Namun, acara makan-makan itu batal pada akhirnya.
Esok hari, begitu Seno dan Rian tiba di kantor setelah dari pabrik, Seno membawa kabar. Dia yang membawa lima gelas minuman dingin, langsung ke kubikel dan membagikannya pada kami semua. Sementara itu, Rian lebih dulu melipir ke pantry dengan wajah kusut dan mode senggol bacok. Seno mengulurkan gelas padaku, kemudian langsung kuterima setelah memastikan tulisan ‘Jasmine Tea’ pada badan gelas.
"Gue ke dalam dulu," ujar Rian mengambil minuman bagiannya. Kami mengangguk serempak.
Begitu laki-laki itu sudah kembali ke ruangan, terdengar suara grasak-grusuk mengganggu konsentrasi.
"Rian kenapa kusut begitu?" Radiv melongok kearah Seno.
"Biasa, berantem. Gagal, deh, makan siang gratis."
Ia mendelik, "Hah? Mereka berantem lagi!?"
"Gue nggak tahu pastinya, tapi tadi Rian sempat nyebut lamaran sama Patronum gitu."
"Pantas aja," sahut Angga tak sedetik pun mengalihkan pandangan dari layar. "Dia pernah curhat soal hubungan mereka," lanjutnya lagi.
"Curhat apa?"
Mata Angga menyipit, "Harus banget gue bongkar?"
Kami menelan kecewa.
"Lo kalau cerita jangan setengah-setengah!" Seno sewot.
"Privasi, Woy!"
Radiv berdehem, menghentikan perdebatan antara dua laki-laki yang dewasa umurnya, tapi labil sifatnya.
"Memang lo dengar apa aja?" Tanyanya pada Seno.
"Sebenarnya Nurma tanya terus soal lamaran, tapi you know lah kalau Rian mau fokus ke Patronum dulu, jadi ya...gitu. Mereka nggak ada yang mau ngerti."
"Kalau sering berantem, mending bubar aja lah. Lagian, kenapa Rian menunda terus? Gue kalau jadi Nurma juga pasti khawatir karena kelamaan digantung. 5 tahun pacaran nggak diajak nikah-nikah!" Radiv berkomentar.
"Tuh, lo itu nggak ngerti pola pikiran cowok! Memang hitungan angka bisa jadi ukuran? Yang pacaran kurang dari setahun kadang nikah dulu, tapi yang lebih dari sepuluh tahun malah bisa putus. Lo ngerti, kan, kalau nikah butuh kesiapan dari segi mental dan materi? Kalau calon lo masih pas-pasan dan mentalnya labil, lo bisa terima dia? Setidaknya kita itu butuh pengakuan dulu. Status sosial!"
"Rian nggak mental labil dan dia juga punya masa depan," Radiv berargumen. "Lagian, gimana nggak panik kalau sisi kanan-kiri udah tanya 'kapan kawin’ terus? Yang ada gue curiga, apa selama ini dia cuma mau main-main?"
"Kalau mau main enak di timezone. Lo kira main apaan sampai 5 tahun lebih?" Tukasnya. Seno menghentikan pekerjaannya. Tubuhnya tegak menghadap Radiv, "Gini, ya. Ini kita ngomong soal Nurma lho. Kalau lo punya bisnis yang baru berkembang, tapi calon mertua lo kaya tujuh turunan, punya perusahaan besar, dan lo disuruh jadi parasit, mau? Harga diri lo terima?"
"Nggak lah!"
"Nah, itu tahu!"
"Tapi, apa alasan itu cukup buat mereka bubar jalan?"
"Lo tebak aja."
Radiv tersenyum masam, "b***k cinta susah bilang 'nggak', sih. Apalagi buat menghadapi Nurma yang kadang kelewat keras kepala. Bukannya apa, ya. Gue merasa Rian sedikit terlalu maksa."
"Nah, kan! Gue bilang apa kemarin!"
Dia terdiam. Kali ini asumsi Seno valid.
"Nurma tahu, kalau dirinya sendiri kelemahan Rian," Angga berseloroh sambil mengambil kacang kulit dari drawer-nya.
"Obsesi! Rian itu terlalu terobsesi!" Seno memukul pelan mejanya.
Kucoba untuk tidak ikut serta dalam obrolan menjurus ke gosip ini. Bodo amat lah sama obsesi yang membuat rasionalitas Rian jadi anjlok. Aku hanya mau kerja dengan tenang, tapi sayangnya suara grasak-grusuk dari ketiga teman ku itu benar-benar mengganggu. Diam-diam aku meraih headset di atas meja. Sialnya, sebelum memakainya, Seno sudah lebih dulu beralih kearahku dan menodongkan pertanyaan.
"Sebagai sahabat Rian, gimana menurut lo?"
"Kenalan. Kami cuma kenalan," ralatku. Kukembalikan headset ke dalam laci. "Gimana apanya?"
"Hubungan mereka?"
Keningku berkerut samar. Salah kalau Seno bertanya hal itu padaku. Orang nol pengalaman sepertiku mana tahu? Maka, kuangkat bahu sebagai tanda tidak tahu-menahu, lalu menyesap Jasmine Tea yang masih separuh. Bukan kapasitasku mengomentari hubungan orang lain.
***
Rian beralasan bahwa Nurma memiliki agenda lain sehingga acara makan-makan dibatalkan. Orang-orang pasti percaya kalau belum mendengar cerita Seno siang tadi. Berhubung semua sudah tertangkap basah oleh lambe turahnya Patronum, maka semuanya 'iya-iya' saja tanpa bertanya lebih lanjut.
"Gue duluan ya, Gi." Radiv melambai sebelum masuk taxi online. Kubalas lambaiannya dan menangguk sekilas. Saat mobil hitam itu berbaur dengan kendaraan lain, aku masih berdiri di trotoar seorang diri.
"Apa nggak kesepian lo sendirian terus?"
Kepalaku tertoleh. Kulepaskan earphone lantas memasukkannya kedalam tas begitu kulihat Rian telah berdiri disampingku.
"Sendiri nggak berarti sepi, berdua tak selamanya memberi tawa. Gue menikmati setiap kesendirian. Kenapa? Masalah buat lo?" Sewotku.
Ia terkekeh, "Eits, eits…santai aja kali, Gi. Kayaknya tiap kali kita bicara berdua, lo jadi lebih ganas, ya?"
Eyes rolling. "Iya. Makanya, gue pengin lempar lo ke tengah jalan setiap kita ketemu."
Dia tertawa. Tampak sekali kebahagiaannya hanya sebatas membuatku jengkel dan ngomel-ngomel.
"Oke, gue lagi nggak mood berantem," gumamnya. "Sebagai bos yang budiman, gue cuma mau tanya, gimana rasanya jadi bagian dari Patronum? "
"Not bad. Gue pikir lo akan jadi bos paling nyebelin sedunia."
Terbit seringainya, "Nanti. Ada saatnya. Masa gue tega bikin awal karir lo berasa di neraka?"
Aku mendengkus pelan. Masa bodoh dengan Rian dan segala perencanaan liciknya.
Kulirik jam tanganku tak sabar. Tak biasanya ojek online lama seperti ini, padahal dari tadi katanya sudah on the way.
"Kok, belum pulang?" aku bertanya. Bukannya khawatir, tapi sebatas basa-basi.
"Lo juga kenapa belum pulang?"
"Nunggu ojek online."
"Oh," gumamnya.
Pandanganku beralih padanya. Aku mengernyit, kenapa pula orang ini jadi santai seperti ini?
"Terus? Lo nggak balik?"
"Ngusir?"
"Nggak. Mana mungkin saya berani ngusir Pak Bos. Nanti kalau dipecat, saya makan apa? Kasihan anak-anak saya nanti," kataku dengan tampang pura-pura memelas, sementara dia hanya tertawa ngakak menanggapi.
"By the way, ada kesulitan, nggak, saat interaksi sama Radiv, Angga, dan Seno?" tanyanya kembali.
Aku menggeleng. "Nggak, sih. Teman-teman lo asyik. Gue suka ngobrol sama mereka."
"Bukan gosipin gue, kan?"
"Dih! Kayak nggak ada kerjaan aja gosipin lo," sahutku mengelak.
"Bagus, deh, kalau lo memang merasa nyaman," Ia merespon santai. Tangannya menelusup masuk ke saku jaket.
Kualihkan pandanganku ke sembarang tempat. Ada yang janggal disini. Tumben dia baik dan peduli. Kan, mencurigakan jadinya!
"Kenapa lo terima gue kerja disini? Lo nggak ada niat jelek, kan?"
"Masih aja buruk sangka sama gue. Nggak baik kali."
"Habis, lo jadi baik begini. Lo nggak sakit parah dan tiba-tiba mau minta maaf soal dosa-dosa ke gue dulu, kan?"
"Gue senang aja ada lo disini," ucapnya, membuat kepalaku langsung mendongak untuk memandangnya. "Gue senang lihat lo lagi. Selama ini hidup gue datar banget, bahkan kadang gue merasa tertekan. Kayaknya ada aja yang nge-push gue buat terus berjuang. Yah, awalnya gue pikir itu suatu hal yang positif, tapi ada kalanya malah terasa berlebihan. Dan, itu melelahkan banget, Gi. Padahal waktu masih kecil dulu, gue nggak pernah berpikir serumit ini karena lo bukan orang yang senang berkompetisi dan ingin menandingi gue. Gue suka jahilin lo, bikin lo marah. Setidaknya dengan begitu...gue bisa hidup lebih santai."
Praktis keningku berkerut-kerut mencoba mencerna setiap kata-katanya. "Ah, benar! Lo pasti habis kejedot meja!"
Dia kembali tertawa lalu menunjuk ke arah jalan. "Tuh, ojek lo udah datang. Gue duluan, ya," pamitnya sebelum beranjak pergi dan masuk ke dalam mobil.
***