9. Hampir Saja

1050 Kata
Arsa terdiam, tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan Amelia. Sang istri bahkan tidak mengajaknya berbicara saat mengajukan gugatan cerai. Mengadukan gugatan cerai? Kapan? Mendadak Arsa ketakutan saat ini. Apakah Amelia melapor pada Fajar ssbagai atasannya di kantor? Kapan? Lagi-lagi semua pertanyaan itu sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban. Rumit dan sama sekali tidak ada jalan keluar saat ini. "Kita tidur lagi, ya, Nak. Maaf, tadi Mama ke kamar mandi. Mama tadi buang air kecil dulu. Takutnya, Mama, mengompol nanti kalo menahan pipis." Amelia berusaha membujuk sang putra saat ini Terdengar suara Aron dan Amelia tertawa. Arsa masih bisa mendengarkannya dengan jelas obrolan mereka berdua. Sudah sangat lama, ia tidak lagi punya waktu mengobrol dengan anak-anaknya. Keberadaan Prita mengalihkan dunianya sesaat. Dering beda pipih di samping Arsa mengejutkan sosok ayah tiga anak itu. Prita, nama yang tertera dalam layar ponselnya. Amelia menulikan telinganya saat ini. Ia paham, sebentar lagi suaminya pasti akan pergi dari rumah. "Halo." Arsa malas saat menerima panggilan dari wanita simpanannya itu. Amelia mendengarnya karena memang sang suami tidak berpindah tempat saat menerima panggilan itu. Tidak ada panggilan dinas di luar jam kerja kecuali keadaan mendesak atau negara dalam bahaya. Itu yang diketahui Amelia sejak lama. "Mas, kamu itu ga ada perhatiannya sama sekali ya! Aku pendarahan dan keguguran! Mana yang katanya tadi mau datang ke rumah sakit? Aku sendirian sekarang. Aku ga mau tahu, kamu harus datang saat ini juga!" Arsa memijit pelipisnya dengan kuat. Ia pusing mendengar omelan Prita malam ini. Keguguran? Astaga! Drama apalagi? Apakah Fajar tahu? Arsa semakin ketakutan saat ini. "Maaf, untuk beberapa saat kita jangan terlalu dekat. Pak Fajar benar-benar memantau kita." "Alasan saja kamu ini, Mas. Bilang aja mau menghabiskan waktu dengan istri tua kamu!" Fajar kesal saat mendengarkan ucapan Prita saat ini. Wanita dengan segala sikap egoisnya. Apakah dia tidak menyadari jika karirnya di kepolisian sedang diujung tanduk. Prita memang berbeda dengan Amelia yang mandiri sejak lama. "Bukan alasan. Aku sudah sampai di rumah sakit tadi. Ada Pak Fajar dan aku terpaksa pulang. Kamu tahu, beliau tidak main-main ketika memecat anggotanya. Kamu pasti lebih paham karena kalian sama-sama lulusan Akpol. Kamu tahu bagaimana tegasnya dia." "Sudahlah. Aku malas berdebat denganmu!" Prita mematikan panggilan telepon itu sepihak. Sudah bisa dibayangkan bagaimana dan apa yang akan dilakukan oleh wanita itu nantinya. Sebuah Drama yang akan membuat Arsa sebagai sosok yang paling bersalah. Akan tetapi, Arsa tidak pernah menyadari bagaimana sifat Prita yang sebenarnya. Arsa hanya melihat kecantikan wanita itu saja. Tidak peduli dengan ucapan orang lain. Prita hanya cantik paras, tetapi tidak mempunyai kecantikan hari. Berbeda dengan Amelia, sejak bermasalah dengan Nirina, ibu tiga anak itu berjanji mengubah sikap dan sifatnya. Hasilnya? Amelia kini menjadi sosok wanita hebat dan bisa mengelola emosi dengan baik. Arsa sama sekali tidak pernah melihat sisi baik sang istri. Ia kerap kali mencela penampilan Amelia yang kadang sangat lusuh ketika di rumah. Arsa selalu membandingkannya dengan Prita yang selalu wangi. Pagi datang dengan cepat kali ini. Sepasang suami dan istri itu sama sekali tidak berbicara. Mereka fokus dengan makanan yang ada di depannya. Amelia sibuk menyuapi Aron agar sang putra mau makan. Hari ini adalah Sabtu, sesuai dengan rencana, mereka berempat akan jalan-jalan. Bukan jalan-jalan mewah hanya di taman kota saja. Jalan-jalan kali ini untuk membuat tugas sekolah Arusha dan Sashi. Arusha tampak bersemangat saat ini. "Sash," nanti kamu jadi tukang fotonya. Pinjam ponsel Mama. Kita nanti bisa cetak. Butuh empat foto aja. Foto yang paling bagus aja yang kita kumpulkan," kata Arusha sambil menyenggol lengan sang adik. 'Ih, Aru! Liat ini, Ma, makanan aku jatuh. Bisa ga sih kamu ngomong ga pakai nyenggol tangan segala!" Sashi mencebikan bibir setelahnya mengambil tisu untuk membersihkan makanannya yang tumpah. "Ya, maaf, habis aku seneng banget. Akhirnya kita jalan-jalan. Nanti pas naik angkutan umum, kita bantu Mama jagain adik." Ucapan Arusha membuat Arsa menatap kedua anak kembarnya dengan bergantian. Arsa sama sekali tidak diajak berbicara tentang rencana mereka untuk jalan-jalan. Apakah Amelua sengaja melakukannya? Arsa tidak pernah bisa berpikir baik tentang istrinya. Hanya tuduhan-tuduhan yang sama sekali tidak ada bukti. "Kalian mau kemana?" tanya Arsa berusaha menekan emosinya yang sebenarnya siap meledak setiap saat. Aru dan Sashi hanya saling tatap. Mereka lupa jika pagi ini ada papa mereka di rumah. Biasanya setiap akhir pekan pun laki-laki yang mereka sebut papa itu akan pergi. Tugas kantor alasan yang sering kali mereka dengar. "Kami berempat mau ke taman kota. Dekat aja kok jalan-jalannya." Arusha menjawab dengan sopan dan kali ini wajahnya sangat bahagia. Arusha memang sangat bahagia ketika mereka semua jalan-jalan. Kegemarannya sejak saat kecil. Beda dengan Sashi yang lebih senang jika berada di rumah saja. Hanya saja kali ini karena ada tugas dari sekolah mereka jadi ikut jalan-jalan. "Apa kamu sengaja tidak memberitahukanku?!" Arsa membentak Amelia dan membuat ketiga anaknya terkejut. Sashi hanya menunduk saat ini. Jelas mereka sangat marah. Papa mereka sudah berubah, bukan lagi seorang penyayang seperti yang dulu. Amelia tidak ingin ribut di depan anak-anak mereka, cukup masalah ini mereka berdua saja yang tahu. "Bukan tidak memberitahukan. Biasanya setiap akhir pekan Papa pergi kerja. Jadi, wajar kalo anak-anak tidak melibatkanmu," jawab Amelia berusaha tenang saat ini. "Iya, Pa. Biasanya Papa pergi kerja setiap Sabtu dan baru akan pulang hari Minggu malam. Kalo menunggu Minggu malam baru jalan-jalan nanti pulangnya larut dan Senin pagi aku sama Sashi harus sekolah. Kita takut terlambat sekolah," kata Arusha menjelaskan dengan wajah polosnya itu. Napas Arsa kembang kempis saat ini. Ia sangat emosi saat ini. Amelia tampak biasa saja karena memang kedua anaknya tahu jika papa mereka akan tetap kerja ketika akhir pekan. Haruskah Amelia menjelaskan kepada anak-anaknya jika papa mereka sebenarnya tidak bekerja? "Kamu pasti yang mempengaruhi mereka agar mereka menjauh dariku 'kan? Aku ga menyangka jika kamu sangat licik! Bilang saja kamu iri pada Prit ...!" Hampir saja Arsa kelepasan menyebut nama wanita simpanannya itu. Arsa tampak gugup di depan Arusha saat ini. Jelas anak itu sudah paham saat ini. Arsa memang ceroboh, mengajak Amelia berdebat di depan anak-anaknya. Rupanya masalah yang membelitnya membuat otaknya tidak berfungsi dengan semestinya. "Buat apa aku iri? Aku punya tiga anak yang luar biasa. Hanya mereka saja yang bisa membuatku bahagia dan tenang saat ini." Amelia memberikan jawaban yang menohok pada sang suami saat ini. "Anak-anak, kita siap-siap. Ajaklah Papa kalian. Jangan sampai ada salah paham lagi," lanjutnya sambil tersenyum meski sebenarnya hatinya menangis saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN