutan sekarang. Apa Wiliam memang separah itu memperlakukan adiknya sendiri? "Tenanglah, Sam. Aku yang akan berbicara pada kakakmu." Lili berdiri dihsadapan Samuel. Will sudah berada tepat dihadapan keduanya, ia menatap tajam Lili lalu beralih menatap adiknya. Dengan aba-aba menjentikkan tangan, Will menyuruh bodyguard untuk menangkap Sam. "Tunggu! Will, itu namamu kan?" Lili menunjuk wajah Wiliam dengan jari telunjuknya. Will menaikkan satu alisnya, bisa ia tebak bahwa Sam pasti bercerita macam-macam tentang dirinya pada orang asing ini. "Adikmu takut padamu, tidakkah kau bisa melihatnya?" Lili maju selangkah ke depan, sedangkan Sam masih setia bersembunyi di belakangnya. Will berdecih. "Kau hanya orang asing yang tidak tahu apapun, tidak usah ikut campur." Lili mendengus kesal, tipe keras kepala. "Setidaknya kau bisa berbicara dengan baik-baik pada adikmu. Tentu kau pasti sudah tahu betul mengenai keadaannya, jangan gunakan kekerasan untuk membuatnya terlihat normal seperti oranglain." Mendengar hal tersebut membuat Will tersinggung, ia merasa diremehkan dalam hal menjaga Sam. "Aku tidak ada urusan denganmu! Dan kau, Sam. Pulang bersamaku sekarang juga." Wiliam berkata dengan penuh penekanan. "Aku tidak mau! Will jahat, Sister tolong aku." Sam memberontak saat bodyguard mulai mendekatinya. "Berhenti di sana." Tegas Lili, seketika itu pria-pria bertubuh tinggi itu terdiam ditempatnya. Entahlah, perkataan Lili terdengar bak hipnotis. Lili menghadap Sam yang masih ketakutan, ia tersenyum kecil. "Sam, Wiliam dia adalah kakakmu. Kau harus pulang bersamanya ya, Sister yakin bahwa kita akan bertemu lagi. Tunjukkan pada Will kalau kau adalah pria yang hebat, selalu ingat pesanku tadi ya?" Sam mengangguk pelan, hatinya merasa hangat setelah mendengar penuturan gadis itu. Lili bagaikan sosok kakak sekaligus ibu yang baik, Sam langsung memeluk Lili dengan erat. "Terimakasih, Sister. Lain waktu aku akan meminta izin pada Will untuk berkunjung kesini, jangan melupakanku ya." "Tentu saja, adik kecil." Dalam hati Lili melenguh, tidak setiap saat dirinya mengunjungi panti. Will melihat itu semua, ia sempat tertegun tatkala mengetahui bahwa adiknya bisa begitu akrab dengan orang lain. Hatinya tercubit merasa tersaingi, apakah selama ini ia terlalu membekukan hatinya hingga adiknya sendiri pun terasa jauh darinya. "Will, ayo kita pulang." Ujar Sam menyerahkan diri, ia berjalan kearah Will. Lili menatap datar Will. "Jaga adikmu dengan baik." Will hanya diam saja, ia segera berjalan menjauhi panti dengan memegang erat-erat tangan Sam agar tidak kabur lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN