|08| Weekend

2099 Kata
"Gue kira lo gak jadi ikut, Gi," Radiv menghela napas lega, lalu memesan tiga popcorn caramel dan air mineral. "Daripada bengong di rumah." Seno kembali setelah dari kamar mandi. Radiv memberikan popcorn dan air bagiannya, lalu kami memutuskaan duduk di sofa yang kebetulan kosong. Penanyangannya sekitar beberapa menit lagi, tapi antrian masih sepanjang jalan kenangan. Kalau saja kami berangkat mepet, sudah dipastikan akan kehabisan tiket. "Fantasi?" Seno mengernyit, melihat judul film bergenre fantasi pada lembar tiketnya. "Bukan film horor, ya?" "Gue nggak bisa nonton horor," kata Radiv. "Yah, cemen banget, sih." "Kan, gue udah ngomong dari kemarin-kemarin kalau gue maunya film ini. Kalau nggak mau, nonton sendiri aja sana." "Malas kalau nonton sendiri!" "Makannya, nggak usah banyak cing-cong. Tiket gratis juga." Seno mendecak lidah, "Tadi, gue bayarin nggak mau! Labil banget jadi orang!" "Kalau lo bayarin, kita nggak jadi nonton ini," Radiv menunjuk-nunjuk tiketnya. "Jangan-jangan, lo yang mau modus. Nonton horor, terus pura-pura takut biar bisa mepet-mepet Gika!?" "Dih, cemburu!" Mata Radiv melotot. "NGGAK CEMBURU!" Aku mendesah pelan, kemudian memicing tajam, menatap dua orang yang masih adu mulut. Buset, deh! Ini mereka nggak sadar tempat apa? "Mending lo berdua nonton bareng aja. Kalian kayak orang pacaran yang lagi berantem, tahu nggak? Nggak sudi gue dicurigai jadi orang ketiga!" "NGGAK MAU!" seru mereka bersamaan. Kugelengkan kepala tak habis pikir. Mereka akhirnya bisa diam. Kulihat Radiv yang memastikan kembali waktu pada jam tangannya. Pada akhirnya, yang nonton bersama hanya aku, Seno dan Radiv. Angga memilih nonton sendiri di Bioskop lain yang katanya tidak akan terendus oleh kami, sedangkan Rian ada janji dengan Nurma. "Gimana kemarin? Beneran ketemu jodoh?" Tanya Radiv beralih padaku. Aku terkikik pelan, "Gue merasa nggak asing aja gitu lihat dia. Eh, ternyata dia murid bokap yang dulu sering mampir." "Ganteng, ya?" "90/100. Kayak orang Turki." Mata Radiv terbelalak, "Serius? Kerja dimana?" ia nyaris menjerit. "Nggak sempat tanya dia kerja dimana," kataku menyesal. "Kemarin kita hanya bicara ngalor-ngidul, sih. Nggak sampai tanya-tanya ke hal pribadi," lanjutku terkekeh sambil menggaruk belakang kepala. "Tapi, lo tahu Namanya, nggak?" "Kahfi. Namanya, Kahfi." "Ah, sial! Namanya keren pula! Gue jadi penasaran gimana aslinya!" seru Radiv ikut heboh. "Nggak usah penasaran. Nanti lo jedag-jedug-nya kalau ditatap. Matanya itu, loh, bikin oleng." "Tajam-tajam gitu, ya, kayak pisau? Biasanya gitu, kan, deskripsi cowok keren di n********l, mata tajam, alis lebat...ah pokoknya gitu, deh, yang bikin kepala, pundak, lutut, kaki lemas semua." Aku terkikik geli mendengar kata-kata random Radiv kalau tentang khayalan novel roman. "Alis tebal benar sih. Tapi nggak tajam, malah sayu gemesin gitu. Orangnya ramah dan baik parah. Bukan 'dingin-dingin' kayak lemari es. Kemarin, dia yang banyakan ngomong daripada gue biar nggak terlalu krik-krik." "Oh, tipe sweet dan soft gitu ya? Yang sekalinya ngomong bisa bikin anak orang bilang, 'halalin aku, Mas!' gitu kan?" Aku praktis tertawa. Sialnya benar, sih. Seno mendengkus pelan mendengar percakapan kami. "Ish! Sakit kuping gue denger kalian ngegosip!" "Nggak usah nguping juga kali. Nggak bakalan ngerti!" Balas Radiv sewot. "Iya. Gue berasa alien disini,"  kata laki-laki itu lagi, lalu menunjuk pintu studio yang kini sudah terbuka. "Udah kelar, tuh. Yuk, masuk!" Selama pemutaran film, aku diam, fokus pada alur yang menceritakan sedikit kisah hidup, keberanian dan keunikan sang tokoh utama yang sangat mencintai hewan-hewan ajaibnya. Kalau aku, pasti langsung lari pontang-panting melihat kucing besar dari China di tengah film tersebut. Dulu, aku sering menonton film bergenre fantasi, sci-fiction dan misteri akibat dicekoki novel dan film-film barat oleh Rian. Padahal otakku tidak sampai untuk menyerap cerita berat. Alhasil, sepanjang film kuganggu dia dengan banyak pertanyaan yang berakhir dengan mendapat omelan karena pusing menanggapi pertanyaanku. "Keren!" seru Radiv tertahan seperti tikus terjepit. Kuhitung sudah sepuluh kali ia menyerukan hal yang sama. Mending kalau hanya berbisik, suaranya bahkan mengalahkan toa masjid. "Lihat, dehhh, ganteng banget!" "Ih! Kalau jadi gue, ya, bakal gue tendang tuh penjahatnya!" "Aw, malu banget! Gue kan nggak biasa lihat adegan gemas!" "Wahhhh! CG-nya keren abiss!" "Sihir aku saja, Mas!" Benar-benar, deh! Malu-maluin! Beberapa kali Seno tutup wajah dan pura-pura tidak mengenal saat setiap orang disana melirik-lirik sambil mengerutkan kening. Radiv yang menjadi penggemar berat aktor di film tersebut, tak berhenti berkomentar layaknya emak-emak nonton sinetron ratusan episode, lalu berdecak kagum seperti orang udik yang baru tahu efek film.  Sekali aku melirik, kemudian menggaruk pelipis sambil menggerutu pelan. "Kapok gue lihat film sama lo, Div!" *** "Gue nggak mau, ya, nonton sama lo lagi!" Seno mengancam, menunjuk Radiv dengan ujung sedotan. "Malu-maluin!" "Ish! Lo nggak bakal tahu rasanya nonton film yang udah dua tahun lo tunggu!" "Tapi, nggak harus seheboh itu kali." "Namanya excited! Lo juga kalau nonton sepak bola kayak orang katrok!" "Beda lah. Nonton bola kalau nggak teriak mana seru." "Nonton bola sama nonton film sama aja. Sama-sama 'nonton'. Film masih ada alurnya yang bikin deg-degan!" "Lo pikir waktu pinalti nggak bikin deg-degan?" "Sorry, gue deg-degannya karena cowok, bukan karena bola." Seno memasang senyum najis. "Oh, jadi lo deg-degan kalau sama gue dong?" balasnya sambil mengedip-ngedip genit. "Kayak nggak ada cowok lain aja!" "Sial!" Ia mengumpat. Kehabisan kata-kata. Aksiku menyuap french fries terhenti. Kupejamkan mata lelah, kemudian menatap mereka berdua bergantian.  "Heh! Berantemnya ditahan dulu, oke? Pusing gue dengernya." "Dia yang mulai duluan," Radiv menunjuk Seno. "Bodo amat, Div. Jadian aja sana kalian berdua." "DIH OGAH!!" tolaknya mentah-mentah. Detik selanjutnya, kami memilih membicarakan topik lain setelah semua makanan tandas tak tersisa. Hanya aku yang masih menikmati dessert, es krim. Foodcourt semakin ramai. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Di hari minggu seperti ini, wajar kalau restoran fastfood jadi lebih sibuk dibanding hari biasanya. "Gue ada reuni SMU, nih, sejam lagi," Radiv melihat jam tangannya. "Gue pulang duluan nggak apa, kan?" "Mau bareng, nggak? Gue juga ada janji sama teman," Seno menawarkan yang langsung dijawab dengan persetujuan. Praktis, ekspresiku berubah cemberut.  "Ih, jahat! Gue ditinggal sendirian, dong?" "Sorry, Gi. Janjiannya sudah seminggu yang lalu," kata Seno memberi alasan. "Gue juga dipaksa ikut. Sebenarnya, sih, malas." Radiv menimpali. "Terus, gue pulang sama siapa?" Sambil berdiri, pria itu mendecak lidah, "Ck, kayak orang susah aja. Ojek online, kan, banyak. Dari sini ke rumah lo nggak nyampe seratus juga." "Hemat. Hemat. Gaji buat nabung nikah." "Halah. Ya udah, jalan aja sana kalau mau hemat." "Tega banget!" ujarku sebelum Radiv dan Seno beranjak meninggalkanku. Selepas kepergian mereka, pada akhirnya aku berkelana seorang diri. Tidak mau pulang dulu. Percuma dong dandan dan fitting baju lama-lama hanya untuk nonton bioskop dua jam saja. Setidaknya keliling dulu, siapa tahu bertemu CEO muda yang tiba-tiba melamar seperti cerita di novel, terus jodoh dan akhirnya kami menikah dan hidup Bahagia selamanya! Hidup orang tak ada yang tahu, kan? Halah, bilang saja halu! Kubelokkan langkah masuk ke dalam toko buku. Lumayan sepi dan hanya disambangi oleh beberapa anak SMA yang kasak-kusuk sambil membaca novel roman, serta anak kecil yang menarik lengan sang ibu untuk membelikan komik superhero favoritnya. Aku disapa oleh pegawai disana, menyanyakan apa ada sesuatu yang bisa ia bantu. Namun, aku hanya meminta arah untuk menemukan rak bagian buku-buku ekonomi. "Lho, Gika, ya?" Aku menoleh saat suara khas itu memanggil. Mataku melotot kaget. Demi apa ada Kahfi disini!? "Eh, hai, " sapaku dengan senyum lebar. Ia balas senyum. Senyum yang tidak baik untuk kesehatan jantung. "Halo juga, Gi. Nggak nyangka ketemu lagi. Padahal baru kemarin kita ngobrol." Udah jodoh kali. HAHAHA! "Cari buku juga?" Tanyanya sambil menghadap rak dan memilah buku. "Lihat-lihat aja, sih. Kalau ada yang bagus baru dibeli." Ia mengambil dua buku yang lumayan tebal, sementara aku berpencar ke rak non-fiksi. Kupikir buku biografi dapat sedikit memotivasi dan menghiburku di kala senggang. Usai memilih salah satu yang bersampul menarik, segera kubawa ke kasir. "Sekalian bukunya, ya, Mbak," Kahfi menunjuk bukuku saat aku menunduk mencari dompet di tas yang tak kunjung kutemukan. Praktis aku mendongak, memandang ke arahnya. "Sorry?" "Biar sekalian saja." "Tapi uangnya?" Ia tersenyum tipis. Usai menerima plastik berisi belanjaan, ia menggeleng. "Nggak usah." "Eh, jangan! Tetap harus dibayar!" "Nggak apa-apa. Anggap aja kenang-kenangan." "Nggak. Nggak bisa gitu. Pokoknya, aku tetap mau bayar," kataku sambil meraba-raba saku rok dan tas. Namun, menyadari dompetku tiba-tiba raib, akhirnya aku hanya nyengir. "Ehmm, tapi besok, ya. Dompetku kayaknya ketinggalan di rumah. Cuma ada dompet digital," Mana limit banget lagi! Kahfi hanya menganggukkan kepala. "Senyaman kamu saja," katanya. "Oh, sebentar," Ia menahanku sebelum beranjak, lalu memberikan salah satu buku dari empat buku yang dibeli olehnya. "Saya ingat ayahmu suka buku dari penulis ini. Kali ini nggak boleh ditolak, ya." "Eh?" Aku masih terbengong. "Ini buat ayah?" "Iya. Titip salam untuk keluarga. Kapan-kapan saya akan datang berkunjung," katanya lagi. "Mhmm, nggak keberatan, kan, kalau saya main ke rumah?" Praktis, aku menggeleng cepat. "Nggak, kok. Ayah pasti senang kalau kamu datang silaturahmi." Kami berjalan beriringan keluar dari toko buku. Melewati outlet-outlet makanan juga restoran-restoran cepat saji. Ia bicara banyak hal. Seperti saat kami pertama kali bertemu, dia yang mendominasi obrolan lagi. Aku tak keberatan. Nyatanya, aku lebih tertarik mendengarkannya bercerita. Wawasannya cukup luas. Dia bahkan tahu informasi tentang penulis buku yang kubeli setelah membaca judulnya sekilas. Dari penulis buku, merambat ke topik yang lain. Aku baru tahu kalau dia pencerita ulung. Terstruktur, namun tidak membosankan. "Setelah ini, mau langsung pulang?" tanyaku begitu kami sampai di lantai dasar. "Tidak. Saya harus datang ke seminar tiga puluh menit lagi," jawabnya setelah memastikan waktu di jam tangannya. "Kamu pulang sekarang? Mau saya antar?" "Nggak usah. Itu abang ojek online yang kupesan sudah menunggu," kutunjuk seorang bapak-bapak driver ojek online yang sedang duduk-duduk santai di atas motornya. Beliau menoleh, melambai kearahku yang kubalas dengan anggukan sopan. Kahfi mengikuti arah pandangku. "Saya jadi nggak enak. Seharusnya saya menawarkan lebih dulu." Aku hanya tersenyum tanggung. Iya, sayang sekali… Setelah keluar dari mall, si bapak ojek menyambut kami dengan senyuman lebar. Aku segera menerima helm yang diulurkannya, kemudian duduk menyamping di atas jok motor. Tepat sebelum si bapak memacu kendaraan, Kahfi sempat melambai dengan satu tangan. "Sampai jumpa. Hati-hati, Gika." ia mengulum senyum. Saat itu juga, hatiku ambyar seketika. *** Ku berikan buku dari Kahfi pada ayah, "Yah, dari Mas Kahfi." Ayah memandang dengan kernyitan, "Siapa?" "Ehmm, Kahfi siapa, ya, namanya? Gika lupa," Aku nyengir, "tapi, katanya murid ayah waktu SMU?" "Masyaallah! Kahfi Pradana?" "Ya. Dulu dia sering main ke rumah ini." Ayah tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk. Dibuka segel plastik buku tersebut. Buku psikologi. Ayah memang tertarik dengan psikologi manusia. Mungkin dari sana beliau mendapat tips untuk mengambil sikap dan tetap tenang menghadapi mama yang cerewet, serta drama queen, Mas Farhan yang lempeng seperti jalan tol dan aku, si bungsu paling freak. "Bagaimana kalian bisa saling kenal?" "Kemarin kebetulan ketemu." "Dimana?" "Waktu makan malam di kafe." Mama muncul dari dapur sambil mengelap tangan dengan serbet. Sesaat menatap heran, lalu berjalan lebih cepat menghampiri kami. "Eh, eh, tadi Ayah bilang siapa? Kahfi?" Ayah mengangguk. "Iya. Murid ayah yang dulu sering kesini itu." "Ohhh! Yang ganteng itu?" Tawa ayah menggema. Tanpa menjawab pertanyaan absurd Mama, beliau berdiri, kemudian menyusun buku tersebut diantara semua buku koleksi di rak. "Gimana anaknya, Yah? Baik?" "Baik. Sopan." "Cocok itu!" Mama menjentikkan jarinya. Kedua matanya berkilat penuh harapan. "Kerja apa dia sekarang?" "Dosen." "Wahhh, wahhh!" Mama menjerit kegirangan. Aku hanya memutar bola mata malas, lalu meminum air putih. Sesi introgasi pasti akan berlanjut kalau mama sudah kambuh keponya. "Mama ingat, kayaknya ayah pernah cerita kalau dia itu yang S1 di Australia, S2 di Inggris itu, kan?" Ayah menggumamkan jawabannya, disusul dengan anggukkan kepala. Hampir saja aku tersedak mendengar informasi yang baru kudapatkan. Demi apa!? Yah! Alamat gagal deh. Yang seperti itu sudah pasti di luar jangkauan. Tampan, mapan, sopan, juga cerdas. Biasanya yang mendekati sempurna itu sudah ada gandengannya. Paling tidak, pasti dia hanya melirik wanita yang sama levelnya. Tidak sepadan lah kalau dibandingkan denganku yang hanya remahan rengginang. "Yah, kalau punya kenalan masih muda, mapan, baik orangnya, mbok, ya, itu anaknya dikenalkan. Siapa tahu jodoh," Mama menyarankan. "Apaan sih, Ma!" aku mendengkus kesal. Ayah kembali duduk, meminum teh hangat sebelum kembali berkata, "Mama itu kayak nggak tahu jiwa muda. Anak muda sekarang itu lebih suka cari pendamping sendiri. Biarkan Gika cari calonnya dulu." "Mau sampai kapan? Gika nggak bakat kenalan sama cowok, Yah. Teman aja bisa dihitung sama jari. Teman cowok paling nggak punya sama sekali." Mulutku mengkerucut ke depan. "Harus, ya, Ma, diperjelas?" "Habis, kamu kayaknya belum ada niatan nikah. Ingat Gika, kamu itu sudah dewasa." "Mas Farhan lebih dewasa." "Masmu cowok. Beda. Lagipula dia sudah punya calon. Tinggal diresmikan saja. Kamu?" "Nggak tahu, ah! Gika nggak mau bahas itu lagi. Pusing!" Aku segera bangkit. Lama-lama mendengar Mama bicara macam-macam perihal jodoh dan nikah membuat otakku roaming. Maka, kuputuskan untuk walk-out saja. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN