|04| Story about His G-Friend

1629 Kata
Kami tiba di outlet Patronum lainnya setelah menempuh hampir satu jam setengah perjalanan karena macet. Tepat di pertigaan, mobil putih Rian merapat. Dia keluar lebih dulu, lalu berjalan dan masuk ke dalam toko begitu saja tanpa menungguku. "Siang, Mas." seorang pegawai toko tersenyum menyapa. Tampak raut sumringah yang terkesan berlebihan begitu sosok Rian masuk dan melihat-lihat sekitar. "Siang juga, Ras," balasnya tersenyum simpul. "Gimana toko?" "Lumayan. Kebanyakan anak-anak muda yang dari tadi bolak-balik," jawab Laras, si pegawai. "Oh, oke." Rian mengulurkan tangannya, "Bisa lihat sales hari ini?" Laras mengangguk lalu kembali ke meja kasir untuk membuka histori transaksi dari komputernya. "Tuh," Rian mendorong tubuhku untuk mendekati meja dan layar. "Cek, ya." Praktis aku menoleh, membuka mulut lebar. "Hah?" "Lo gue ajak bukan buat ngintilin doang." "Gue orang baru, mana ngerti?" Rian berdecak pelan, lalu melambai ke arah Laras yang langsung menurut. "Kamu bantuin dia, ya? Kalau nggak fokus, keplak aja kepalanya." Laras melirik kearah ku, tertawa sekilas lalu mengangguk. "Siap, Bos!" Lima menit kemudian, bersama Laras aku duduk di meja kasir sambil mendengar penjelasannya. Kepalaku sesekali mengangguk-angguk paham. Sementara Rian? Entahlah, mau pergi juga bodo amat. Eh, tidak-tidak. Jangan pergi dulu. Kalau dia enyah aku tidak bisa nebeng dong! "Baru kerja hari ini, ya, Mbak?" Aku mengangguk, "Iya." "Oh, saya kira mbak pacar barunya Mas Rian." Bola mataku bergulir ke samping. Spontan, fokus ku tidak lagi berada pada deretan angka di komputer melainkan penjelasan Laras selanjutnya. "Mas Rian sering ngajak pacarnya ke toko. Lengket banget, deh, kayak perangko. Pokoknya kemana pun Mas Rian jalan, dia bakal pegang erat lengannya. Kayak takut pacarnya bakal digondol orang." "Oh, ya?" Hmm, pasti posesif, tuh. "Terus-terus?" Kuatur wajahku sedatar mungkin, meski dalam hati penasaran setengah mati. Tak sulit memancing Laras. Mulutnya benar-benar ringan seperti angin sehingga cerita apapun bisa keluar dengan sendirinya, namun tidak sistematis. Aku bahkan perlu menyaring dulu untuk mendapatkan informasi tentang pacar Rian secara konkrit. Dari penjelasannya, kutahu namanya Nurma. Dulu dia teman satu kampus dan satu organisasi Rian. Cantik, anggun dan cukup luwes dalam berkomunikasi. Pernah menjadi Mapres di kampusnya dan beberapa kali pernah terlibat dalam ajang lomba kecantikan. Katanya, sih, pacaran sejak kuliah. Dalam hati aku berdecak kagum. Pandai juga dia memilih pacar. "Mereka berdua juga merintis Patronum, tapi Mbak Nurma batal bekerja sama Mas Rian karena mau lanjut S2. Katanya, mau lulus, sih, tahun ini." Kepalaku terangguk-angguk. Sempat aku melirik Rian yang tengah mengecek sepatu di etalase, tapi langsung kubuang muka begitu dia balik menoleh. "Pacarannya sejak kuliah?" Bisikku kembali memastikan, siap tahu salah dengar. Namun, Laras menjawab dengan anggukan. "Kok betah, sih? Nggak tahu kalau Rian nyebelin banget?" "Nggak kok. Mas Rian baik orangnya." Praktis, dahiku berkerut dalam. Heran. "Dih, mulutnya pedes gitu, baik? Lo nggak pernah dimarahin?" Laras mendongak. Tingginya yang sebatas hidungku membuatnya menengadah saat memandangku. "Mas Rian nggak pernah marah. Malahan sering bantu dan jadi mentor para pegawainya. Kita semua diperlakukan seperti keluarga dan sahabat, makanya saya betah kerja disini," jawabnya dengan mata berbinar. Kucebikkan bibir, tak terima dengan penilaiannya. Pasti Rian sedang jaga image. Biasa lah, pencitraan. Spontan, aku mingkem begitu orang yang menjadi topik pembicaraan kembali menghampiri kami. "Ras, etalase sama kaca-kacanya dibersihin, ya. Tadi sedikit berdebu." Laras mengangguk, lantas meraih kanebo dan pembersih kaca di bawah meja. "Pelanggan ada yang komplain, nggak?" "Soal slip-on warna navy yang baru distok minggu ini. Katanya, bahannya susah melar, jadi sakit di tumit." Dahi Rian berkerut. Tangannya terangkat menyentuh dagu, kemudian berpikir sesaat, "Gini aja, nanti gue bilang Seno buat balik ke pemasok lama. Kamu tarik aja dulu stok yang disini kalau banyak yang komplain." "Oke, Bos," sahut Laras seperti biasa. Selalu tanggap. Rian menggangguk. Untuk beberapa lama dia bertanya ini-itu seputar toko, mulai dari fluktuasi penjualan, sampai rata-rata umur pelanggan yang sering mampir. Sesungguhnya aku mendengar semua percakapan mereka, namun hanya separuh yang bisa kucerna, misal pelanggan patronum memang didominasi oleh anak SMU sampai usia akhir 20. Meski Patronum mengusung simple and chic, ada beberapa sepatu yang di desain untuk pekerja kantoran. Seperti kitten heels dan wedges dengan hak tak lebih dari 3 cm dan sol yang empuk. Tentu saja dengan desain khas Patronum yang selalu memberi kesan easy going pada pemakainya. Bahan denim masih menjadi ciri dan andalan Patronum meski tidak semua sepatu memiliki bahan sama. "Yuk, balik ke kantor." Suara Rian membuatku tersadar. Aku langsung berjalan mengekorinya, setelah melambaikan tangan yang juga dibalas Laras lengkap dengan senyuman. *** Kami memutuskan menepi di warung nasi padang saat tiba waktu makan siang. Kesibukan terlihat jelas seperti hari biasanya. Orang-orang keluar masuk rumah makan. Selain kami, ada beberapa orang kantor, driver ojol, sampai sekumpulan anak SMA juga ikut memenuhi ruangan dengan luas tak seberapa ini. Untuk ukuran rumah makan padang, tempat ini cukup sempit dan hanya mampu menampung maksimal lima belas orang makan di tempat. Jarak antar meja sangat mepet. Bahkan bergosip saja, orang bisa ikut mendengar tanpa harus bersusah payah memasang telinga. Aku berpaling menghadap Rian yang sedari tadi tampak asyik dengan ponselnya. Berkirim pesan yang entah sampai kapan selesainya. Untung es jeruk sudah diantar, jadi aku tidak perlu cengo sendirian. Paling tidak memain-mainkan sedotan membuatku tidak begitu terlihat kurang kerjaan. Sempat aku melirik. Kebanyakan pesan dari orang bernama Seno. Kuanggap ia membahas tentang 'pemasok-pemasok' tadi. Namun, saat aku kembali melongok, ia men-scrool layar dan membuka pesan dari 'Nurma'. Aha! Itu pasti pacarnya! Sayang, font hurufnya terlalu kecil. Gagal niatku mengintip isi pembicaraan mereka. Kepalaku spontan mundur begitu ponselnya ditengkurapkan. Aku tak berkomentar saat dia melotot. "Ngintip!?" "Dih! Semua orang juga bisa lihat kalau layar HP lo terang benderang kayak lampu taman!" aku memberi alasan. Ia mendengkus pelan, lantas mengatur brightness sampai dengan nol. Tak ada tanggapan lagi. 2 menit berselang, mas-mas penjual nasi padang mengantarkan pesanan kami. Aku memilih menu ayam, sayur dan sambal ijo. Sementara Rian rendang, yang langsung dilahap setelah ponsel dimatikan. Kami makan tanpa bicara. "Kenapa kasih nama Patronum?" aku bertanya random saat di piringku hanya tersisa tulang-belulang. "Harry Potter? Lo masih suka Harry Potter?" "Memangnya ada yang nggak suka Harry Potter?" "Ada lah. Gue contohnya." "Itu karena lo nggak paham ceritanya." Aku ingin protes, tapi dia lebih dulu menambahkan, "Di Harry Potter, Patronum artinya pelindung. Sepatu-sepatu Patronum gue desain senyaman mungkin dan dijaga kualitasnya supaya bisa jadi 'pelindung' buat orang-orang yang pakai. Terutama konsumen setia Patronum," jelasnya lalu meneguk air di gelas. "Awalnya nggak ada filosofinya juga, sih. Cuma kebetulan pas aja. Gue kepikiran nama Patronum waktu nonton Harry Potter bareng pacar dulu." "Dia yang merintis Patronum bareng lo?" "Siapa?" "Pacar lo," kuputar bola mata tak sabar. "Dia yang merintis usaha sama lo dulu?" "Iya," jawabnya, lantas berdiri sambil mengeluarkan dompet. Ia menghampiri si penjual kemudian mengulurkan tiga lembar uang sepuluh ribuan. Seperti biasa. Seenak jidat Rian meninggalkan aku di dalam dan keluar sendirian. Tak mau ambil pusing, ku tandaskan lebih dulu makanan dengan santai. Terserah dia mau menunggu di luar atau pergi sekalian. Sepuluh menit terbuang. Sengaja kupelankan kunyahan kemudian sejenak terdiam untuk mencerna makanan. Kupikir, mungkin Rian tega meninggalkan aku sendirian disana. Namun ternyata dugaanku salah. Saat aku keluar, dia masih berdiri di samping mobil seraya menempelkan ponsel di telinga. Digoda rasa penasaran, aku berpindah ke kursi kemudi, lantas membuka jendela. Ku lihat ia berdiri membelakangi sambil bercakap dengan seseorang ditelepon. "Iya, Yang. Nanti malam aku ke rumah. Kamu hati-hati di jalan, ya?" Tanpa sadar, bibirku tercebik. Ingin muntah mendengar suaranya yang berubah manis saat bicara dengan pacarnya. Dasar kardus! "Ngapain disitu!?" Saat kembali mendongak, ludahku tertelan sampai ke lambung melihat Rian balik mamandangku dengan mata melotot. Praktis kutarik tubuhku kesamping, kembali ke kursi penumpang. Tanpa berniat menjawab, kupasang wajah sedatar tembok, mencoba tak peduli. "Ck! Masih suka kepo aja lo," gerutunya setelah duduk di belakang kemudi. "Cuma heran aja, si Nurma-Nurma itu kok mau, sih, sama cowok nyebelin?" Balasku sengit membuat matanya mendelik lagi. "Maksudnya apa, tuh?" "Dia nggak tahu kalau mulut lo setara seblak level 20?" Bukannya tersinggung, pria itu malah menyemburkan tawa. Kepalanya tergeleng-geleng seolah tak habis pikir. "Gue nggak bakal ngomel-ngomel sama orang lain kalau orangnya cerdas." "Terus maksud lo gue nggak cerdas!?" "Lo agak telat mikir, sih." Hampir saja aku mengumpat kalau tidak ingat sopan santun. Lagi-lagi harus menyadari kalau dia masih bosku sekarang. Mobil berbelok dan berhenti di perempatan lampu merah. Suasana di dalam mobil mendadak hening. Hanya ada suara Anne Marie dengan Friends-nya yang terdengar, sementara Rian memilih fokus menyetir tanpa membuka pembicaraan. Yah, mungkin topik yang sering kami bicarakan berbeda, jadi daripada tidak nyambung lebih baik diam saja. Ingin tidur, tapi tidak ngantuk. Mau pura-pura tidur, takut dikira sok imut. "Kok bisa kepikiran buat brand sepatu sendiri? Jadi re-seller, kan, lebih gampang," kuputuskan untuk mengawali obrolan lebih dulu dibanding diam-diaman seperti orang musuhan. "Awalnya, gue memang re-seller sepatu olahraga. Setelah dipikir, gue nggak akan maju kalau jualan aja," katanya. "Wow, gue nggak nyangka mau susah-susah buka usaha dari nol," komentarku. "Dapat motivasi darimana lo?" Rian hanya terkekeh. Dia memang jenius, tapi sosok Rian yang dulu kukenal sepertinya bukan orang yang rela berusaha mati-matian karena dia bisa dengan mudah mendapatkan apa saja yang diinginkan. Misal saja dia tidak membuat usaha Patronum sekalipun, aku yakin banyak perusahaan yang akan menawarinya pekerjaan. "Nyaman nggak, sih, pakai sepatu model kayak gitu?" dia balik bertanya, menunjuk kakiku. Aku balas menggeleng. "Gue nggak suka sepatu hak tinggi. Sakit." "Sama kayak pacar gue. Nurma sering kali bermasalah dengan sepatu-sepatunya. Kalau nggak lecet, pasti mudah rusak. Makanya sepatu Patronum gue desain senyaman dan sekuat mungkin," jelasnya kembali memutar kemudi. Lampu telah berubah hijau. Kuangguk-anggukan kepalaku. Nada suaranya yang berubah semangat, membuatku mengerti. Pacarnya yang bernama Nurma itu pasti orang yang sangat berarti baginya. Pusat seluruh inspirasinya. Jelas sekali dia mendambakan pacarnya itu. Aku sedikit kaget mengetahui seorang Rian yang gengsinya setinggi langit dan keras kepala bisa selembut itu hanya dengan membicarakan Nurma saja. Sebelah sudut bibirku terangkat keatas.  Oalah! Bucin rupanya! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN