Amelia meninggalkan Arsa setelah mengatakan hal itu. Arsa yang masih sangat emosi itu segeta mengambil ponsel milik sang istri. Benda pipih lawas dengan model yang sudah ketinggalan zaman itu tergeletak begitu saja. Arsa memeriksa satu per satu pesan dan panggilan masuk dan keluar.
Tidak ada pesan untuk Fajar sama sekali. Juga tidak ada nomor kontak milik Fajar. Arsa berulangkali mencocokkan setiap nomor ponsel dalam ponsel milik Amelia. Tetap saja, tidak ada nomor milik Fajar. Salah paham dan begitulah setiap saat.
Tanpa Arsa ketahui fakta yang sebenarnya terjadi. Amelia selalu saja sebagai pihak yang tersudut dan selalu salah. Ia lupa bagaimana perjuangan Amelia dulu. Bukan jumlah yang sedikit keluarga sang istri membantu perusahaan milik keluarga Arsa.
Sayangnya, tidak semua orang paham cara balas budi. Mereka seolah menganggap Amelia hanya menumpang hidup pada Arsa. Miris dan sangat menyedihkan setelah kepergian kedua orang tua Amelia dan usaha kedua orang tuanya dinyatakan bangkrut. Ratna-lah yang paling membenci Amelia saat ini.
Amelia sudah tampak terlelap tidur di samping Aron. Sudah sejak lama istri Arsa memilih tidur di kamar anak bungsunya itu. Arsa membuka pintu kamar Aron dengan perlahan. Ia hendak membangunkan Amelia.
Ada rasa bersalah dalam hati Arsa saat ini. Menuduh sang istri dengan kejam. Ia mengusap perlahan wajah kini semakin kurus. Wajah yang banyak tekanan dan mata yang selalu sembab. Ya, Amelia menangis setiap hari. Setiap kali sang putra bungsu sudah tertidur, bisa dipastikan wanita itu akan menangis karena pilu.
Mungkin Arsa tidak akan pernah tahu bagaimana hati Amelia saat ini. Suami yang tidak pernah ada untuknya dan ibu mertua yang membencinya. Apapun yang dilakukan Amelia selalu salah. Salah dan tidak pernah ada yang menghargai.
"Ada aap?" tanya Amelia yang mendadak membuka matanya.
"Maaf, apa aku mengejutkanmu?" tanya Arsa dengan setengah berbisik karena takut membangunkan Aron.
Amelia menggeleng pelan sebagai jawaban. Mata istri Arsa itu tampak sembab karena menangis. Entah berapa kali sejak perselingkuhan sang suami air mata itu selalu jatuh. Semua usaha Amelia seolah tidak ada artinya sama sekali.
Mempertahankan rumah tangga seperti dulu rasanya sangat tidak mudah. Amelia saat ini sudah menyerah. Fisik, mental, dan pikirannya dihajar habis-habisa oleh Arsa dan keluarganya. Ia sama sekali tidak punya orang terdekat untuk membelanya.
Merepotkan dan bercerita pada Diana rasanya Amelia sudah sangat malu. Ia tidak mau lagi mengusik kebahagiaan sahabat baiknya itu. Sudah saatnya pengantin baru itu menikmati kebahagiaannya bersama suaminya. Amelia tetap harus berjuang seorang diri.
"Bisa kita berbicara sebentar?" tanya Arsa dengan penuh harap.
Amelia hanya mengangguk lalu beranjak dari ranjang Aron dengan perlahan agar sang putra bungsu tidak terkejut dan kembali bangun. Mereka berdua kini duduk di halaman rumah samping kiri. Ada sebuah gazebo yang kini sangat jarang digunakan oleh Arsa. Dulu, sosok polisi berkharisma itu berandai-andai jika suatu saat punya anak, ia akan mengajak anaknya bermain di tempat ini.
Sayang itu tidak pernah lagi terjadi sejak empat setengah tahun lalu. Arsa sibuk bermain hati dengan wanita muda yang menjadi simpanannya. Ada banyak cara yang dilakukan Arsa dan wanita itu agar bisa tetap bersama. Saat di kantor, mereka tampak biasa saja dan tidak ada satu orang pun yang tahu hubungan mereka berdua.
Hingga suatu ketika, Fajar merasa curiga dengan Prita. Sosok polisi wanita itu salah mengirimkan pesan pada ajudannya. Pesan yang sebenarnya untuk Arsa. Ya, bukan rahasia lagi jika ajudan Arsa jatuh cinta pada Prita. Kini sang ajudan harus menelan pil pahit bernama kecewa.
"Ada apa?" tanya Amelia setelah mereka diam beberapa saat lamanya.
"Mel, kita sudah lama bersama. Tak adakah kesempatan lagi buatku. Kita bisa sama-sama berjuang dan mempertahankan rumah tangga ini bersama dengan Prita." Arsa mengatakannya tanpa rasa bersalah sama sekali.
Amelia terdiam beberapa saat dan memikirkan jawaban yang tepat untuk Arsa. Sosok laki-laki yang kini tampak putus asa itu kini menatap Amelia penuh harap. Berharap jika sang istri menerima keberadaan wanita simpanannya. Tidak semudah itu, wanita mana yang tidak sakit jika suaminya bermain di belakangnya.
"Mungkin bagi laki-laki hal itu biasa saja tanpa memperhatikan dan perasaan kami sebagai wanita. Sakit. Orang yang kita cintai begitu dalam akhirnya bermain hati. Tidak akan ada laki-laki yang akan benar-benar adil ketika sudah membagi hatinya." Ucapan Amelia membuat tubuh Arsa menegang karena terkejut. "Empat tahun lalu, saat aku berjuan melahirkan Aron seorang diri, kamu tidak ada dengan alasan tugas. Padahal tidak," lanjut Amelia membuat Arsa kelabakan.
"Ka-kamu tahu semua?" tanya Arsa tidak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.
"Ya! Aku tahu semuanya. Adil katamu? Kamu sudah menunjukkan jika kamu condong pada Prita Yuliana, wanita muda yang usianya mungkin dua puluh lima tahun. Dia muda dan cantik juga pintar, pantas jika kamu berpaling. Satu hal lagi, jangan pernah membahas tentang sebuah keadilan jika kamu tidak pernah mendengarku lagi!" Amelia kini terengah saat setelah mengatakan isi hatinya pada Arsa. "Aku diam dan berusaha mempertahankan rumah tangga selama ini karena ada anak-anak. Tapi, setelah banyak masalah seperti ini aku memilih mundur. Aku bersedia keluar dari rumah ini," lanjutnya dengan tegas.
Arsa terdiam seketika karena mendengar ucapan sang istri. Wanita yang kini berdiri dari tempatnya itu benar-benar sedang emosi. Arsa tidak pernah melihat Amelia sangat marah. Kemarahan yang luar biasa menyesakkan dadanya.
Ada banyak hal yang Arsa tidak tahu sama sekali selama ini. Ia pikir perselingkuhannya sangat aman dari siapa pun. Tidak, tidak akan se-aman seperti yang dipikirkan Arsa. Terlalu gegabah saat menyembunyikan bangkai dari orang terdekatnya saat ini.
"Mel ... maafkan aku. Aku sadar jika ini salah. Aku benar-benar jatuh cinta pada Prita. Perasaanku tidak bisa kutahan begitu saja. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama dulu," kata Arsa yang tidak mau disalahkan dan Amelia dipaksa menerima keberadaan Prita.
"Ya, aku paham. Silakan dilanjutkan saja hubungan terlarang kalian." Amelia mengatakannya dengan wajah datar dan nada yang dingin.
"Kamu menerima Prita? Aku akan menuruti apapun kemauan kamu. Termasuk lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu dan anak-anak. Aku janji," kata Arsa dengan mata berbinar-binar karena bahagia.
"Ya, aku menerimanya dan aku akan pergi dari rumah ini. Aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Silakan datang nanti jika sudah ada panggilan dari pengadilan agama. Kamu tenang saja, aku tidak akan merepotkan kamu lagi. Sebisa mungkin aku akan menghidupi ketiga anakku. Aku bukan lagi benalu seperti anggapan semua keluargamu itu," kata Amelia dengan menahan sesak di dadanya.
"Mel ... aku ...." Ucapan Arsa terhenti karena suara tangis Aron yang mencari keberadaan sang mama.