Arsa langsung bungkam seketika saat mendengar jawaban dari sang istri. Terlebih kedua anak kembarnya menatap dengan banyak tanya pada mata mereka. Arusha paling ingin tahu dengan kelanjutan ucapan sang papa. Siapa yang disangka iri itu?
"Prit siapa? Kenapa Mama harus iri padanya?" tanya Arusha sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian.
"Papa hanya salah bicara, Nak. Ayo kita segera berangkat. Angkutan umum akan penuh saat hari libur begini." Amelia segera mengajak ketiga anaknya agar segera bersiap.
Napas Arsa seolah tersengal seperti baru saja berlomba lari. Emosinya yang sering meledak-ledak itu selalu salah tempat. Amelia selalu menjadi sasaran amukannya. Salah apa istri pertamanya itu?
"Kalian mau kemana?" tanya Ratna saat Amelia baru saja membuka pintu rumahnya.
"Kami mau ke taman, Nek. Ada tugas sekolah jadi kami harus mengerjakannya," jawab Sashi dengan lembut.
"Dikira saya bodoh apa? Heh! Anak kamu itu jangan diajari berbohong. Mau jadi apa nanti dia!" Ratna berteriak sangat kencang dan membuat Arsa keluar dari ruang makan.
Arsa melihat sang ibu sedang berkacak pinggang. Layaknya ibu mertua jahat pada menantunya. Setidaknya itu gambaran dari Ratna saat ini. Kenyataannya memang seperti itu.
"Saya dan Sashi tidak bohong!" Arusha mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan menunjukkan pada sang nenek yang selalu saja berprasangka buruk pada mereka semua. "Ini tugasnya, dikumpulkan besok saat hari Senin," kata Arusha sambil menunjukkan buku paket pada sang nenek.
"Halah! Alasan kalian saja agar bisa menghamburkan uang anak saya." Ratna masih saja menuduh Amelia yang sejak tadi hanya diam saja.
Amelia malas beradu mulut dengan ibu mertuanya. Benar sekali pun akan menjadi salah. Wanita yang ada di depannya itu pandai memutar balikkan fakta. Entahlah, Amelia mendadak curiga dengan wanita di depannya itu.
Istri Arsa itu curiga ada andil Ratna saat usaha kedua orang tuanya mendadak bangkrut. Usaha ketering yang dikelola oleh mendiang ibu dan ayahnya mendadak bangkrut karena dianggap menyediakan makanan yang menyebabkan ribuan orang mendadak keracunan. Sangat disayangkan waktu itu, Ratna dan keluarganya tidak ikut membantu membela kedua orang tua Amelia. Hingga milyaran rupiah harus melayang karena harus mengganti rugi pihak korban.
"Kenapa hanya diam saja? Berapa uang yang kamu minta dari anakku?" tanya Ratna dengan nada menghina pada Amelia.
"Tidak ada. Kami semua pakai uang tabungan. Uang Mas Arsa sudah saya simpan hanya untuk kebutuhan rumah ini saja. Selebihnya tidak ada uang Mas Arsa yang saya keluarkan untuk foya-foya." Kali ini Amelia menjawab tegas ucapan Ratna.
Mereka tidak tahu jika Arsa sedang memperhatikan mereka semua. Rasa marahnya semakina memuncak ketika mendengar Amelia berani menjawab ucapan mama. Ia merasa tidak terima dengan ucapan Amelia.
"Kamu kenapa jawab Mamaku?" tanya Arsa dari dalam rumahnya dan membuat mereka semua menoleh ke arah sumber suara itu.
"Ya, Mama 'kan tanya, maka aku jawab," kata Amelia dengan santai dan tidak merasa bersalah sama sekali.
"Lihat istrimu itu! Gimana Mama dan Papa ga selalu emosi dengan sikap dan gaya songong dia. Ah ... sudahlah. Biarkan saja dia dan anak-anak pergi. Mama ada perlu sama kamu." Ratna segera berjalan menuju rumah sang anak saat ini.
Amelia saat ini hanya bisa menahan air matanya. Tidak pantas mengeluarkan air mata saat ini. Ia harus bangkit dan berjuang. Perceraiannya sudah di depan mata saat ini.
Amelia sudah mendaftarkan perceraiannya satu minggu yang lalu. Ia memang belum melaporkan pada atasan Arsa. Alasan apa yang akan dikatakannya nanti pada Fajar yang notabene adalah adik kelasnya saat SMA dulu. Ia masih mempunyai hati agar Arsa tidak dipecat oleh kepolisian.
Amelia segera mengajak ketiga anaknya menuju ke jalan raya tempat mereka biasa menunggu angkutan umum setiap harinya. Helaan napas kasar keluar begitu saja dari mulut Amelia karena teringat setiap kejadian yang menimpanya. Salah apakah dirinya selama ini?
"Ma, ada angkutan umum itu." Arusha menunjuk ke arah sebelah kiri.
"Ah, bener. Ayo kita hentikan," kata Amelia dengan penuh semangat sambil melambai-lambaikan tangan pada sopir angkutan umum itu.
Angkutan umum itu berhenti di depan Amelia dan ketiga putranya. Sopir angkutan umum itu cukup familiar dengan Amelia yang hampir setiap hari naik angkutan umum menuju sekolah anak kembarnya itu. Hari ini akhir pekan, tentu anak-anak wajib membayar tarif orang dewasa. Amelia tidak pernah menawar sama sekali.
"Bu, Amelia mau ke mana?" tanya sopir angkutan umum itu dengan ramah dan sopan.
"Ini, Pak. Aru dan Sashi ada tugas buat karangan tentang rekreasi bersama dengan keluarga. Kami semua mau ke taman depan sana." Amelia segera mengambil uang untuk membayar ongkos mereka berempat sebesar dua puluh ribu rupiah.
"Wah, Bu, ini terlalu banyak. Taman depan aja anak-anak banyar separuh saja." Sopir angkutan unum itu menolak dengan halus.
"Eh, jangan, Pak. Anggap saja rezeki. Mohon jangan ditolak. Kalo pas hari sekolah baru anak-anak bayar setengahnya." Amelia sedikit memaksa sopir angkutan umum itu.
Akhirnya sopir angkutan umum itu pun tidak lagi menolak. Amelia memang wanita baik dan ramah. Tidak pernah berkata-kata buruk sama sekali. Banyak penumpang lain yang mengenal sosok Amelia.
Sementara itu, Ratna saat ini merasa sangat leluasa. Ia akan mengutarakan isi pikiran jahatnya. Tentu saja sang putra kesayangan harus patuh. Tidak boleh ada yang melawan kehendak Ratna, siapa pun itu.
"Mama sudah tahu kamu mempunyai affair dengan salah satu polwan di kantormu." Ucapan Ratna membuat Arsa tersedak kopi yang sedang diminumnya. "Tidak usah kaget. Biasa saja dan santailah. Istrimu mungkin sudah tahu juga," lanjutnya dengan wajah angkuh seperti biasanya.
"A-aku bisa jelaskan, Ma. Ini tidak seperti yang Mama dan Amelia pikirkan." Arsa mendadak gugup saat ini.
Arsa takut sang mama akan marah besar dan justru mendukung Amelia. Arsa yang serakah memang tidak mau melepaskan ibu dari ketiga anaknya. Padahal, selama di rumah mereka hanya bertengkar tidak jelas. Arsa-lah yang selalu membuat masalah dan tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah itu.
"Tidak udah takut. Mama justru mendukungmu. Gaji dia lebih tinggi darimu bukan? Apalagi dia lulusan Akpol, pasti luar biasa nanti kenaikan pangkatnya. Prita Yuliana. Nama yang bagus dan cantik. Kalah jauh kalo sama Amelia. Dia pantasnya jadi babu saja." Entah mengapa mendengar penghinaan dari sang mama pada ibu dari ketiga anaknya membuat d**a Arsa mendadak sakit.
Arsa tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Hanya saja mendengar Ratna menyebut Amelia layak jadi babu, seolah ada yang meremas hatinya. Sakit, tetapi tidak tahu apa penyebabnya. Wajarkah?
"Ma ... sudahlah. Masalah ini semakin melebar nanti. Aku berusaha meredam masalah ini. Jabatan aku taruhannya, Ma. Aku ga mau dipecat dengan tidak hormat dari kantor." Arsa seolah menampik dukungan sang mama saat ini.