Saat sampai di depan toko, kami langsung disambut oleh seorang laki-laki berwajah menyenangkan. Dia yang saat itu baru saja memarkirkan motor bebeknya, langsung menyapa Rian yang turun dari mobil. Laki-laki itu namanya Seno. Kata Radiv, dia orang yang bertugas di gudang dan berelasi dengan para pemasok. Tingginya dua centi dibawah Rian, sementara wajahnya lebih ekspresif dan tentu saja lebih ramah. Mungkin 'terlalu ramah'. Baru saja melihatku dia langsung mengedipkan sebelah mata, kemudian berbasa-basi.
"Wah, anak baru, ya?"
Sebagai respon spontan, segera kuulurkan tanganku untuk bersalaman. "Anggika."
Dia pun balas menyalami. "Waduh, namanya cantik, kayak orangnya," katanya sambil terkekeh, lantas menyenggol lengan Rian tanpa melepaskan tautan tangan kami. "Lo mau nambah orang, kok, nggak ngomong-ngomong, sih? Pintar juga hire karyawan baru."
Rian mendecih pelan lantas melepaskan tangan kami. "Gue udah bilang tempo hari. Lo aja yang nggak peduli. Giliran tahu kalau cewek, langsung sok ramah."
"Ya, wajar. Gue masih tertarik sama cewek kali," katanya, lalu kembali beralih padaku, "Oh, ya, panggil gue Seno aja. Kalau mau panggil sayang juga nggak apa."
Aku hanya tertawa garing. Apaan sih!?
Kami lalu berjalan masuk ke dalam. Sementara Rian dan Seno bercakap, aku hanya mendengar dari belakang mereka.
"Gimana tadi? Udah bicara sama supplier?" Tanya Rian.
"Bisa, sih. Tapi kita terpaksa buat seadanya dulu. Kata bagian penjualannya, mereka overload karena penjualan beberapa bulan akhir ini melonjak terus. Sedangkan mereka masih pabrik kecil, jadi terhalang SDM sama mesinnya kalau harus produksi banyak." Seno mengulurkan tablet yang sedari tadi dibawanya. "By the way, gue tadi sempat cari pemasok lain. Lo setuju yang mana?"
Rian men-scrool tablet milik Seno. Sesekali ia bertanya ini-itu soal bahan, harga dan t***k bengek masalah pembelian. Setelah memastikan semua, ia mengembalikan tablet tersebut lalu mengusap dagu, mempertimbangkan sesuatu.
"Gini aja, kita beli dari supplier lama dulu sambil nanti kita lihat-lihat produk supplier lain. Kalau memang masuk kriteria Patronum, kita bisa ambil dari mereka kalau butuh lebih banyak produksi."
Seno mangut-mangut lalu mencatatkan sesuatu di tablet miliknya. Sebelum naik keatas, kami sempat balas menyapa Roro, si penjaga toko di bawah kantor Patronum.
"Oh ya, bahan buat sneekers di pabrik menipis. Apa mau langsung gue pesankan?"
"Masih cukup buat produksi bulan ini?"
"Estimasi kemarin cukup, kok."
"Ya udah, kita beli awal bulan depan aja biar nggak nimbun persediaan."
Sekali lagi Seno mengangguk-angguk, lalu memasukkan tablet ke dalam ranselnya. Kami sampai ke lantai dua dan kembali disambut dengan ruangan yang lebih rapi dari beberapa jam sebelumnya. Kardus-kardus pindahan telah disingkirkan, kertas-kertas di kubikel diikat dengan rafia dan disusun di bawah meja, wewangian juga ditambah di sudut ruangan dan akan menyemprot setiap sejam sekali. Meski masih ada kesan menjemukan, setidaknya ruangan minimalis ini jadi lebih enak dipandang.
Langkahku terhenti di ambang pintu saat melihat Radiv berkacak pinggang sambil mengomeli laki-laki bertubuh tambun yang masih duduk tenang di kubikelnya dengan headphone terpasang di telinga.
"Angga! Lo disini mau kerja atau nge-game? Buangin sampah sana!" Perintah Radiv meski orang di depannya sama sekali tidak bergerak. Wajahnya memerah. Dengan sekali sentakan, dilepaskan headphone dari telinga Angga.
"Woy!" Ia membentak lagi, seketika membuat Angga melonjak.
"APA, SIH!? KAGET GUE!" Ekspresi tak bersahabat terukir jelas dari wajah tembem yang sebenarnya lucu itu.
"Berdiri, nggak!? Kalau nggak mau, gue banting nih!" Ancam Radiv mengundang dengkus frustasi Angga.
"Iya! Iya! Gue buang sekarang! Berisik banget, sih, lo!" Disahutnya plastik berisi sampah, "Dasar nenek lampir!"
Aku hanya tersenyum tipis sementara Rian langsung memijit pangkal hidung melihat interaksi kedua temannya itu. Seno melangkah maju, meletakkan ransel di meja lalu datang dan menempeleng leher Radiv hingga gadis itu menyumpah serapahi dengan kalimat terputus-putus.
"G-gue ng-gak bisa napas!"
"Lo jadi cewek nggak ada anggun-anggunya. Heran gue."
"Berisik," semburnya lalu memandang Seno yang masih berdiri di depannya. "Ngapain diam aja? Ikut bebersih sana!"
"Gue ada kerjaan dari Rian," Seno mengibaskan tangannya. "Sana. Sana. Jangan ganggu!"
Radiv menghentakkan kaki sambil mendecak lidah kesal. Dilangkahkan kakinya kembali ke kubikel dan menggunakan headphone Angga untuk menyumpal telinga. Fokusnya kini teralih pada badan e-mail berisi gambar brosur sebuah acara bazar.
"Yan, kata Mbak Ninis, informasi bazar hari ini rilis. Patronum juga udah kebagian tempat. Untungnya, kita dapat tempat yang strategis," katanya tanpa menoleh.
"Iya. Gue udah lihat denahnya tadi." Rian melangkah ke pantry, menuang kopi instan dan juga air panas. Saat Angga kembali masuk ruangan, dia mengalihkan pandangannya.
"Ngga, langsung buat desain iklan bazar di website Patronum," perintahnya yang disahuti dengan acungan jempol.
"Bazar?" tanyaku menampakkan wajah bingung.
"Awal tahun depan ada bazar produk lokal. Patronum juga take part disana." Radiv memutar kepala kearahku, "Nanti lo ikut bantu-bantu, ya? Seru kok."
Kurespon dengan anggukan ringan. Rian membawa cangkirnya ke dalam ruangan setelah ponselnya berbunyi. Dari luar, aku tak bisa menangkap apa yang ia bicarakan dengan orang diseberang sana, namun melihat dari wajahnya yang berseri-seri dan pembicaraan yang terkesan privasi, mungkin pacarnya itu yang menghubungi lagi.
"Si Rian kayaknya sering dapat telepon," Radiv berujar. Sesaat menatap ruang berdinding kaca itu, lalu kembali ke layar monitornya.
"Dari pacarnya kali," timpal Seno. "Pantas aja akhir-akhir ini fokusnya agak terdistraksi."
"Lo jangan asal tuduh. Siapa tahu beneran penting, kan? Eh, Gika," seru Radiv memanggil. "Gue ajarin aplikasi keuangan Patronum, ya?"
"Oke," jawabku lalu menyalakan monitor.
"Ya, tapi lo nggak ngerasa dia agak tertekan gitu?" Seno bersuara lagi.
"Sebentar lagi Nurma lulus, terus mereka bakal nikah. Namanya mau nikah pasti kepikiran lah, No."
"Tapi, si Nurma bossy-nya nggak ketulungan. Semuanya harus diturutin. Pusing gue kalau berurusan sama dia," ia menyenggol lengan Angga, "Ya, kan, Ngga?"
Yang ditanya hanya menoleh sekilas, "Gue nggak terlalu kenal Nurma, sih. Tapi, kadang memang nyebelin."
Radiv berdecak mendengar gumaman-gumaman yang berlanjut antara Angga dan Seno. Masih saja mereka bergosip tentang pacar Rian yang katanya cantik, tapi keras kepala. Tampaknya Radiv lumayan dekat dengan Nurma, sehingga setiap kali mereka membicarakannya diam-diam, dia selalu kebakaran jenggot.
"Kerja, woy! Kerja! Gosip mulu!"
Aku terkikik melihat keduanya yang langsung mingkem dan kembali dengan pekerjaan masing-masing. Seno sibuk dengan para calon pemasok, sementara Angga mengalungkan headphone-nya sambil mengetikkan balasan pesan dari puluhan pelanggan yang tanya ini-itu seputar produk.
Sementara itu, Radiv menjelaskan padaku langkah-langkah menginput transaksi menggunakan aplikasi sistem yang dimiliki Patronum. Tidak sulit sebenarnya, tinggal input lalu laporan otomatis langsung keluar. Aplikasi akuntansinya pun cukup sederhana. Meski begitu, Radiv kadang merasa kewalahan harus meng-handle sendiri segala t***k bengek perkerjaan tersebut, dan job desk aslinya yaitu marketing. Mau bagaimana pun Patronum masih dalam tahap berkembang. Campur tangan Radiv tentu memiliki arti penting untuk kedepannya.
"Jangan dengerin obrolan mereka. Nggak berfaedah semua. Mungkin seminggu, dua minggu lo bakal biasa sama gosip yang Seno bawa," ujar Radiv membuat yang disinggung mengangkat kepala.
"Gue nggak gosip, ya," protesnya. "Cuma heran aja kenapa si Rian nurut banget sama Nurma."
"Halah, lo pasti juga bucin kalau punya pacar!"
"Tapi gue lihat Rian makin stres karena semua tuntutan Nurma. Sekarang aja lagi manis-manisnya, coba nanti dua hari kemudian, pasti bakal ngambek-ngambekan lagi."
"Biarin, sih! Segala macam urusan percintaan orang lo urusin!"
"Namanya ini gue peduli, Radiv. Gue rasa hubungan mereka bakal kacau kalau nggak bisa saling introspeksi diri. Orangnya mau menang semua. Sifat mereka benar-benar nggak cocok!"
Mendengar ocehan Seno, telunjuk Radiv spontan terangkat, "Tuh, tuh, kan…mulutnya. Lo masih suka, ya, sama Nurma? Sensian banget!"
Pria itu balas mendengkus kesal. Dengan wajah merah padam, ia menyahut headphone di leher Angga dan memasangkannya di telinga.
Tak ada jawaban lagi. Praktis obrolan mereka terhenti disana dan berganti dengan keheningan. Angga masih kalem di posisinya, meski beberapa kali kutangkap ia melirik-lirik Seno dan Radiv bergantian.
Sebenarnya, aku sepemikiran dengan Seno. Memang sudah bertahun-tahun kami berpisah dan tumbuh dewasa sendiri-sendiri. Tapi, tetap saja aku tak mengerti bagaimana Rian bisa berubah jadi penurut dan langsung tunduk pada sosok Nurma, padahal dia tipe orang yang tidak segan memberontak kalau ada orang lain mengaturnya.
Huft! Bodo amat lah! Mau dia berubah jadi power rangers pun aku tidak peduli, toh perlakuannya padaku masih sama seperti dulu.
"Eh, Nurma?"
Kepalaku tertoleh, melihat Radiv menatap layar ponsel sesaat.
"Tumben dia telepon gue," gumamnya lalu menggeser tombol hijau. "Halo?"
"Hai, Div."
Hanya sampai disitu aku mendengar suara Nurma. Selanjutnya, Radiv segera mematikkan fungsi loudspeaker. Aku memilih menahan rasa ingin tahu begitu kuterima rincian penjualan dari outlet-outlet Patronum lain sehingga fokusku sepenuhnya teralih pada layar komputer. Butuh waktu lima menit lebih untuk Radiv mengakhiri percakapannya dengan Nurma.
Diletakkan ponselnya kembali ke dalam laci.
"Besok, Nurma ngajak makan siang. Di Flanela," infonya pada yang lain.
"Kita semua?" tanya Seno memastikan. Tak ada lagi tampang jengkel yang tersisa.
Radiv memutar bola mata. "Giliran makan aja gercep lo"
"Rezeki jangan ditolak." ia terkekeh, lalu menoleh kearah ku. "Lo ikut aja, Gi."
"Eh? Tapi ini, kan, acara kalian."
"Eits, jangan lupa. Lo sekarang juga bagian dari kita," timpalnya lagi dengan senyum cengengesan.
***