|07| Ketemu Jodoh

1992 Kata
Untuk pertama kali, akhirnya aku bisa bertemu dengan sosok Nurma setelah berminggu-minggu tak kudengar kabar tentangnya lagi. Di waktu makan siang, perempuan itu datang dengan membawa dua kantong plastik berlogo rumah makan yang letaknya tak jauh dari kantor. Senyumnya terukir sumringah. Kata Seno Nurma kaya raya, namun kulihat penampilannya tidak berlebihan, namun tetap terlihat menarik. Dress floral, kardigan krem, tas jinjing warna senada dan ankle boot. Terlihat sederhana, tapi kalau harganya dijumlahkan pasti bisa beli tiga sepeda motor. "Radiv!" Pertama, tentu Radiv yang disapa. Dua wanita itu berpelukan sekilas, lalu cipika-cipiki. "Hai, No, Ngga!" Lambaiannya kini ia tunjukkan pada Seno dan Angga yang langsung dibalas dengan anggukan. "Nurma, lo belum kenal anggota Patronum yang baru, kan?" Radiv menunjukku, "Ini Gika." Praktis, aku berdiri, kemudian mengulurkan tangan lebih dulu dan disambutnya dengan senyum hangat. "Gika." "Nurma," ucapnya. "Ikut makan bareng, yuk. Aku udah beli buat kamu sekalian." "Makasih, ya." Kami beranjak dari kubikel lalu duduk melingkari meja pantry. Perutku seketika bergejolak minta diisi begitu melihat nasi, ayam geprek, beserta lalapannya. "Aku nggak tahu kamu suka pedas atau nggak, jadi aku pesan yang nggak terlalu pedas. Biar aman. Atau, kalau kamu suka pedas, bisa kok tukar sama punyaku." Nurma menawarkan, namun segera kutolak. "Nggak perlu. Aku nggak bisa makan pedas. Nanti malah bolak-balik kamar mandi." Nurma hanya mengangguk-anggukan kepala, lalu menyendok makanan dengan kalem. Saat itu Rian menghampiri kami, mengecup dahi Nurma sekilas lalu duduk disampingnya, berhadapan denganku. Nurma meletakkan sendok, lalu menghadap Rian. "Say, I’m so sorry. Aku nyesel banget ngomong gitu sama kamu beberapa hari yang lalu," ucapnya dengan wajah memelas. Tampak sekali gurat penyesalan di wajahnya. "Aku cuma khawatir. Soalnya, mama sama papa selalu tanya kapan kamu mau serius menikahi aku? Aku takut…aku takut banget kamu meninggalkan aku, Sayang. Aku nggak mau kita berantem kayak kemarin. Aku sayang kamu." Aku spontan terbatuk. Wah, wah, kupikir Nurma sedikit drama, kenapa pula dia harus mengatakan itu semua di depan teman-temannya. Mungkin masih wajar jika di depan Radiv, Seno dan Angga. Tapi, aku? Aku bahkan orang yang baru beberapa menit ia kenal. Kulirik Radiv yang makan dengan santai sambil menatap layar ponsel, begitu pula dua orang lainnya. Aku menahan tawa melihat mereka hanya menggulir menu utama dan berpura-pura tak peduli dengan suasana disekitar. Betapa hebat akting teman-temanku ini. Rian menoleh sekilas, kemudian menyendok makanannya, "It's ok. Udah, ya. Nggak usah dibahas lagi." Nurma menurut, lalu kembali mengunyah makanannya dan beralih menghadap kami. Aku lebih tepatnya. "Oh, ya, Gi, kamu dapat lowongan darimana? Kayaknya, Rian nggak buka lowongan?" Aku menelan nasi lebih dulu sebelum menjawab, "Oh, Rian yang menawarkan pekerjaan ini." "Hah?" Nurma sedikit terkejut, bahkan sempat menghentikan aktivitas makannya sejenak. "Kamu udah kenal Rian sebelumnya?" "Iya." "Kenal sejak kapan?" "Sejak SD." "Jadi, sudah kenal sejak lama? Berarti, kalian dekat banget, dong?" Aku mengernyit samar. Entah karena perasaanku saja yang kelewat sensitif, atau memang dia tipe pacar yang posesif? Ada sedikit perubahan pada nada bicaranya. Sepertinya, sesi introgasi akan dimulai. "Ehmm, ya...gitu deh." "Sering ketemu berdua?" "Berlima. Kan, aku kerja disini." "Maksudnya, sebelum kerja," ia mendecak tak sabar, "kalian sering ketemuan, nggak?" "Gue baru ketemu Rian akhir-akhir ini." "Kapan?" "Beberapa minggu yang lalu." "Dimana?" "Di jobfair." "Terus Rian yang nawarin kerja?" "Hmm," jawabku masih kalem. Biar saja dia menyerocos terus. Nurma menoleh cepat kearah Rian, "Gimana ceritanya? Biasanya kamu selektif banget terima pegawai baru?" tanyanya dengan nada curiga, seketika membuat sang kekasih urung menyuapkan nasi. "Aku udah kenal Gika lama, makannya aku percaya." "Kok, kemarin aku merekomendasikan temanku, kamu tolak? Kamu nggak percaya, dong, sama aku?" Aku spontan tersedak mendengar kata-kata racun yang keluar dari mulut tipis Nurma. Ebusett! Ternyata nggak bisa santai ini orang! Kualihkan pandanganku kearah tiga orang lainnya yang mendadak menghentikan segala kesibukan diri. Sepertinya mereka sudah mulai terbiasa dan menikmati seluruh adegan FTV di depan kami. Rian hanya memijit pelipis, lalu mengatakan, "Please, Say. Aku nggak mood buat debat apapun sama kamu disini," ujarnya memelas. Tapi, Nurma seperti tidak peduli. Ia tetap keras kepala dengan rasa ingin tahunya. "Tuh, kan! Selalu aja gitu kalau aku tanya! Ngeles aja bisanya! Bisa nggak sih kamu jawab aja pertanyaanku?" "Jawab apa lagi? Aku udah bilang kalau aku udah kenal Gika lama. Kalau temanmu, kan, aku nggak begitu kenal." "Tapi dia kan temanku. Kamu nggak percaya sama aku lagi? Kalau kamu nggak percaya aku, buat apa hubungan ini!?" "Astaga, Ya Rabbi," Rian menggaruk kepalanya gemas. "Kenapa ngarahnya ke hubungan kita lagi!?" "Kamu ragu sama aku! Aku nggak suka!" "Harus berapa kali aku bilang? Kamu harus bisa membedakan urusan kita sama Patronum!" "Tuh! Kamu suka marah-marah sama aku! Patronum lagi, Patronum lagi yang diurus! Kamu nggak peduli, kan, sama hubungan kita!?" "Astagfirullahalazim! Ampuni hamba, Tuhan!" Rian mendesah putus asa. Sebenarnya, aku ingin tertawa, tapi meliat suasana berubah mencekam karena pertengkaran pasangan alay, aku jadi takut disambit Nurma. "Udah, Ma. Udah. Nggak usah dibahas lagi," dengan tegas, akhirnya Radiv menengahi. Mau tak mau dua orang manusia itu diam dan menghentikan sejenak perdebatan mereka. "Gimana kabar tesis lo, Ma? Lancar?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Lancar. Doain, ya, semoga cepat lulusnya," Nurma melirik kearah Rian, "Biar nggak ada alasan lagi buat menunda pernikahan terus," sindirnya halus. "Amin," Radiv mengaminkan sambil meringis. "Jadi, setelah lulus, langsung disuruh ambil alih perusahaan orang tua lo?" "Nggak bisa langsung, sih, Div. Masih banyak yang perlu gue pelajari. Tapi, ya, suatu saat nanti pasti gue yang disuruh ambil alih." "Bakal jadi rival Patronum, dong? Ide lo, kan, keren banget, Ma," ujar Seno memelas. "Beda pasar kali. Viviane nggak bakal menyinggung pelanggan Patronum." "Beda kelas lebih tepatnya. Viviane setara Jimmy Choo, Patronum seperdelapan harganya aja nggak nyampe. Masih recehannya lah kita." Nurma mengibaskan tangan di udara. Tertawa kecil. Bagus. Mood-nya mendadak kembali cerah. "Nggak lah! Maksud gue, Patronum, kan, desainnya lebih ke sporty. Santai gitu. Sedangkan Viviane glamour, mewah, bling-bling. Gue kadang muak sama desainnya. Norak." "Halah, mana ada swarovsky norak? Jiwa miskin gue menjerit setiap lihat harga jutaan di katalog Viviane," tukas Radiv berkomentar. Ayam gepreknya telah ludes tak tersisa. "Viviane, sih, nggak niat dagang sepatu, tapi dagang permata berkedok sepatu!" Sahut Seno lagi, sementara Nurma hanya merespon dengan tawa. *** Aku mampir ke 'Tea Leaf' usai kerja. Awalnya memang tak ada rencana, tapi tiba-tiba saja ingin menikmati teh lemon hangat dan panekuk madu andalan kafe ini. "Jo!" Kusapa Joan, si kasir sekaligus penjaga konter kafe. "Biasa, ya." "Mana gue tahu kebiasaan lo itu apa aja! Pesan yang benar!" Sewotnya. "Ck, kayak baru kenal gue aja! Lemon tea hangat sama pancake madu." "Gue nggak ada kapasitas untuk hafal pesanan favorit setiap pelanggan!" Tukasnya seraya mengetikkan pesanan di tablet. Pria itu kemudian memberiku bon yang langsung kubayar lunas. "Nggak apa, kan, agak lama? Penuh banget, banyak yang nge-date." "Iya. Santai." Aku memilih salah satu meja dimana aku bisa melihat suasana di luar dengan leluasa. Malam minggu sedikit mendung. Pasti doa dari para jomblo yang terkabulkan. Sebenarnya kalau tidak kerja, lebih enak maraton drama korea di kamar daripada berkeliaran sendiri seperti ini. Tapi, it’s ok. Aku bukan tipe orang yang kemana-mana inginnya beramai-ramai dan akan merasa bosan kalau sendiri. Aku suka menyendiri ditengah keramaian. Dengan begitu, banyak hal yang bisa kuperhatikan. Lima menit berselang. Selama menunggu, kuisi waktu luang dengan men-scrool feeds i********: dan story WA seperti manusia tak punya kerjaan yang selalu penasaran dengan urusan orang. Ting! Pesan dari grup kantor.   Radiv     : Guys, besok nonton yuk. Seno      : Nonton apaan? Radiv     : Bioskop lah. Masa nonton keributan? Seno      : Yuk, daripada gue nonton sendiri. Berasa jomblo. Radiv     : Lo kan memang Jomblo, Susenooo!! Seno      : JANGAN PANGGIL GUE SUSENO! Radiv     : Kan, memang nama lo Suseno? @Angga sama @Rian mana? Woy, respon! Ini chat bukan koran yang bisanya lo read doang. Angga   : Gue mau pergi sendiri. Radiv     : KENAPA!? Seno      : (2) Angga : Kapok gue pergi sama kalian berdua. Berisik. Malu-maluin. Radiv     : Nggak asik, lo! Seno      : (2) Radiv     : @Seno berhenti copy kalimat gue! Angga : Biarin. Seno      : (2) Angga   : Gue kick lo ya, No! Males banget nulis doang! Seno      : Ampun, Bos! Radiv : @Rian? @Gika?   Aku terkikik melihat sekelumit percakapan online teman-temanku ini. Baru saja ingin ku respon, seorang waitress menghampiri dan menyuguhkan makanan dan minuman di meja. Sesaat, kutatap hidangan di depanku dengan dahi mengerut dalam. "Ini bukan pesanan saya," aku mendongak memandang si waitress yang tampak terkejut. "Saya pesan pancake madu dan lemon tea, bukan green tea." "Oh," gadis belia itu menutup mulut kaget. Dengan cekatan ia mengambil lagi gelas green tea di meja. "Maaf, Mbak saya pikir ini—" "Itu pesanan saya," ucap seseorang yang datang entah dari mana. Saat si waitress berbalik, sosok itu mengulurkan cangkir porselen putih padaku. "Mungkin, ini lemon tea yang kamu pesan." Tubuhku tak merespon. Diam membeku. Seolah tersihir dengan sosok berwajah ramah yang masih berdiri dan memandang ke arahku. Astaga! Ganteng, Bokkk!! "Mbak," panggilnya lagi. Aku terkesiap, lalu meringis. Kuterima cangkir porselen darinya. Setelah mengambil greentea di atas nampan, ia mengulum senyum tipis, lalu mengambil tempat duduk di depanku. Wah...wah...wah...sepertinya dia hobi membuat jantung orang jumpalitan! "Ayah kamu guru, ya?" "Ha?" Aku melongo. Kok...tahu? Dia tidak sedang jadi raja gombal, kan? Lalu, kubalas mengangguk. "Putrinya Pak Asrori?" "Ehmm, iya," kepalaku terangguk lagi. "Kamu kenal ayah saya?" "Saya Kahfi, muridnya ayah kamu waktu SMA. Dulu, saya pernah beberapa kali berkunjung ke rumah beliau. Sepertinya, saya pernah melihat kamu." "Oh gitu," gumamku tak tahu harus merespon apalagi. Sementara dalam hati, benakku semakin ricuh. Ih! Kok ayah tidak pernah mengenalkan murid seganteng ini!? "Habis jalan-jalan malam?" tanyanya, kemudian menyesap greentea yang sudah di tangannya. "Nggak," aku menggeleng, "Kerja." "Kerja dimana?" "Tahu sepatu Patronum?" "Tahu. Brand sepatu favorit saudara saya," jawabnya. "Kamu kerja disana?" "Iya." "Dia suka modelnya. Katanya, nge-hits di antara teman-teman sekolahnya." "Sebenarnya, owner Patronum itu teman SD saya. Dia juga yang bantu membuat desain," kataku memberi informasi. "Oh, ya? Temanmu keren. Masih muda sudah sukses punya usaha sendiri." Aku mengangguk setuju. Disamping sifat annoying-nya, Rian memang sudah berbakat sejak kecil. Pintar gambar, olahraga bahkan setiap mata pelajaran nilainya selalu cemerlang. Maka dari itu, aku seperti keset kaki baginya. "Sering mampir kesini?" aku mencoba membuka suara lagi. Dia kemudian mendongak, menatap tepat di mataku. Seketika, ludahku lolos sampai ke lambung. Ah, sial! Tatapannya yang tiba-tiba itu, loh, bisa membuat orang langsung salah tingkah!! "Iya. Teh disini aroma dan rasanya pas. Saya nggak terlalu suka kopi. Punya asam lambung." Aku terpukau. Ternyata dia seorang tea lover dan tidak suka kopi. Jodoh! Ini pasti yang namanya jodoh! Namun, aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Mencoba setenang mungkin, karena aku cenderung bertingkah memalukan saat merasa gugup. Mana mungkin aku langsung bilang, 'Wah, aku juga suka teh. Kita mungkin jodoh! Yuk nikah!', yang ada dia kabur duluan karena takut bertemu dengan orang aneh seperti aku. Ting! Ting! Ting! Rentetan notifikasi pesan memenuhi layar. Grup kantor memang seberisik itu.   Radiv     :Yaelah, gue ngirim pesan nggak ada yang jawab! Teman macam apa kalian? @Gika @Rian, pada kemana, woy? Angga   : @Rian pasti sibuk pacaran nih! Seno      : Pacaran mulu. Hati-hati, nanti putus susah move-on-nya. Rian       : Ck! Berisik banget. Mending lo kick gue aja deh dari grup. Gue baru sampai apartemen. Kenapa? Seno      : Lo mau nggak ngikut nonton besok? Radiv     : Mau, dong, Yan. Gue ogah berduaan sama Seno. Rian       : G Radiv     : KOK NGGAK!? Rian       : Sbx. Seno      : Radiv kode nih pengin berduaan sama gue. Div, nggak usah sok jual mahal deh. Ngaku aja. Gue paham, kok. Radiv     : DIH! NGOMONG SAMA TEMBOK SANA! Seno       : Lo nggak usah ikut aja lah, Yan. Radiv, niatnya memang mau ngajak gue nonton, tapi sok-sokan ngundang yang lain. Rian       : Bodo, ah! Nyesel gue ngerespon chat sampah kalian. Radiv     : si Seno minta disembur air dulu biar sadar. Seno      : Sembur aku dengan sejuta kerinduan xixixi Radiv     : Berisik, Alay! @Gika, Please?   Ku ketikan balasan dengan cepat.   Gika       : Lihat nanti, Div. Udah ya, gue baru ketemu jodoh. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN