10

2065 Kata
Lili berangkat kuliah lebih awal hari ini, ia berniat menyelesaikan tugas akhir dari dosennya, hanya beberapa hari lagi ia bisa liburan semester. Kalimat itu selalu ia rapalkan sebagai penyemangat agar bisa menyelesaikan tugas mata kuliah yang sangat memberatkan mahasiswa, Lili tidak sabar untuk berlibur ke negara asal Ayahnya dan bertemu dengan keluarganya yang ada disana. Sudah dua puluh menit ia duduk lesehan di depan kelasnya, karena ruangan itu masih dipakai oleh mahasiswa lain. Sembari menunggu ruangannya kosong, ia mengetik kata per kata di laptopnya. Margrit pun sudah sepakat untuk berangkat lebih pagi, namun dimana anak itu bahkan sampai sekarang belum terlihat batang hidungnya. Ponsel Lili bergetar menandakan ada panggilan masuk disana, ia mengernyitkan dahi ketika nama Jaden terpampang disana. Pertama, ia tidak merasa menyimpan nomor itu. Kedua, ada apa Jaden menelponnya. "Ada apa?" Tanya Lili dengan asal-asalan. 'Kau dimana? Aku menunggumu di depan rumah.' "Aku sudah di kampus." Lili mendengus malas, ia tidak merasa berjanjian dengan pria itu. 'Apa? Kenapa kau tidak menungguku, aku tidak memberimu izin untuk berangkat sendiri.' Terdengar nada ngegas dari seberang telepon sana. Lili menjauhkan ponselnya dari telinga, apa hak Jaden marah-marah dan melarangnya berangkat kuliah sendirian? Aneh. Daripada dipusingkan oleh celoteh tak bermutu Jaden, Lili memutuskan panggilan. Waktunya bisa terbuang sia-sia meladeni manusia satu itu, lebih baik ia melanjutkan mengetik tugas akhir. Matanya terasa lelah karena pagi hari sebelum mandi tadi dirinya sempat membaca kerangka dari tugasnya, hari sepagi itu sudah disuguhkan dengan cahaya benderang dari benda persegi panjang itu. Dan ya, matanya menghitam bak mata panda karena kurang tidur. Lili terus menguap, tapi tidak menghentikan dia dari kesibukannya mengetik deretan huruf di keyboard. Sekitar Lili masih sepi, tak banyak orang yang berangkat dihari mepet weekend ini. Mungkin hanya Lili saja yang sangat rajin kali ini, itupun karena tuntutan tugasnya. Ia berencana mengembalikan buku ke perpustakaan sesaat setelah tugasnya selesai dan juga sekalian menumpang duduk disana, sialnya tempat yang dipenuhi rak-rak buku tersebut belum di buka. Merugi sekali dirinya karena melewatkan sarapan, seharusnya gadis itu tidak terburu-buru hingga membuat perutnya bergejolak minta di isi. Mau keluar mencari makan pun ia sudah mager, jarak dari tempatnya ke kantin cukup jauh karena harus melewati dua lantai dibawahnya. Tangannya diregangkan untuk mengurangi rasa lemas berlebih ini, ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Beberapa menit berlalu, Lili bahkan tidak sadar jika dirinya mendengkur halus dengan tangan bertumpuk. Ia mengerjapkan mata ketika sesuatu yang dingin menyentuh pipi kanan mulusnya, Lili melenguh pelan sambil memfokuskan tangkapan matanya. Disana berdiri seorang pria yang tidak ingin Lili temui saat ini, pria itu memandangnya datar. Diliriknya ke bawah saat tangan pria itu menggenggam plastik besar yang ia yakini berisi makanan, lalu di tangan satunya terdapat sebuah botol air mineral dingin yang diyakini sebagai tersangka atas rasa dingin yang menjalar di pipinya tadi. "Oh, Jaden. Ada apa?" Gadis itu masih berusaha menghilangkan rasa kantuknya yang teramat. "Sudah ku katakan kalau aku akan menjemputmu, tapi kenapa kau malah membangkang? Kali ini aku mentolerir sifat keras kepalamu itu, tapi jangan harap untuk hari selanjutnya. Kau bahkan belum sarapan dan kurang tidur, bagaimana bisa mengerjakan tugasmu dengan baik." Lili hanya diam mendengarkan Jaden, ia merasa jika ini adalah waktu yang tidak tepat untuk berdebat. Perutnya sudah meronta minta di isi ketika hidungnya mencium aroma sedap dari makanan yang Jaden bawa, dan Lili tidak pernah merasa gengsi pada makanan. "Itu untukku kan? Kau tahu sekali kalau aku sedang lapar." Lili menunjuk barang bawaan Jaden, dan pria itu dengan senang hati menyodorkan makanannya pada gadis tercintanya. Selagi menunggu gadisnya menyantap makanan, Jaden duduk di kursi. Jaden membawakan nasi ayam bakar, Lili memang lebih suka sarapan nasi daripada roti yang tidak mengenyangkan. "Aku selalu tahu tentang dirimu, my lil." Gumam Jaden serak, suaranya begitu lirih. Tangan Jaden meraih botol air mineral lalu membukanya, ia menatap Lili yang selalu menjadi candunya. Semua yang ada pada gadis itu tidak berubah, sama seperti dulu. "Jee, terimakasih." Lili tersenyum tulus, senyuman manis yang dibingkai dengan lesung pipi kanan dan kirinya, Jaden merasa terbang ke angkasa. Setidaknya, Lilinya sudah mulai menerima kehadirannya kembali. Lili akan selalu menjadi milik Jaden, pujaan hatinya, candunya. Degup jantung Jaden tak beraturan, ia berusaha menormalkan jantungnya sekarang. "Terimakasih kembali, Lili. Aku bahagia jika kau masih menganggap ku ada, tolong jangan menjauh dariku lagi." Jaden berkata dengan parau, matanya tak mau lepas dari wajah gadis cantiknya. Lili hanya diam tidak menanggapi ucapan Jaden hingga membuat canggung suasana, akhirnya ia lebih memilih meminum air mineralnya. Sedangkan Jaden pun sudah cukup paham meskipun Lili masih tertutup padanya, Jaden akan terus berusaha membuat Lili kembali padanya. Jaden masih memperhatikan Lili dengan raut tak terbaca, Jaden dengan kemisteriusannya selalu terngiang di otak cantiknya. Yah, walaupun sebagian sisi kelam Jaden sudah ia ketahui dengan cara menangkap basah pria itu dan berakhir dengan keretakan hubungan. "Aku akan pergi karena ada meeting di kantor, jaga dirimu baik-baik." Jaden tersenyum singkat lalu tangannya mengacak pelan rambut Lili, gadis itu sempat terdiam beberapa saat hingga punggung Jaden mulai menjauh. "Dia selalu baik padaku meskipun aku terus berusaha menghindar." Gumam Lili tanpa sadar. Gadis manis itu menatap hampa ruang kosong dihadapannya, jantungnya mulai berdegup walau sesekali. Hatinya merasa menerima, namun pikirannya seolah menolak. Apakah ia sudah mencintai Jaden lagi? Tapi pria itu melakukan kesalahan besar, Lili membenci hal itu. Dilema. Ya, mungkin kata itu tepat untuk Lili saat ini. Haruskah ia memberi Jaden kesempatan untuk masuk ke dalam hidupnya lagi setelah satu tahun dirinya menjauhi pria itu, akankah pelariannya selama satu tahun ini sia-sia? *** Setelah pulang dari kampusnya, Lili berniat membeli camilan di stand makanan yang letaknya tak jauh dari kampus, ia hanya perlu keluar dari gerbang lalu berjalan sekitar dua puluh meter. Setelah menyelesaikan kuliah dan mengumpulkan tugasnya, ia memilih mengisi perutnya yang sudah berbunyi minta di isi meski hanya makanan ringan. Suasana stand cukup ramai karena hari ini merupakan weekend, dan sudah pasti anak muda-mudi disana akan menghabiskan waktunya untuk menongkrong. Gadis itu berdiri mengantre panjang, ia memainkan ponselnya sembari menunggu antrean. "Sister.." Sebuah suara menginterupsi. Lili merasa jika bajunya di tarik pelan, ia menengok mendapati seorang pria yang sedang menatapnya dengan berbinar. Gadis itu terdiam beberapa detik sebelum suara itu terdengar lagi di telinganya. "Kau lupa padaku, iya? Aku bahkan menunggumu di panti asuhan agar bertemu denganmu, tapi kau tidak datang." Wajah orang itu ditekuk dan terlihat sedih, bahkan matanya sudah berkaca-kaca. Lili memperhatikan sekali lagi, kacamata bulat dipadu dengan rambut berponi sedahi, ouh jangan lupakan tatapan manis itu. "Sammy." Gumam Lili pelan, ia tersenyum menatap pria itu. Ya, dia adalah Samuel. Pria manis yang Lili temui ketika berada di panti asuhan, ia tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. "Kau melupakan ku, butuh waktu lama untukmu agar mengingat diriku? Ya ampun, jahat sekali." Sam mengerucutkan bibirnya sebal, tapi tak ayal ia juga senang ketika Lili masih sama seperti beberapa hari kemarin yang ia temui. Lili meringis pelan. Oke, mungkin ini adalah kesalahannya karena melupakan pria itu. Ia melirik ke belakang dimana Sam berdiri, disana juga ada Will yang menatapnya tak suka. Entah apa yang membuat Will berwajah seketus itu padanya, padahal jika dihitung maka sudah dua kali ini mereka bertemu dan tidak ada raut ramah yang ditunjukkan. "Maafkan aku Sam, kegiatanku yang lain cukup padat dan mengharuskan aku jarang pergi ke panti. Sungguh aku menyesal, sebagai permintaan maafku maka aku akan menemanimu mengobrol seharian ini dan kau juga boleh memesan apapun di sini, bagaimana?" Lili menawarkan aksi perdamaiannya pada Samuel. Gadis itu juga senang jika harus menemani Samuel mengobrol banyak. Ekspresi wajah Samuel yang tadinya cemberut seketika berubah menjadi bahagia layaknya anak kecil mendapatkan mainan. Siapapun pasti tidak akan tega menghilangkan raut bahagia itu, tapi ada saja orang yang berusaha menghalang-halangi. "Kau pikir menyogok adikku dengan tawaran murahan akan menghilangkan rasa kecewanya? Dia sudah menunggumu di panti dari pagi sampai menjelang malam, bahkan melupakan jam makannya, sama sekali tidak berguna!" Will berkata dengan pedas, itu membuat darah Lili berdesir. "Kau- asal kau tahu saja, aku sudah mengakui kesalahanku dan meminta maaf pada Sam, aku benar-benar memiliki kegiatan lain sehingga tidak bisa membawaku ke sana. Lalu apa peranmu sebagai kakak kandung jika dirinya pun membutuhkan orang lain sebagai teman curhatnya? ugh, tidak berguna." Balas Lili dengan sengit, jangan harap bisa menang jika berdebat dengannya. Wiliam merasa harga dirinya di injak-injak oleh gadis dihadapannya, tangannya bahkan mulai mengepal untuk menahan amarah. Jikalau Lili bukan perempuan, pastinya Wiliam akan menghantam wajah itu. Merasa auranya tidak bersahabat, Sam mulai menengahi. Ia tahu betul sifat perangai Wiliam jika sudah terpancing emosi, dan Sam tidak ingin jika kakaknya menghancurkan hari bahagianya karena bertemu kembali dengan teman pertamanya. "Will, aku sudah memaafkan Sister. Kau boleh pergi saja, aku tidak mau kau menyakiti kakak perempuan ku." Ujar Sam berniat mengusir Wiliam. Samuel menarik baju Lili untuk maju ke depan antrean, meninggalkan Wiliam yang berdiam diri di belakang. Pria dewasa itu tidak habis pikir dengan pola pikir adiknya, apa yang dilihat dari Lili yang notabenenya hanya lah gadis biasa yang baru ditemui dalam beberapa hari, mengapa Sam lebih memilih Lili daripada dirinya. "Tidak! Aku tidak egois, aku hanya mempertahankan satu-satunya keluarga yang masih ku punya. Aku kakak yang baik, aku menjaga adikku." Gumamnya terus menerus. Kepala Wiliam seolah ingin pecah saat ini juga, ia segera berbalik lalu merogoh sakunya mencari butiran pil untuk menenangkan otaknya. Jantungnya berdegup dengan kencang, selalu seperti ini jika penyakit itu kambuh.                        Cuaca cukup terik membuat siapapun enggan bepergian keluar rumah, jika pun sudah terlanjur berada diluar, maka mereka pasti ingin segera pulang dan menyegarkan diri. Embun air es dari gelas berisi cairan menyegarkan seakan memanggil agar segera dirasakan setiap tegukannya. Dua manusia saling duduk berhadapan, senyuman manis tak pernah lepas dari bibir keduanya. Seakan ini adalah pertemuan terindah yang pernah di alami, saling berbagi curahan hati hingga terasa beban cukup berkurang. "Sammy.. Jika aku boleh tahu, bagaimana bisa Wiliam sangat protektif terhadap dirmu?" Tanya Lili dengan hati-hati, pasalnya sedari tadi Sam hanya bercerita tentang keburukan kakaknya yang melarang ini itu, maka Lili akhirnya pun inisiatif mengorek lebih dalam. Bukankah ia sudah masuk dalam kehidupan dua kakak beradik itu? Maka lebih baik sekalian saja agar tidak tanggung. Samuel menghela napas panjang sebelum berkata-kata, sebenarnya ia tidak suka jika harus membahas Wiliam. "Seperti yang sister lihat, aku adalah seorang yang berkebutuhan khusus. Wiliam selalu menganggap ku sebagai anak kecil yang terus menerus dilarang dan dikekang, awalnya aku merasa jika Wil adalah satu-satunya orang yang peduli padaku hingga memperhatikan ku sedetail itu, tapi nyatanya semua perintah yang ia keluarkan sama sekali tidak membantu ku, aku menjadi tertutup dan sulit bersosialisasi. Wiliam berkata bahwa dunia luar sangat kejam, mereka tidak akan memandang ku ada disini." Lili mendengarkan pria itu berbicara, ia tidak berniat memotong pembicaraan Sam hingga selesai. "Aku tertekan selama bertahun-tahun, ia memaksa ku untuk selalu dirumah dan tak boleh keluar. Hingga saat itu Gerald dan kawan-kawan yang lain berhasil membujuk Wil agar membebaskan ku dari jeratannya, dan yah.. disinilah aku." Tukas Sam dengan senyum mengembang di bibirnya, tapi sorot matanya terasa sendu. 'Ternyata Sam tidak seburuk yang dipikirkan oleh Wiliam.' Batin Lili. Samuel adalah pria yang cerdas, ia bercerita dengan lancar dan tak ada sosok 'kekurangan' dalam dirinya. Lili yakin, jika pun Samuel diterapi maka pria itu bisa sembuh secara perlahan, Samuel tidak separah yang dipikirkan orang-orang. Lili yakin itu! "Sam, sebagian yang dikatakan oleh Wiliam ada benarnya. Dunia ini sangat kejam, bahkan orang-orang yang tak bisa bertahan pun akan tersenggol dari kejamnya dunia. Kau hanya perlu belajar mengenali siapa kawan dan lawan, maka kau bisa menggenggam dunia ini walau hanya dasarnya. Buktikan pada Wiliam dan semua orang bahwa kau bisa, kau adalah orang yang mampu melawan kerasnya kehidupan." Sam mengangguk sambil berkaca-kaca mendengar ucapan Lili. "Aku adalah orang yang beruntung di muka bumi karena telah bertemu denganmu, Sister. Saat dunia dipenuhi oleh orang-orang kejam, kau ada untuk menjadi orang baik." Samuel menggenggam tangan Lili dengan erat, matanya menunjukkan kasih sayang yang tulus. "Terima kasih, sister." Samuel berdiri dari duduknya lalu memeluk Lili dengan erat, momen seperti ini lah yang diinginkan pria itu ketika bersama Wiliam. Tapi Wiliam tidak pernah menganggap Sam sebagai manusia normal, Wiliam hanya bisa melarang dan melarang. Lili mengelus punggung pria itu, ia juga beruntung karena bertemu dengan Samuel. Pandangannya tidak melulu soal kesempurnaan fisik dan mental, namun hati yang tulus merupakan kesempurnaan luar biasa. Ini tentang Wiliam, pria berekspresi judes itu belum bisa melepaskan adiknya secara suka rela. Seorang pria berdiri tak jauh dari tempat keduanya bertukar cerita, pria itu menatap tanpa ekspresi lalu berjalan menjauh setelahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN