Sesuai janjinya tadi yang akan mengunci rumah dengan double gembok sebagai pembalasan dendam atas Anderson, saat ini Lili tengah tersenyum lebar melihat pintu rumah yang tergembok cantik. Ia memang tipe gadis pendendam, dirinya sungguh kesal mengingat pagi harinya yang menjadi kacau karena kakaknya, terlebih hal itu membuatnya sampai kembali bertemu dengan Jaden.
Sedangkan dirinya sudah masuk kedalam rumah, tak lupa mengunci pintu dapur serta pintu-pintu lainnya agar Anderson tidak bisa masuk. Biarlah pria itu tidur di hotel atau diluar rumah sekalipun, Lili tidak peduli.
Meletakkan sling bag diatas sofa lalu menyambar handuk yang tergantung di dinding, Lili tidak berniat mandi, hanya mengganti dengan pakaian santai serta mencuci muka. Lelah seharian karena aktivitasnya, ingatannya berputar pada kejadian Sam tadi. Pria itu sungguh polos, bagaimana jika Sam benar-benar mendatangi panti sedangkan dirinya tidak berada disana saat itu.
Ia menghela napas lelah, mengarahkan selang shower kearah wajah untuk membasuhnya. Setelahnya ia meraih handuk untuk mengeringkan wajahnya dan mengganti pakaian.
Kaos sederhana dan boxer adalah starter pack Lili jika berada didalam rumah, pikirannya sudah berkelana pada ranjang empuknya serta selimut tebalnya. Ia meloncat masuk kedalam selimut, menguap lebar lalu menutup mata hingga dengkuran halus terdengar.
Sedangkan diluar sana seorang pria berdiri tak jauh dari rumah, orang itu adalah Anderson yang menarik-narik gembok dengan sekuat tenaga tapi berakhir sia-sia tentunya. Menghela napas lelah, pria itu sudah yakin bahwa ini adalah aksi balas dendam adik perempuannya.
"Lili, buka pintunya." Teriak Anderson yang entah sudah keberapa kalinya, tangannya juga sibuk menekan tombol ponsel berharap Lili akan menjawab panggilannya.
Anderson merutuki bahwa tidak ada asisten rumah tangga di rumahnya, keluarganya mengerjakan apa-apa sendiri, karena Olivia suka membersihkan rumah dengan tangannya sendiri. Begitupun dengan Lili, gadis itu juga aktif membantu Ibunya dalam hal mengurus rumah.
Tak jauh dari posisi Anderson yang sedang menahan kesal, diseberang jalan ada sebuah mobil mewah yang berhenti di pinggir jalan. Ia adalah Jaden, memastikan bahwa Lilinya sudah sampai rumah dengan selamat meskipun harus menunggu lama seperti orang tak ada kerjaan. Sudah sekitar setengah jam ia berada disini, memastikan bahwa Lili tidak akan bepergian lagi setelahnya. Tersenyum menyeringai, ia menatap pria yang berdiri di depan pintu dengan wajah masam, calon kakak iparnya sedang berada dinasib tersial.
Akhirnya Jaden memutuskan pergi dari sana, ia yakin Lilinya sudah tidak ada aktivitas diluar rumah lagi kali ini. Memastikan bahwa gadisnya sudah aman adalah tanggung jawabnya, meskipun ia akan mendapatkan amarah luar biasa jika Lili mengetahuinya. Mengendarai dengan santai dan senyuman kecil yang tak pernah berhenti dari bibirnya, hari ini ia masih bisa tersenyum mengingat kebersamaannya dengan Lili.
---
Menguap lebar-lebar Lili mengucek matanya yang terasa enggan untuk dibuka, ia bangun dari tidur dengan malas. Diliriknya jam dinding ternyata ia sudah tidur selama satu jam lebih, gadis itu menyibak selimut untuk mencari karet rambut. Matanya tak sengaja mendapati lampu notifikasi ponselnya yang berkedip-kedip pertanda ada pesan masuk.
Lili membuka ponselnya, ternyata ada banyak notifikasi dari kakaknya yang sebagian berisi umpatan untuknya. Lili baru ingat jika mengunci rumah dengan double gembok sehingga Anderson tidak bisa masuk, ia terkikik geli.
Berjalan kearah pintu depan, ia menyibak jendela yang memperlihatkan mobilnya sudah bertengger manis di halaman. Sedangkan Anderson berbaring di gazebo depan rumah, akhirnya Lili membuka gemboknya yang begitu kuat.
Ia menghampiri Anderson yang ternyata sudah tertidur disana.
"Kak, bangun! Masuk rumah sana."
Anderson menggeliat enggan untuk bangun, ia menatap dengan seksama siapa orang dihadapannya. Matanya langsung menajam menatap si tersangka, dengan cepat ia buru-buru bangun dari tidurnya.
"Heh! adik durhaka, tega sekali kau mengunci kakakmu." Sungut Anderson dengan wajah kesal.
Lili hanya mendengus malas. "Mau masuk tidak? Atau ku kunci lagi nih."
Walaupun masih kesal, Anderson langsung masuk ke dalam rumah serta tak mau mengambil resiko jika harus terkunci diluar lagi.
Menutup pintu rapat-rapat, Lili menghampiri kakaknya yang mendudukkan b****g disofa. Satu lagi yang harus ia ingat, tak ada bahan makanan di rumah.
"Kau tidak membeli bahan makanan?"
Lili menggeleng. "Tidak sempat."
"Tidak sempat atau dasarnya males? Kau pasti tertidur kan tadi, huh."
"Ya ya kau menang! Aku akan memesan makanan saja, tidak mood memasak."
Lili meraih ponsel di kantung celana untuk menghubungi rumah makan langganannya. Ia berniat memesan makanan khas negara asal Ayahnya, rendang daging serta sambel ijo menggugah selera.
Dibutuhkan waktu setengah jam untuk menunggu pesanan mereka datang, mereka sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing padahal di depan sana ada televisi yang sengaja di hidupkan untuk meramaikan suasana. Jika Lili sibuk mengecek sampai mana pesanan makanannya, maka Anderson sibuk dengan data keuangan kantor.
"Yak, mana uangnya?" Lili mengadahkan tangan pada Anderson, kakaknya meliriknya sebentar.
"Untuk apa?" Anderson menaikkan satu aslinya ke atas.
Lili memutar bola mata jengah. "Bayar makanan."
"Kau ini sangat pengiritan, sekali-kali mentraktir ku makanan susahnya minta ampun." Anderson berdecak, tapi tangannya tetap meraih uang di dompetnya lalu menyodorkan pada Lili.
"Aku mahasiswa yang butuh banyak pengeluaran, sedangkan dirimu sudah bekerja." Tukasnya lalu berjalan keluar rumah saat bunyi bel mulai terdengar.
Dilihatnya kurir pengirim makanan sudah berdiri di depan pintu, Lili menyambut dengan senyum kecil.
"Atas nama Lili Nugroho, pesanannya rendang?" Kurir tersebut membacakan pesanan Lili.
"Iya benar." Lili menyodorkan uangnya pada kurir itu, tapi anehnya ia tidak mau menerima.
"Maaf, pesanan ini sudah dibayar oleh seseorang." Kuir itu tersenyum sambil menolak uang yang diberikan Lili
Lili mengerutkan dahi, tidak mungkin Anderson yang membayarnya kan.
"Siapa?" Tanya Lili penasaran.
"Seorang pria berpostur tinggi, manik mata berwarna abu-abu." Jawabnya.
Untuk sejenak Lili berpikir dengan keras, ciri-ciri yang disebutkan kurir itu terlihat seperti seseorang yang selama ini ingin ia jauhi, gadis itu menghela napas panjang, Lili mengerti sekarang.
"Baiklah, terimakasih." Ujar Lili pada kurir pengantar makanan itu.
Sepeninggalan kurir itu Lili langsung menutup pintu rumahnya, siapa lagi jika bukan Jaden yang melakukan ini. Lili masuk menemui Anderson sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang tadi dimintanya.
Anderson menaikkan sebelah alisnya bertanya-tanya. "Kenapa?"
"Sudah dibayar oleh seseorang." Jawabnya acuh, Lili memilih membuka bungkus makanan.
"Uangnya simpan untukmu saja, btw yang membayar makanan ini kekasihmu ya?" Tebak Anderson.
Seketika itu Lili menoleh tajam pada kakaknya. "Daim lah! Aku tidak punya kekasih."
"Punya juga tidak apa-apa, ayolah kenalkan dia padaku." Anderson terbahak karena berhasil menggoda adiknya, tak lupa tangannya pun ikut sibuk menyiapkan makanan yang sangat menggugah selera.
Mood Lili semakin hancur mendengar ucapan kakaknya, ia ingin melempar Anderson ke rawa-rawa. Ah sungguh hari yang menyebalkan, apalagi di tambah dengan drama menye-menye ala Jaden.